Rabu, 07 Oktober 2015

JANTUNG AL-QURAN SURAH YASIN



Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Maha Penyayang
Ayat 1-10
يس
1. Yasin
وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
2. Demi Alquran yang (penuh) hikmah
Yasin merupakan salah satu julukan yang diberikan kepada Nabi Muhammad. Yasin juga singkatan dari "ya insan", yang berarti "hai manusia". Surah ini juga ditujukan kepada penduduk Anthakiyah yang kepada mereka Nabi Isa mengirim beberapa utusan. Istilah "keluarga Yasin" berarti keluarga Nabi Muhammad (ahlulbait). Surah ini diawali dengan seruan kepada manusia yang ingin mengetahui, yang ingin mengikuti Nabi, dan yang memiliki ikatan langsung dengan risalah kenabian.
إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad. Risalah para rasul adalah risalah tauhid. Sumber risalah ini adalah Dia Yang Esa, meskipun para rasul yang diutus dari sumber ini banyak: "dan kamu, Muhammad, salah seorang dari rasul-rasul." Karena Nabi Muhammad adalah rasul terakhir, risalahnya mencakup semua risalah sebelumnya. Hal ini ditegaskan Alquran, "Kami tidak menghapuskan suatu ayat atau menjadikannya terlupakan tanpa mendatangkan (ayat lain) yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya" (2: 106).
Sebagai manusia normal yang selalu memperoleh pengalaman, setiap kali kita mendapatkan pengalaman baru, biasanya pengalaman baru ini lebih baik, lebih kompleks, dan lebih luas cakupannya dibanding pengalaman sebelumnya. Seolah kita sedang berjalan dalam gerak perkembangan yang terus maju dalam dimensi waktu, namun bukan dalam pengertian (evolusi) Darwin. Secara biologis, kita bukanlah berasal dari kera, tetapi kita berasal dari yang hina, sel sperma, kemudian berkembang menjadi makhluk yang paling rumit. Ini merupakan pola perkembangan yang melekat dalam sejarah manusia baik perorangan maupun kolektif.
Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Muhammad berasal dari keturunan para Nabi masa awal yang menyampaikan dan mengamalkan risalah Tuhan secara sangat sederhana. Lebih dari satu hadis yang mengabarkan kepada kita tentang jumlah nabi dan rasul yang mencapai 124.000. Pada waktu yang berbeda-beda di berbagai negara, hadir seorang nabi. Maka kemudian manusia berubah, ke arah yang lebih mumi dan lebih jernih hatinya. Situasi tempat para nabi ini tinggal umumnya lebih kondusif untuk menempuh jalan rohani ini.
Sebagai risalah akhir, Alquran mencakup, menggantikan, dan menghapus semua risalah sebelumnya. Kitab ini menyediakan bagi manusia sebuah model yang sempuma (yaitu Nabi). Meskipun Nabi Muhammad berasal dari bangsa Arab, namun ia pemimpin sekaligus penutup seluruh rasul sebelumnya. Sebagai rasul terakhir, maka risalahnya bersifat universal, terbuka untuk semua dan dapat diterapkan oleh setiap orang, di mana pun dan kapan pun.
عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
4. (yang berada) di atas jalan yang lurus
Masih ditujukan kepada Nabi, Allah berfirman, "Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang jelas, lurus, dan benar." "Jalan lurus" (ash-shirath al-mnstaqim) adalah jarak terdekat antara dua titik, antara subjek dan objek, antara manusia dan Allah. Jalan ini benar karena ia terbentang antara manusia dengan apa yang selalu ia cari, yaitu Tuhan Mahawujud Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Pemahaman tauhid merupakan jalan lurus, namun tauhid tidak boleh hanya dijadikan bahan kajian ilmiah semata. Manusia harus menempuh jalan Islam, melalui iman menuju amal kebajikan (ihsan), untuk memperoleh pengetahuan tauhid, yang melaluinya ia dapat menyelam ke dunia yang penuh makna.
Jika tujuan tauhid tidak selalu hadir dalam pikiran orang-orang muslim, berarti keislaman mereka tipis dan luntur karena tergoda pada jalan yang menyimpang. Masjid menjadi kosong (dari jamaah) atau sekalipun penuh tetapi semu, karena kebanyakan yang datang sekadar formalitas belaka. Fenomena ini banyak dijumpai di sebagian besar dunia Islam, karena jalan (tauhid) ini tidak lagi mumi untuk mengingat Allah, atau mengenal Allah. Di banyak wilayah Islam, Islamlah yang dipuj'a dan disembah, bukannya Allah. Padahal, Islam hanyalah alat untuk mencapai Allah, bukan tujuan itu sendiri.
Kita semua mencintai hal yang kekal dan mutlak. Adakah orang yang tidak ingin hidup kekal, melewati kehidupan ini dan melanjutkan hidup di alam kemudian? Ini berarti, kita semua mencintai Zat Yang Mahahidup. Kecintaan terhadap Allah, oleh karenanya, telah ada di hati kita, namun kita dipalingkan, kita berdalih, "Tidak sckarang, besok atau tahun depan, setelah saya menyelesaikan tugas ini dan itu." Kita menyalahkan orang lain karena kekurangan waktu atau karena masalah lainnya. Sebenarnya diri kita sendirilah yang harus disalahkan.
Ilmu Allah telah dituliskan, baik di kehidupan ini maupun selanjutnya, maka mengapa tidak bergerak rnenuju kepadanya, selagi kita masih mampu? Kita akan berada pada keadaan tersebut nanti, setelah merasakan kematian, maka mengapa tidak mencoba menemukan maknanya di kehidupan ini, selagi hal ini masih berrguna untuk kita?
تَنزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ
5. Sebuah wahyu yang diturunkan dari Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang
Karena kita berpijak ke bumi sesuai hukum gravitasi, maka dengan sendirinya kita menganggap sesuatu yang lebih mulia dan lebih hebat, pasti berada di tempat yang "lebih tinggi", ia haruslah melebihi rintangan-rintangan alam yang menghalangi kita. Karenanya manusia memandang risalah Allah "turun" dari atas, terefleksi dalam kata yang diterjemahkan sebagai "yang diturunkan", karena tanzil secara harfiah berarti "turun". Bukan Allah yang tinggi atau rendah: hanya ada satu Allah, dan Dia Swt. tak rnendiami tempat mana pun. Sedangkan manusia bersandar kepada bumi, makanan, dan udara. Kata "bumi" dalam bahasa Arab adalah ardh, yang juga berarti "sesuatu yang diaduk". Karenanya kita di dunia ini bertugas mengaduk bumi dengan cara yang benar untuk mengeluarkan isi kandungan bumi, sehingga dihasilkan daripadanya makanan. Dengan demikian diharapkan akan timbul dalam dirinya sikap terpuji, rendah hati.
Karena kata "wahyu" (tanzil) berarti "sesuatu yang diturunkan", tentu "wahyu" ini bersifat hebat dan luar biasa, karena berasal dari Yang Mahaperkasa ('Aziz). Wahyu ini juga mengandung rahmat di dalamnya, karena ia berasal dari Dia Yang Mahakasih, ar-Rahman. Ar-Rahman adalah sifat-Nya yang memberi rahmat kepada seluruh makhluk, rahmat yang universal, baik kepada mereka yang beriman maupun tidak, seperti hujan yang menyiram semuanya. Rahmat-Nya menaungi segala sesuatu, baik maupun jahat, karena ini telah menjadi ketetapan Allah. Maha Penyayang, ar-Rahim, merupakan bentuk mubalaghah dari ar-Rahman. Kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Namun ar-Rahim maknanya lebih khusus, mempengaruhi individu-individu tertentu dengan cara yang lebih kuat tetapi lebih terbatas. Segala sesuatu berada di bawah naungan rahmat ar-Rahman.
Ambil contoh ular berbisa. Dalam sudut pandang manusia, makhluk ini menakutkan dan mengancam kehidupan. Sekalipun demikian, ia masih berada dalam wilayah rahmat ar-Rahman. Jika seseorang digigit ular, peristiwa ini masih dalam wilayah rahmat ar-Rahman; namun ketika orang yang digigit ular itu berteriak "tolong!" kepada temannya, kebutuhan terhadap rahmat diperkuat dan ditekankan. Pertolongan pertama yang diberikan terhadap gigitan ular tersebut, oleh karenanya, bersifat khusus dan berada dalam wilayah rahmat ar-Rahim.
Jika kita mengetahui bahwa Allah ar-Rahman mengatur setiap kejadian dalam alam ini, maka kita akan memahami bahwa musuh atau kesulitan memang sengaja diciptakan demi kebaikan kita. Dari sudut pandang ini, sifat Rahman lebih tinggi dari sifat Rabim, karena sifat Rahman meliputi semua makhluk. Karena itu, ketika kedua Nama Tuhan ini disebutkan, ar-Rahman selalu disebut lebih dulu dari ar-Rabim. Ada pula cara lain untuk memahami sifat ar-Rahim. Bentuk isim fa'il ini menunjukkan sifat yang abadi. Berarti, ar-Rahim beibeda dengan ar-Rahman karena ke-rahim-an Allah kepada orang mukmin tidak hanya dikhususkan di dunia ini namun terus diberikan juga di akhirat.
لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
6. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pemah diberi peringatan, karena itu mereka lalai
Risalah kenabian diwahyukan untuk mengingatkan agar waspada terhadap hal yang tidak kondusif bagi penyucian hati. Kata andzara ("memberi peringatan") dalam ayat ini merupakan bentuk kata kerja transitif dari nadzara yang asalnya berarti "bersumpah". Bersumpah berarti melakukan tindakan tegas untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak kondusif. Kata qawm dalam ayat ini diartikan sebagai "suatu kaum", yang berarti sebuah atau sekelompok masyarakat yang dihubungkan oleh suatu ikatan persamaan, seperti bahasa, peribadatan, atau gaya hidup.
Bangsa Arab sebelum Muhammad tidak memiliki seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Banyak orang Nasrani dan Yahudi yang hidup di tengah-tengah mereka, yang dikenal sebagai "Ahli Kitab". Namun bangsa Arab ini tidak memiliki seorang rasul yang langsung berasal dari kalangan mereka, dari budaya mereka, untuk memberi kabar gembira dan peringatan. Kaum yang tidak diberi peringatan biasanya lalai, lupa, dan berada dalam keadaan lupa (ghaflah). Orang yang lalai, perhatiannya terpaku pada hal yang kurang penting dari yang seharusnya. Ia dapat diumpamakan dengan orang yang sedang menunggu kereta, lalu tiba-tiba tertarik pada sebuah poster yang terpampang sampai akhirnya ketinggalan kereta. Ia penuh perhatian kepada hal yang kurang penting dibandingkan dengan tujuan yang harus ia perhatikan. Keadaan lalai yang dimaksud Alquran pada ayat ini adalah kurangnya perhatian manusia kepada Allah. Ia justru memperhatikan hal lain, bukannya memusat-kan perhatian kepada Sang Penciptanya. Jadi ia dilalaikan oleh alam dan makhluk yang mendiami alam.
Kaum yang dimaksud oleh ayat ini, memusatkan perhatiannya ke arah yang salah, sehingga mereka tidak memperhatikan peringatan. Baik peringatan maupun pengetahuan telah melekat dalam diri manusia, namun suara keduanya terhalang oleh kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan petunjuk Ilahi. Manusia menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaannya dan merasa nyaman dengannya, karena pengulangan merupakan aspek keabadian yang juga merupakan salah satu sifat Allah. Sifat-sifat Allah meresap ke semua zat dan situasi dalam alam ini. Pada manusia, ia menyadari bahwa dirinya memiliki pilihan antara menyalurkan kekuatan sifat-sifat (Tuhan) ini kepada hal yang akan mendatangkan cahaya ataukah menyalurkannya kepada khayalan tentang hal-hal yang fisik dan materi sebagai tujuan hidup.
Di antara musuh terbesar manusia dalam hidupnya adalah kebiasaannya, sekalipun kebiasaan itu baik. Tahapan akhir, seorang pencari jalan cahaya dan pengetahuan Ilahi, tercapai tatkala ia meninggalkan semua kebiasaanya, termasuk kebiasaannya mengharapkan ilmu laduni. Atas berkat rahmat Allah, saat yang dinanti datang kepadanya ketika hatinya menghindari kegiatan duniawi menuju kemenangan akhir berupa penyerahan diri secara total kepada Allah. Tahap ini hanyalah bagi orang yang telah benar-benar siap, yang tidak lagi memiliki harapan lain dalam hidup ini. Ia tidak lagi berharap untuk "melihat" atau "ber-temu" Allah; yang ada dalam pikirannya hanya Allah, karena berpikir bahwa dirinya sedang mendekati Allah pun merupakan bentuk kecil dari menyekutukan Allah.
Meninggalkan kebiasaan itu penting agar kita sampai kepada kesadaran abadi, menerima apa pun yang terjadi, yakin bahwa kita dapat menanganinya dengan baik, percaya bahwa Allah akan menunjukkan untuk menyelesaikan keadaan tersebut. Orang yang telah mencapai tahap ini, yang merupakan tahap penyaksian (syahadah), ticlak lagi menghabiskan banyak waktu untuk memperkirakan dan menanggulangi situasi yang dihadapinya.
Tujuan risalah Alquran, sebagaimana tujuan alam, adalah membuat manusia mampu keluar dari kegelapan menuju cahaya. Secara fisik, seorang bayi tinggal dalam kegelapan rahim selama sembilan bulan hingga sampai ia dikeluarkan ke dunia yang terang. Kebiasaan hidup dalam kegelapan membuat sang bayi menangis ketika dilahirkan. Persis seperti manusia yang tidak menyukai perubahan, karena tidak pemah berubah merupakan lapisan bawah yang melandasi semua perubahan dalam alam. Kaurn yang dimaksud dalam ayat ini secara fanatik berpegang kepada tradisi nenek moyangnya. Tradisi budaya dan suku-suku di Arab masih tetap dan tidak berubah-ubah untuk waktu yang lama, jika orang dapat menyebutkan sejak kapan dimulainya kehidupan, sejak itulah mereka telah memiliki budaya. Di antara budaya itu adalah perbuatan-perbuatan asusila dan tak berprikemanusiaan. Ajaibnya, dari kalangan mereka justru muncul kedamaian dan cahaya terang-benderang, di tengah-tengah kegelapan yang parah ini, justru muncul manusia sempuma.
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
7. Sesunggubnya perkataan (Allab) telah terbukti kebenarannya kepada kebanyakan mereka, (namun) mereka (tetap) tidak beriman
Benarlah bahwa ketentuan Allah mempengaruhi segala sesuatu. Mereka dalam keadaan sakit; kesakitan, penderitaan, dan kekacauan akibat kebodohan (jahiliah). Semua kesusahan manusia muncul akibat kebodohan. Jika seseorang sakit atau ditimpa kemalangan, kemudian orang lain menjelaskan penyebab penderitaan tersebut, maka orang yang menderita itu sedikit-banyak terobati. Banyak kesusah-an dirasakan ringan ketika orang yang bersangkutan mengetahui sebab-sebab terjadinya. Pengetahuan mendatang-kan keyakinan dan keamanan, dan lebih jauh lagi membuat hati damai.
Tujuan hidup manusia adalah menghilangkan kebodohan. Pengetahuan telah ada padanya. Pengetahuan berasal dari sifat Allah al-'Alim, Maha Mengetahui. Sifat ini selalu ada, maka tugas manusia tinggallah melepaskan kebodohan. Pengetahuan Tuhan (al-'ilm al-laduni) telah ada pada kita, dan untuk sampai kepadanya, kita harus mempelajari ilmu syariat dan ilmu akhlaq, yang kesemuanya didasarkan atas perilaku kenabian Nabi Muhammad.
Cara ibadah Nabi, seperti sujud, berasal dari sifat dasarnya (fitrah). Dengan mengikuti jejaknya, kita ingin memusatkan diri pada upaya penyempumaan fitrah untuk memperoleh pengetahuan Ilahi tersebut, karenanya kita meneladani perilaku lahiriah beliau sedekat mungkin. Perilaku lahiriah tersebut bukanlah tujuan; ia hanya diperlukan untuk memperoleh tujuan batiniah, agar manusia dapat disatukan (antara aspek lahiriah dan aspek batiniahnya). Jadi dari aspek batiniah ia memiliki kehidupan, cahaya, dan kecinta-an terhadap Nabi Muhammad, sedangkan dari segi lahiriah ia mengikuti perilaku (sunah) Nabi.
Kaum yang digambarkan dalam ayat ini, tidak percaya dan akibat kelalaiannya ini mereka gagal memperoleh pertolongan. Karena pilihan mereka sendiri yang sering tidak hati-hati, mereka tertutupi oleh kebiasaan mereka sendiri, akibatnya, mereka menjadi bodoh dan ditimpa malapetaka. Iman, bagaimanapun, memberikan rasa percaya yang positif yang menjadikan seseorang mampu menyadari bahwa mes-kipun ia sekarang bodoh, pada akhirnya ia pun akan sampai kepada pengetahuan bahwa yang ada hanya Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dan meski ia tidak terialu puas dengan keadaan tertentu, ia pun akan sampai pada titik puncak kebebasan dari semua kegelisahan dan penderitaan yang dialaminya akibat kebodohan tersebut. Jalan Iman mengantarkan kepada keyakinan yang selalu bertambah.
إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلَى الأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ
8. Sesungguhnya kami telah memasang belenggu di leher mereka hingga ke dagu sehingga kepala mereka tertengadah
Belenggu kebodohan adalah pengingkaran terhadap iman dan perangkatnya, dan kelalaian mereka yang terus-menerus menyebabkan kekafiran. Belenggu diciptakan oleh harapan-harapan subyektif dan egois yang memerangkap dalam kejumudan, lehemya dibuat tak dapat bergerak karena belenggu ini. Manusia tidak dapat hidup tanpa harapan-harapan namun ia dapat mengarahkan harapan-harapannya ini ke jalan Allah, jalan untuk mencari sifat Yang Maha-wujud, tanpa mengharapkan balasan.
Leher memungkinkan seseorang menggerakkan kepalanya sehingga ia memperoleh jangkauan pandangan yang jauh. Jika leher diikat hingga ke dagu dengan belenggu, kemampuan melihat terganggu. Demikian pula orang-orang yang ingkar terhadap iman dan perangkatnya, yang dilalaikan oleh kondisi-kondisi mereka yang tidak berubah, tidak dapat melihat dengan jelas kepada Yang Mahawujud.
Fitrah dan pikiran adalah kunci belenggu ini. Tiap pemikiran memiliki sifat-sifat kualitatif, arah, dan kuantitasnya masing-masing. Orang yang rasional selalu meningkatkan kualitas dan memperjelas arah pemikirannya, seperti kanal yang menjernihkan sungai. Jika pemikiran berlebihan, maka pemikiran ini akan meluap tak terbendung dan mengakibatkan kerusakan.
Belenggu harapan dan cinta terbentuk seiring kehidupan manusia. Semakin terikat harapan dan cinta ini pada kebiasan buruk seseorang dan semakin terpola mapan, semakin kita tahu orang semacam ini tidak memiliki kekuatan. Kesombongan menunjukkan rasa sangat tidak aman. Ketika seseorang terlihat terlalu percaya diri, sebenarnya ia sangat lemah dan bimbang. Kemungkinan jatuhnya dalam waktu dekat semakin besar. Alquran mencontohkan tentang tuntutan sombong setan. la menunjukkan kesombongannya ketika mengklaim bahwa ia terbuat dari api. Ketika Allah menciptakan Adam dari tanah liat dan air, maka setan menganggap, "Saya lebih baik darinya". Pendapatnya yang menyombongkan diri sendiri ini menyebabkan kehancurannya.
Contoh paling jelas fenomena ini pada manusia terlihat pada raja-raja yang lalim. Mereka terlihat begitu kuat dan sangat berkuasa, namun tiba-tiba mereka meluncur dari apa yang terlihat "sangat berkuasa" ke "tiada kuasa" sama sekali, semakin dekat mereka pada kehancurannya, semakin sombong perilaku mereka. Setelah mereka mengetahui rapuhnya landasan tempat mereka membangun kekuasaan dan datangnya kesadaran ini semua lambat laun akan habis, semakin berpeganganlah mereka pada kepercayaan diri yang salah ini dan semakin lalimlah mereka. Muslim sejati, disii lain bagaikan pohon yang ramping; ia memiliki akar yang dalam berupa iman dan tawakal kepada Allah, sedangkan aspek lahiriahnya selentur cabang-cabang pohon yang mengikuti arah angin. Secara batiniah ia yakin, dan secara lahiriah ia lentur dalam jaringan amal saleh dengan semangat Ilahiyah.
Ketika seorang muslim sejati musti menyembunyikan keimanannya karena hidup atau harta miliknya dalam bahaya, ia tidaklah lari dari tanggung jawab, karena hal ini berarti munafik. Malah, ia bersikap tenang dan siap. Saat datang kesempatan untuk mempertahankan agamanya melawan kekafiran, ia melaksanakannya dengan baik, dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Rintangan hidup dan mendakwahkan Islam ini mengharuskannya untuk pindah (hijrah). Tak ada gunanya terus tinggal di suatu tempat yang jelas-jelas menuju ke arah kehancuran. Alquran menegaskan hal ini. Jika seseorang tinggal bersama kaum yang pada akhirnya diazab karena perbuatan mereka, namun orang yang bersangkutan tidak dapat menyadarkan mereka, atau setidaknya memberantas perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia harus menjauh dari mereka. Mengapa akhirnya ia harus menjaga jarak dengan kehancuran mereka? Karena jika ia secara lalai terus tinggal di sana, berarti ia juga pantas menerima azab tersebut.
Leher menengadah bukanlah postur manusia normal. Seorang manusia normal yang sehat kepalanya merunduk seperti dalam sujud, karena ia mengakui penghambaan totalnya kepada Yang Mahawujud. Sebagai pencinta Allah, rasa cintanya itu terungkap pada ibadah lahiriahnya.
وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ
9. Dan Kami menempatkan sebuah dinding di badapan mereka dan sebuah dinding (lainnya) di belakang mereka, lalu Kami tutupi (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
Melanjutkan penggambaran tentang kaum yang terbelenggu (aghlal) karena mengikuti tradisi lamanya dan tidak mau menerima risalah, Allah mengabarkan kepada kita bahwa ada sebuah dinding di hadapan mereka. Kata untuk dinding, sadd, berasal dari sebuah kata kerja yang bermakna "menghalangi", sadda, sebagaimana halnya waduk atau bendungan. Di sini Alquran menegaskan bahwa mereka tidak bebas dalam perbuatannya, tidak spontan, tetapi terbendung dan terkepung. Jadi penglihatan mereka terbatas: mereka tidak dapat menghubungkan antara keadaannya pada saat ini dengan keadaannya di masa depan atau antara perbuatannya dengan akibat-akibatnya. Kapan-pun, manusia selalu menerima seluruh akibat dari perbuatan dan pemikiran masa lalunya. Jika sekarang seseorang ditimpa kemalangan, penyakit atau pemikiran negatif, musibah-musibah tersebut pasti merupakan akibat dari apa yang dilakukannya di masa lalu. Di dunia ini tak ada tempat pelarian dari sistem aksi dan reaksi.
"Maka kami tutupi (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat." Sebagai akibat putusnya hubungan mereka (dengan Allah), yang menimbulkan perbudakan terhadap diri sendiri, maka sebuah tabir (ghisyawah) terpasang di hadapan mereka. Mereka tfdak dapat memahami hukum yang mengatur situasi yang dihadapinya, sehingga tidak paham apa yang sedang terjadi pada mereka. Ketika cahaya pengetahuan tidak bersinar, yang ada hanyalah gelapnya kebodohan: "Allah adalah cahaya langit dan bumi" (24:35).
Semakin berat timbangan belenggu cinta, hasrat dan harapan duniawi, semakin terikat orang tersebut dengan dunia materi. Jika seseorang sangat mencintai mobil dan, demi cintanya itu, ia harus menanggung beban, membuat janji-janji dan berbohong, maka ia benar-benar terbelenggu dan terbudaki. Kesombongan biasanya muncul ketika kita membela diri, akibat tidak adanya landasan kokoh yang mendasari khayalan kita. Semakin seseorang bertambah sombong, semakin tidak mampu ia menghubungkan antara niat dan perbuatan masa kini dengan niat dan perbuatan masa yang akan datang, sehingga akhirnya ia buta dan terasingkan. Arus yang sedang bergerak tidak terlihat olehnya. Tangan Allah yang mengatur di balik semua ini tidak dikenalinya.
Bukti kebutaan mereka ini terlihat pada: pekerjaan yang membosankan, kegelisahan, kebimbangan, dan keresahan sosial. Kebutaan selalu menyalahkan segala sesuatu kepada orang atau hal lain; mereka tidak bisa melihat bahwa manusia memperoleh apa yang layak diterimanya, bukan apa yang diinginkannya.
Persoalan sesungguhnya adalah menyangkut tauhid, semakin jauh seseorang menempuh jalan tauhid, semakin tumbuh kesadarannya tentang saling ketergantungan antar-makhluk. Rintangan-rintangan hanya berlaku bagi orang-orang yang berperilaku tidak sesuai dengan arah tauhid. Itulah sebabnya, misalnya, ilmu pengetahuan modem yang bercabang-cabang itu, pada tingkat tertentu bersifat terbatas. Para ilmuwan yang bemsaha melakukan pendekatan multi-disipliner lebih berhasil, karena mereka merasakan suatu rangkaian kesatuan, namun mereka juga mempertimbangkan adanya jurang pemisah dalam rangkaian kesatuan ini, yang tidak berguna oleh mereka. Pada kenyataannya tidak ada pemisahan.
Apa pun yang kita lakukan di bumi, mempengaruhi seluruh alam, meskipun pengaruh ini tidak dapat diukur oleh alat indra kita. Bahkan oksigen yang kita hirup pun mempengaruhi keseimbangan total oksigen-karbon dioksida. Seluruh sistem alam baik flsik, mental, maupun spi-ritual benar-benar saling terjalin, saling mempengaruhi. Tidak ada pemisahan di dalamnya. Kita tidak dapat berkata, "Saya berhenti di sini. Ini adalah rumah saya, daerdh saya, saya adalah pulau bagi diri saya." Jika tetangga kita miskin dan sakit, dengan cara apa pun cepat atau lambat keadaan ini akan mempengamhi kita.
Ada satu kesatuan alam dan ada satu kesatuan manusia. Kesadaran ini harus selalu hadir dalam hati kita. Hanya ada Allah. "Dialah Yang Mahapertama, Maha Penghabisan, Mahanyata, dan Maha Tersembunyi." Dengan kesadaran dan zikir yang terus-menerus, perilaku kita akan menjadi lebih suci dan berguna dalam perjalanan hidup ini.
وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ
10. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka maupun tidak, mereka tidak akan beriman.
Tidak ada bedanya apakah seseorang memberi peringatan atau tidak kepada mereka yang terperangkap pada keadaan ini, mereka tidak akan percaya kepada Allah dan tidak menyadari bahwa tujuan hidup adalah untuk mengenal-Nya. Begitu keras kepala dan kakunya mereka dalam menolak risalah sehingga tidak pemah menyadari bahwa kebodohan ini ditimbulkan oleh dirinya sendiri dan hanya dapat dihilangkan dengan tunduk, percaya dan mengikuti jalan yang membuka pintu ilmu pengetahuan.
Jika kesadaran dan pandangan manusia seluruhnya tertutup oleh batasan-batasan yang diciptakannya sendiri dan harapan-harapan yang sempit serta meremehkan apa yang datang kepadanya, maka pesan yang jelas berupa peringatan bahwa ia berada dalam kesesatan dan melawan dirinya sendiri tidak akan sampai kepadanya. Peringatan bahwa ia telah menyekutukan Allah dan telah menyembunyikan kebenaran, tidak akan menyentuh hatinya. Berhala-berhala dapat dengan mudah dilenyapkan namun berhala-berhala hati, pikiran, ketidakamanan, reputasi, keangkuhan, jabatan, kesombongan, cinta kekuasaan, dan lain-lain, lebih sulit dihapuskan.
Ketika seseorang membangun dinding yang membatasi batinnya dengan panggilan Rasul, maka isyarat tidak akan menembus kesadarannya untuk menumbuhkan benih iman. Benih ini telah tertanam, namun harus disiram dan dipupuk agar tumbuh berkembang. Mereka yang tersesat seperti ini tidak akan pernah beriman, baik diberi peringatan maupun tidak. Tidak ada sesuatu yang dapat mengubahnya, mereka tetap tidak sadar. Namun nabi terus berdakwah, sebagaimana seekor burung yang terinspirasi sepenuhnya untuk terus bernyanyi. Inilah alasan mengapa kebanyakan muslim takut kepada para ulama, terlebih lagi kepada para rasul dan nabi—semoga Allah memberi keselamatan kepada mereka semua—karena semua orang yang telah sepenuhnya memperoleh pengetahuan Kebenaran telah ikhlas dalam tekadnya untuk menyampaikan risalah, baik diperhatikan maupun tidak, di bawah ancaman kematian sekalipun.
Ayat ini memerintahkan Nabi dan secara luas semua pengikutnya untuk berdakwah dan memberi peringatan kepada orang-orang ini tanpa perlu merasa kecewa. Kekecewaan tak akan mempengaruhi rasul karena ia diangkat oleh Allah. Berdakwahlah di jalan Allah (fi sabil Allab) tanpa kekerasan atau penyerangan, dengan hati yang lembut, cara yang baik, tanpa mengharapkan upah apapun. Karena bagaimanapun ini semua untuk kepentingan dirinya sendiri, karena balasan melekat dalam amal itu sendiri. Balasannya adalah kebebasan; karena pekerjaan ini berasal dari suatu keadaan berupa penyerahan diri dan kedamaian. Hanya setelah memperbaiki diri sendiri bamlah seseorang dapat mulai memperbaiki orang lain.
Ayat 11-20
إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَن بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
11. Kamu hanya memberi peringatan kepada orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun ia tak dapat melihat-Nya, maka berilah ia kabar gembira berupa ampunan dan pahala yang mulia.
Ayat ini merupakan perintah khusus kepada Nabi Muhammad, namun ayat ini juga berlaku kepada setiap orang yang menyeru manusia kepada jalan Allah (dakwah). Orang hanya dapat memperingatkan orang-orang yang mau meng-ikuti peringatan atau zikir kepada Allah. Seseorang hanya dapat memberi peringatan kepada mereka yang mengikuti dan memperhatikan, mengingat apa yang telah ada dalam diri mereka sebelumnya, sebelum adanya makhluk, serta menyadari makna dan tujuan pencipataan makhluk, yang telah menyatu dalam diri mereka.
Orang-orang yang berzikir digambarkan pada bagian lain Alquran sebagai orang-orang yang memikirkan penciptaan alam ini. Makna dari ciptaan, sebagaimana menjelma secara lahiriah, terdapat dalam hati manusia; melalui perenungan terhadap alam, maka zikir sejati terjadi. Zikir berarti pengetahuan sebelumnya terhadap suatu hal; ketika kita berkata, "Saya ingat dia", berarti kita pernah mengenal orang tersebut dan sekarang kita mengingatnya kembali. Demikian pula pengetahuan Allah, ia telah ada dalam hati kita, hanya saja kita tidak mengingatnya.
"Ingat" (,dzikr) dalam ayat ini bermakna khusus, yaitu Alquran, karena Alquran merupakan manifestasi dari zikir. Peringatan terdapat di semua kitab samawi, namun peringatan yang paling menyeluruh dan tak akan pemah diselewengkan hanyalah Alquran. Alquran merefleksikan kebenaran wahyu sehingga manusia dapat menemukan kebenaran primordial yang telah terpatri dalam jiwanya. Maka manusia harus memadukan antara wahyu tersebut dengan amal. la tidak dapat hanya berkata, "la harus mengikuti peringatan" (tanpa ia sendiri mempraktekkannya). Melalui peringatan ini, ia mulai sadar, karena zikir yang hanya tertuju kepada Allah akan mendatangkan ketenteraman, yang memungkinkannya melakukan perenungan.
Perenungan pada gilirannya memungkinkan gema wahyu Yang Mahawujud terdengar. Rahasia penulis wahyu telah ada di sana. Untuk menemukannya kembali, seseorang harus memasuki gerbang Islam dan Iman serta menempuh jalan zikir sambil memadukan antara amal dan niatnya. Ketika seseorang berusaha mengingat Kebenaran dalam dirinya, berarti ia berhenti mengingat hal lainnya. Dengan kata lain, siapa pun yang mengingat hakikat dirinya, tak akan menghadapi dualitas sebagaimana yang kita alami di dunia ini. Risalah Alquran tidak dapat dipisahkan dari Rasulullah karena melalui beliau Alquran datang, dan beliau sendirilah yang memberikan contoh mengamalkan Alquran. Risalah dan rasul menunjukkan kepada kita jalan aman dan mumi dan menuju Tuhan.
"Dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun ia tidak melihat-Nya" bermakna ia takut melang-gar hukum. Khashyah berarti ketakutan positif melakukan sesuatu tanpa niat yang ikhlas, atau takut berlaku sombong yang akan mengakibatkan kehancurannya. Khashyah berarti takut kembali ke keadaan mengingat hal selain Allah. Khashyah berarti pula waspada agar perbuatannya tidak mengarah kepada sisi negatif dari rahmat Allah yang mencakup segala hal. Makna rahmat baru dapat dimengerti sepenuhnya setelah mengalami penderitaan.
Setan (syaithan), sumber penderitaan, dapat juga menjadi seorang kawan. la juga salah satu hamba Allah yang melaksanakan tugas licik dan menakutkan dengan membuat kesulitan. Namun hal ini tidak berarti manusia harus menolong setan. Manusia harus selalu waspada, karena ia tak pernah tahu kapan ajalnya akan tiba. Setan melakukan tugasnya ini dengan terus menjerumuskan kita. Tujuan semua penderitaan adalah menanggalkan upaya pengekalan diri di dunia ini sehingga meningkatkan perkembangan rohani manusia.
Sekarang adalah waktu dan situasi yang tepat untuk mengambil hikmah dari semua penderitaan ini. Ayat ini menegaskan bahwa nabi hanya dapat memberi pcringatan kepada mereka yang selalu berusaha berada dalam kesadar-an, yang telah cukup menderita, yang tahu di mana dan bagaimana mereka telah melanggar hukum dan, karenanya, diberi musibah, sehingga mereka takut melanggar larangan-larangan Allah dan terputus dari keridaan Allah. Nabi Muhammad bersabda, "Apa yang halal telah jelas dan apa yang haram juga telah jelas. Dan di antara keduanya ada daerah samar, maka jauhilah yang samar itu!" Jika manusia ragu terhadap suatu hal, maka ia harus menghindari hal tersebut sebisa mungkin sampai ia yakin mengenai hal tersebut.
Kata "tidak terlihat" (ghayb) dalam ayat ini dipahami dengan dua cara. Yang pertama, seseorang tidak mengetahui dengan jelas larangan-larangan Allah namun ia menerima kebenarannya. Kedua, gaib berarti alam gaib. Di samping alam fisik yang dapat dirasa oleh indra kita, terdapat pula alam kehidupan di luar jangkauan penglihatan kita. Kedua alam ini saling berhubungan.
"Maka berilah ia kabar gembira berupa ampunan"; setelah diberikan peringatan positif, manusia lalu diberi kabar gembira. Kata "kabar gembira" (busyra) secara etimologis berhubungan dengan tiga kata lain yang berarti "menguliti (basyara)", "lapisan terluar (basyarah)", dan "manusia (basyar)". Kita dapat menafsirkan bahwa peringatan menguliti lapisan terluar manusia agar ia mampu membuka rahasia saling hubungan, kesatuan dan kesempurnaan ciptaan.
Dari sudut pandang subyektif kita mungkin khawatir kalau-kalau kita secara kurang hati-hati keluar dari naungan perlindungan Yang Maha Pemurah. Kabar gembira ini menegaskan bahwa hanya ada satu perlindungan Yang Maha Pemurah; hanya ada pahala yang berlimpah bagi yang beriman dan menerima kebenaran risalah.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

12. Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apayang telab mereka kerjakan dan jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Segala sesuatunya Kami tuliskan dalam Kitab yang nyata.
Alam semesta ini didasarkan atas hukum kehidupan dan kematian baik jasmani maupun rohani. Banyak orang yang mati secara batiniah. Secara lahiriah mereka terlihat hidup namun secara batiniah mereka mati. Di tempat lain, Alquran mengatakan, "Ikutilah Allah dan Rasul agar kamu memperoleh kehidupan." Meskipun ayat ini ditujukan kepada makna hidup (lahiriah), namun ia juga menegaskan bahwa seseorang memperoleh kehidupan yang cerah secara batiniah apabila kesadarannya telah dibangkitkan secara keseluruhan. Sekali seseorang telah sadar, kecenderungan-kecenderungan rendahnya akan melemah.
Berkenaan dengan orang-orang yang mengorbankan dirinya kepada Allah, yang terbunuh di jalan-Nya, la berfirman, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka) itu mati. Bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (2: 154).
Nabi bersabda pada sebuah hadis yang terkenal, "Manusia itu tidur; ketika ia mati, barulah ia bangun." Di hadis lain, "Matilah sebelum kamu mati." Dari dua hadis ini kita memahami bahwa kematian, baik secara fisik maupun kiasan, membebaskan seseorang dari parameter kesadaran duniawi menuju kepada penyingkapan rahasia kehidupan yang sejati.
Ketika manusia telah menyadari hakikat kehidupan dan ketika mata Kebenarannya telah terbuka, maka ia akan mengetahui bahwa yang ada hanya Allah Yang Mahahidup, Mahakekal. Kesadaran timbul dalam hidup dengan menyadari hidup secara terus-menerus dan benar. Mereka yang sungguh-sungguh mencari Allah akan memperhatikan pesan risalah bahwa tujuan hidup ini adalah untuk memperbaiki dan menyucikan jiwa yang terbatas (nafs) agar mengetahui refleksi Tangan Allah yang tak terbatas di balik segala sesuatu.
Catatan "terhadap apa yang telah dikerjakan dan jejak-jejak ditinggalkan" merujuk kepada perbuatan manusia. Setiap waktu mengandung jejak-jejak masa lampau untuk diproyeksikan ke masa datang. Perbuatan kita sekarang, baik maupun bumk, akan terus memberikan pengaruh kepada kita. Pada sisi lain, setiap waktu adalah saat yang baru. Pelaksanaan yang ikhlas dari wudu, dalam memuji Allah dan mensyukuri rahmat-Nya yang tak terbatas, menciptakan suatu keadaan yang di dalamnya kita hadir sebagai saksi pada saat itu. Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada di hati orang yang beriman."
"Dan jejak-jejak mereka": segala sesuatu merupakan sebuah jejak. Kita sendiri adalah jejak Yang Mahawujud. Ke mana pun kita memandang dan apa pun yang kita lihat, ada jejak atau tanda Allah. Segala sesuatu berasal dari Allah, ditembus oleh Allah, dan dipelihara oleh Allah. Segala sesuatu dipenuhi oleh zat Tuhan.
Kata Arab yang diterjemahkan sebagai "jejak" dalam ayat ini adalah atsar yang berarti "apa yang ditinggalkan". Kata ini berasal dari kata kerja yang berarti "menyebabkan, mengakibatkan, mempengaruhi". Melalui perbuatan, kita meninggalkan banyak jejak dalam perjalanan menempuh hidup, sebagian akan mempermudah perjalanan hidup orang lain. Bagaimanapun, jika kita meninggalkan jejak yang tidak lurus, maka orang di belakang kita akan mengikuti jejak yang tidak lurus ini. Satu ciri harnba Allah ialah jika mereka meninggalkan tempatnya, tak ada yang ditinggalkannya kecuali wangi parfum.
Setiap kita menghasilkan Kitab catatan masing-masing. Semakin bertambah Iman dan Islam kita, semakin baiklah perbuatan kita menghasilkan jejak asli batiniah. Perumpamaannya seperti proses holografi yang menghasilkan fotografi yang disebut hologram. Setiap bagian hologram akan menyusun kembali gambaran asli. Demikian pula jiwa (nafs) manusia adalah sebuah "jejak", salah satu bagian dari Yang Mahawujud.
"Kami catat segala sesuatunya dalam Kitab yang nyata": segala sesuatu dalam hidup kita telah diperhitungkan, diukur, dan dicatat dalam sebuah buku. Tak ada yang terlupakan, segala sesuatu memiliki tempat penvujudannya, dicatat dan akan diputar ulang. Tak ada yang dapat lari; suatu benda mungkin berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, dari hidup menjadi mati, dari energi menjadi zat, namun tak ada yang hilang dalam alam ini.
Salah satu dilema ilmuwan zaman sekarang adalah konsep ruang yang terbatas, di mana dalam ilmu pengetahuan dan pemahaman manusia tentang alam dan fenomena-nya, ia harus mengasumsikan suatu keterbatasan tertentu. Permasalahannya: "Jika ruang ini benar-benar terbatas, apa yang ada di baliknya?" Konsep tentang keterbatasan tak mungkin ada tanpa alasan yang mendukung atau yang mendasari ketidak-terbatasan! Apa pun yang kita amati dan alami berada dalam batas-batas keterbatasan, namun keterbatasan hanya dapat bermakna jika ia dicakup, diliputi, dan diberikan defmisi oleh ketidak-terbatasan.
Segala sesuatu dipertanggungjawabkan dalam "sebuah Kitab yang nyata" (fi imam mubin). Kata Kitab dapat merujuk ke Alquran itu sendiri maupun manusia yang berilmu pengetahuan. Kata yang dipakai untuk "Kitab" adalah imam, yang berarti seorang pemimpin. Berkenaan dengan hal ini, Nabi bersabda dalam sebuah hadis, "Kamu tidak akan merasakan kematian ideal seorang muslim atau seorang mukmin jika kamu tidak tahu pemimpin (imam) pada zamanmu." Para ulama berkata, "Jika kamu ddak mempunyai seorang hamba Allah sebagai gurumu, maka setan akan menjadi gurumu." Penafsiran lain dari "Kitab yang nyata" juga merujuk kepada 'Ali ibn Abi Thalib, karena dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Nabi Muhammad bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya."
"Kitab yang nyata" juga merujuk ke "buku catatan yang terpelihara baik" (al-lawh al-mahfuzh) yang berisi rencana penciptaan. Makna ini secara sangat jelas terdapat dalam surah al-Baqarah (Sapi Betina), ketika Adam mengajar para malaikat nama-nama benda yang telah Allah ajarkan kepadanya. Adam diperintahkan melakukan ini karena Adam memiliki ilmu tersebut yang mencakup seluruh pengetahuan. Sedangkan kekuatan malaikat menyerupai balok energi yang penyalurannya telah jelas dan terbatas. Sebelumnya, Allah telah memberitahu malaikat bahwa Dia akan menciptakan seorang wakil (khalifah) di bumi. Karena malaikat mengetahui kekuatan Allah yang terdiri atas kekuatan mencipta dan juga kekuatan merusak, mereka memprotes bahwa makhluk (manusia) ini akan membuat malapetaka dan kerusakan sedangkan mereka senantiasa bertasbih kepada-Nya. Ketika itulah Allah memerintahkan Adam untuk menunjukkan ilmu pengetahuannya, "Beritahukanlah mereka nama-nama (benda), ajarilah mereka ilmu yang kamu miliki!" Ketika itu Adam menunjukkan sifat ketuhanan aslinya (fithrah mathbu'ah), konsep aslinya. Ketika malaikat mengetahui bahwa pengetahuan ini sebenarnya pengejawantahan pengetahuan Yang Maha Pencipta, maka mereka bersujud kepada Adam. Pengetahuan Adam mewakili seluruh situasi alam yang beragam yang mungkin ada dalam seluruh spektrum alam. Pengetahuan sejati adalah pengetahuan Ilahi dari Allah. Jadi Adam, manusia pertama, sebagai wadah dari pengetahuan Ilahi ini juga merupakan "Kitab yang nyata" (imam mubin).
Alam mulanya adalah laut mati (yang azali), di mana tak ada fenomena apa pun yang nampak. Ketika itu belum ada Sifat-sifat, yang ada hanyalah Zat. Dari Zat inilah muncul kekuatan dan dari kekuatan ini muncullah alam, termasuk makhluk-makhluk pengisi alam. Dari rangkaian penciptaan ini muncullah kemampuan melihat, berbicara, dan kemampuan indrawi lainnya pada manusia.
Sepanjang hidupnya, manusia menunjukkan perbuatan-perbuatan yang diawali oleh proses mental lalu diungkapkan dalam kata-kata. Dalam tradisi Islam dikenal ungkapan, "Kita adalah makhluk yang melakukan apa yang kita katakan, mengatakan apa yang kita maksud, dan tidak mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikiran!" Ini berarti bahwa manusia mengatakan kebenaran dan bertindak sesuai kebe-naran. Aspek lahiriah amal-perbuatan dituntun dan dibentuk oleh pengetahuan hukum lahiriah (syariat), sedangkan aspek batiniah amal-perbuatan dituntun dan dibentuk oleh niat seseorang, yang mempakan kebenaran yang memotivasi dan tak terlihat (haqiqah). Apa yang sekarang ini sedang kita tulis dalam buku biografi kita dengan pena amal kita akan tertinggal sebagai jejak, termasuk perkataan kita pun akan dicatat.
Akhir (kehidupan di dunia) merupakan permulaan (kehidupan di akhirat). Jiwa manusia akan terus beresonansi sesuai getaran dari keadaannya. Apa yang dialami jiwa di kehidupan nanti didasarkan atas kondisi terakhirnya saat kepergian dari tempat fisiknya, badan. Jika jiwa tersebut berada dalam Islam yang menyeluruh, Islam yang sejati, maka ia akan merasakan kenikmatan yang sebanding dengan kualitas Islamnya. Namun jika jiwa tersebut dipenuhi dengan kesombongan dan sifat-sifat negatif, maka keadaan buruk inilah yang akan terefleksikan. Untuk alasan inilah, kita berkata, "Katakan hanya Dia (Yang Maha Esa), lihat hanya Dia, dan jadilah (hamba) Dia!" Syekh 'Abd as-Salam ibn Mashish, seorang ulama besar Maroko, berkata, "Ya Allah, selamatkanlah aku dari lumpur ilmu pengetahuan tauhid dan tenggelamkanlah aku dalam sumber samudra tauhid!"
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلاً أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ
13. Dan buatlah sebnah perumpamaan bagi mereka, penduduk suatu negeri, ketikapara utusan datang kepada mereka
Ayat ini merupakan contoh kasih sayang ketuhanan (rububiyyab) yang abadi dari Dia Yang selalu memberi peringatan kepada manusia agar menyadari fitrah asalnya sebagai hamba yang bertugas menyembah Dia Yang Maha-benar. Setelah kaum ini diberi risalah universal berupa peringatan untuk mencegah perbuatan dosa, yang menyebabkan mereka terbelenggu kesombongan, selanjutnya Allah berfirman, "Buatlah sebuah perumpamaan bagi mereka," seakan kalimat ini saja telah cukup menimbulkan goncangan kesadaran.
"Buatlah untuk mereka sebuah perumpamaan (matsal) tentang penduduk negeri," merujuk kepada peristiwa ketika Nabi Isa mengutus beberapa sahabatnya kepada penduduk Anthakiyah. Ini dilakukan karena cintanya yang teramat sangat kepada kaumnya, untuk menunjukkan bahwa jalan yang selamat adalah Islam: "Berserah dirilah (kepada Allah), gerbang menuju Islam. Hai orang-orang yang yang memiliki beban berat di pundak, berserah dirilah, agar kamu dapat bebas!" Singkirkan belenggu cinta, harapan, kesombongan, ketakutan, kegelisahan, dan keresahan. Kenakanlah kalung bunga berupa kebebasan batin dan penyerahan diri dengan cara mengubah niat jelek menjadi niat baik dan mengarahkan niat baik menjadi niat benar (ikhlas karena Allah)!
Ketuhanan bersifat abadi. Itulah mengapa kita katakan Islam akan menang, karena Islam berarti berserah diri kepada evolusi dan kesadaran batin. Secara biologis, setiap manusia berasal dari sebuah sel kecil kemudian berkembang menjadi bentuk yang paling kompleks, berjalan tegak lurus dengan dua kaki dan indra untuk menyadari ling-kungan sekitar dan tangan-kaki untuk bekerja dan bergerak. Secara keseluruhan, sebagai sebuah spesies, manusia, sejak kelahirannya, terus tumbuh dan berkembang menuju kepada kedewasaan; kita tidak tahu pasti bagaimana hal ini terjadi, namun yang jelas ada penyebabnya, dan penyebabnya ini harus kita kenali.
Jika Allah menghendaki, maka (Dia hanya berkata) "Jadilah! Maka jadilah" (kun fayakun). Waktu tak dapat dirasakan tanpa kehadiran lawannya, non-waktu; maka "Jadilah! Maka jadilah." Layar yang menjadi latar belakang film, tidak bergerak. Namun sinar yang dipantulkan pada layar justru bergerak. Gerakan tidak dapat dikenali kecuali ada latar belakang yang diam. Sebaliknya, diam tidak dapat dirasakan oleh kita kecuali gerakan dilapiskan ke atasnya. Manusia adalah ruang antara (barzakb) alam nyata dan alam gaib, karena ia mencakup kedua aspek ini. "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada di hati orang mukmin."
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
74. Ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, mereka menolaknya, kemudian kami kuatkan (mereka) dengan utusan yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: Sesungguhnya, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu!
Inilah contoh penderitaan yang dialami oleh para rasul. Tugas mereka adalah menyeru manusia kepada jalan Allah melalui Islam dan Iman, memberi peringatan yang jelas tentang akibat-akibat perbuatan manusia. Namun sering peringatan mereka didengar oleh telinga-telinga tuli. Para Nabi dari zaman kapan pun tidak banyak pengikutnya.
Karena dua orang utusan tidak cukup untuk meyakinkan penduduk Anthakiyah, maka Allah menguatkannya dengan utusan ketiga, seorang yang bertauhid (muwahid) sekaligus sahabat dekat Nabi Isa, Simon as-Safi. Sebagaimana halnya ketiga utusan ini diutus ke negeri tertentu, demikian pula kita menerima risalah dari dalam "negeri" batin kita, karena masing-masing batin kita diliputi hakikat segala sesuatu yang kita amati, kita ukur, dan kita pahami secara lahiriah.
قَالُوا مَا أَنتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَا أَنزَلَ الرَّحْمن مِن شَيْءٍإِنْ أَنتُمْ إِلاَّ تَكْذِبُونَ
15. Mereka berkata: Kamu hanyalah manusia (biasa) seperti kami. Allab Yang Maha Pemurab tidak menurunkan sesuatupun. Kamu hanyalah pendusta belaka!
Penduduk negeri yang berada dalam keingkaran ini mengharapkan adanya fenomena ganjil, sesuatu yang aneh, menggemparkan dan luar biasa, suatu keajaiban (yang mengiringi kedatangan para rasul). Maka mereka memprotes para utusan ini, dengan mengatakan, "Tapi kalian hanyalah manusia biasa seperti kami. Bagaimana mungkin kami menganggap serius kalian, bagaimana kami tahu bahwa kalian utusan Tuhan Yang Maha Pemurah? Kalian pasti berbohong! Kami melihat kalian hanya manusia biasa, apa keistimewaan kalian sehingga mengatakan apa yang kalian katakan itu?" Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa para utusan ini sebenarnya) wakil Nabi Isa. Risalah Nabi Isa menyeru berserah diri, meninggalkan ambisi duniawi, cinta kepada sesama. Dan Allah akan memenuhi janji dan perbuatan-Nya, serta membawa kalian ke dalam rahmat-Nya, jika kalian mengikuti risalah! Inilah diantara kemurahan dan kebesaran Nabi Isa yang risalahnya sama dengan para Nabi lainnya.
Nabi Muhammad tidak mengizinkan manusia menempatkan diri beliau sebagai sesembahan dan tidak membiarkan manusia menganggap beliau sebagai makhluk gaib. Beliau selalu mengingatkan manusia bahwa beliau adalah manusia biasa, yang membedakannya adalah niatnya yang tinggi dan pengetahuannya yang diwahyukan. la juga makan dan dilahirkan oleh seorang ibu. Semua ini dimaksudkan agar manusia tidak tersesat. la hanyalah seorang rasul yang membawa dan menyampaikan risalah; makna risalah tidak dapat dipisahkan dari sumbemya secara keseluruhan. Sekali manusia meraih dan merasakan risalah, maka ia telah memperolehnya. Laksana bulan sabit yang kecil namun terlihat jelas; ia muncul samar-samar di langit senja, awalnya tidak terlihat, namun sekali manusia melihatnya, maka ia akan merasakan keindahannya; dan sekali ia melihat satu bulan sabit, seolah ia telah melihat semua bulan sabit. Pengamatan seperti ini membutuhkan kedalaman fokus, bukan keluasan pandangan.
Jalan menuju ilmu Allah tidak luas, tapi dalam. Inilah sebabnya kita sering mendengar para ulama berdoa, "Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang dalam, berilah kami pandangan yang mencakup segala sesuatu!" Seorang muslim sejati benar-benar berfokus pada Allah dalam pencariannya. la menginginkan hanya Allah dan berusaha mencapai tujuannya melalui penyerahan diri secara total dan khusyuk. Para pencinta Allah yang dilanda kerinduan yang mendalam bersedia meninggalkan apa saja untuk tujuan ini, tanpa peduli pada hal lain. Cara memulai hal ini adalah dengan percaya kepada Rasul dan risalahnya.
قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ
16. Mereka berkata: Tuhan kami mengetahui bahwa se-sungguhnya kami adalah utusan yang dikirim kepadamu
Dalam ayat ini, kata Arab Rabb, yang bermakna "Tuhan", digunakan karena dalam bahasa Arab kata ini berarti "Zat yang membimbing manusia menuju potensi puncaknya." Jadi, para utusan ini menyatakan bahwa mereka telah sampai pada tingkat tinggi (potensi puncak) ini dan memenuhi persyaratan untuk membawa risalah 'Isa. Mereka mengatakan, "Tuhan (RabK) kami, Pemelihara kami Yang berkat kekuatan pengetahuan, kami sampai kepada pengetahuan yang tinggi tersebut. Dia, Yang membimbing setiap manusia ke titik potensi puncaknya, mengetahui bahwa kami datang kepada kalian sebagai utusan. Kami hanya mengulangi seruan abadi yang satu."
وَمَا عَلَيْنَا إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
17. Kami tidak memiliki kewajiban kecuali menyampaikan (risalah) dengan jelas.
Para utusan datang membawa kabar gembira dan tanda yang jelas. Namun, kaum ini telah berada dalam kesesatan, telah tertutupi, dan, karena itu, diazab. Perbuatan mereka telah lama membelenggu dan memutuskan mereka dari Yang Mahawujud sehingga mereka tidak lagi mampu melihat keadaan diri mereka sendiri secara jelas. Tetapi para utusan yang membawa risalah kenabian dapat melihat keadaan ini dan kemana keadaan ini akan menjerumuskan mereka. Ada sebuah aspek kesadaran yang tidak gampang berubah seiring berlalunya waktu kecuali dengan cara dramatis.
Utusan (Nabi Isa) hanya bertanggung jawab menyampaikan risalah apa adanya. Namun penduduk Anthakiyah ini menentangnya karena mereka telah puas dengan keadaan mereka sendiri. Usaha manusia untuk memapankan apa yang ada di sekitarnya merupakan akibat dari fitrahnya sebagai makhluk yang bertradisi. Atas dasar inilah, para ulama mendobrak tradisi. Hamba yang berada di jalan Allah menyadari batasan kapan ia mulai dibelenggu oleh harapannya berupa pola berulang yang dibiasakannya, dan betapa ia sebenarnya hanyalah makhluk dan orang yang terpenjara oleh kebiasaannya yang telah mendarah daging. Secara alamiah, jika orang yang diperbudak kebiasaan diperintahkan untuk berserah diri kepada Allah, maka mereka merasa terancam dan bereaksi untuk mempertahankan kebiasaannya.
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِن لَّمْ تَنتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُم مِّنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ
18. Mereka berkata: Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Jika kamu tidak menghentikan (seruan ini), kami akan merajam kamu dan kamu akan mendapat siksa yang pedih dari kami
Dikondisikan hidup di daerah dan lingkungan yang tandus dan sebagian besamya padang pasir, orang-orang Timur Tengah benar-benar peka terhadap alam sekitar. Kemunculan berbagai binatang, khususnya burung, sering dianggap sebagai pertanda buruk. Apa yang penduduk Anthakiyah katakan kepada para rasul ini adalah bahwa kehadiran mereka merupakan pertanda buruk dan jika mereka terus menyampaikan risalah, maka mereka akan disiksa.
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِن ذُكِّرْتُم بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
19. Mereka berkata: Kemalangan kalian adalab karena kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian bemasib malang)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas
Para utusan menjawab, menyatakan bahwa mereka, penduduk Anthakiyah, adalah penyebab kemalangan mereka sendiri akibat ulah perbuatan mereka. Hanya dengan menyadari bahwa pertanda buruk terjadi sebagai akibat pengingkarannya terhadap kebenaran barulah seseorang dapat selamat. Apa yang menghalangi manusia menerima risalah adalah karena ia telah pergi terialu jauh, melebihi batas-batas kebutuhan dan kemanfaatan, menjadi, apa yang diistilahkan oleh ayat ini, musrif, berlebih-lebihan. Para utusan menegur penduduk Anthakiyah ini, "Kalian telah melampaui batas-batas perilaku yang dibolehkan yang kondusif untuk memahami Tuhan Yang Mahawujud, maka bagaimana mungkin kalian dapat mengingat-Nya? Situasi yang berakhir dengan kematian ini merupakan akibat kebodohan kalian sendiri yang berlebihan." Inilah selubung yang di-ciptakan dengan menggantikan hal yang nyata atau praktis dengan konsep-konsep dan khayalan.
Kaum yang dimaksud ayat ini menolak kritik sang utusan tersebut karena mereka tidak ingin dibangunkan dari keengganannya mengikuti risalah. Bagi mereka risalah kenabian menimbulkan kesusahan. Tujuan risalah adalah membangunkan manusia dari khayalan yang memuaskan diri. Allah bukanlah pemboros. Dia tak akan mengutus rasul-Nya kepada kaum yang telah secara ikhlas menyembah-Nya. Seorang nabi atau rasul tidak pemah diutus kecuali untuk mengingatkan manusia terhadap Yang Maha-wujud. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum diberi peringatan."
Salah satu wawasan yang dibukakan oleh surah Yasin adalah bahwa manusia menyebabkan malapetakanya sendiri. Dengan pemikiran, niat, dan amal perbuatan, masing-masing kita menentukan masa depan kita sendiri. Niat seorang muslim sejati diarahkan hanya untuk menundukkan jiwa rendahnya. Karena ia menyadari hanya dengan cara inilah ia memperoleh keselamatan. la telah cukup dibingungkan dengan berlari antara Shafa dan Marwah, dua bukit di Mekkah tempat jamaah haji bersa'i, yang melambangkan watak asli pencarian ke mana-mana dari satu benda atau peristiwa ke benda atau peristiwa lain. Berputar mengelilingi Ka'bah membuatnya pusing sehingga ia mencium Hajar Aswad (Batu Hitam) dan berlebur diri. Setelah itu ia melaksanakan dua rakaat di makam Ibrahim. Di sinilah ia berserah diri dalam sujud. Setelah selesai ibadah haji, dan hanya setelahnya, ia sah berbuat (hal-hal yang dilarang selama ihram/haji) dengan catatan ia tetap bertanggung jawab terhadap keadaan hidupnya. la adalah pengarang kisah hidupnya sendiri dengan mewujudkan niatnya ke dalam pemikiran dan perbuatannya.
Alam adalah sistem simbiosis yang dibangun dengan keseimbangan yang sempuma. Alquran diturunkan kepada manusia agar memahami kode keadilan dan keseimbangan Ilahi dalam kehidupan, di setiap peristiwa dan sepanjang masa. Hanya manusia sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sesuai niat dan perbuatan yang dihasilkannya. Meskipun demikian rentang waktu kehidupan yang berdenyut dalam jantungnya tidaklah berada dalam kekuasaannya. Apa yang manusia usahakan akan dirasakan segera akibatnya sesuai hukum alam. Jika manusia yakin bahwa semua situasi yang ada di alam saling berhubungan dan semuanya berjalan sesuai hukum Ilahi, maka ia akan melihat Nama dan Sifat Allah dalam alam ini. Hal ini akan mengantarkannya kepada perenungan tentang Allah yang tembus waktu dan ruang.
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُواالْمُرْسَلِينَ
20. Dan dari ujung kota datanglab seorang laki-laki sambil bergegas-gegas ia berkata: Hai kaumku, ikutilah para utusan ini
Seorang di antara penduduk Anthakiyah telah menerima kebenaran risalah, karena ia telah mendengar panggilan batinnya dan menyadari kebenaran dalam dirinya. la datang bergegas untuk mendukung kebenaran.
Datang "dari ujung kota", tiba-tiba ada kesediaan untuk. mendengar. Dalam sejarah, orang ini dikenal sebagai Habib an-Najjar. la datang memohon kaurnnya untuk mengikuti para utusan dan risalahnya. Tiap kota batin masing-masing kita memiliki Habib, suara hati yang berkata, "Lihatlah, ini adalah kebenaran!" Suara ini adalah gaung mendalam, bukan ingatan terhadap apa yang didengamya kemarin, tetapi mengingat apa yang telah tertulis dalam fitrah. Ibarat gaung-suara atau bunyi yang digunakan oleh ikan-ikan di dasar laut, suara hati ini mendengarkan hal yang di luar waktu, sesuatu yang telah melekat dalam diri kita, yaitu hukum-hukum Allah. "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada dalam hati orang mukmin."
Pintu menuju pengetahuan batin ini adalah melalui suara intuisi yang terdapat di lubuk hati setiap manusia. Namun karena banyak puing yang menghambat jalan ke sana, hanya sedikit yang sampai ke mata air pengetahuan ini.
Ayat 21-30
اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
21. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
Orang yang telah menerima kebenaran risalah ini tidak punya pilihan lain kecuali menemui kaumnya dan berusaha menyampaikan kebenaran tersebut. la berkata, "Ikutilah orang-orang yang berusaha menunjukimu!" Kemudian ia mendefinisikan siapa saja yang merupakan rasul sejati. Kriteria pertama seorang rasul yaitu ia tidak meminta atau mengharapkan balasan maupun imbalan jasa atas pengajarannya. Jika seseorang meminta balasan, mengharapkan keuntungan atau ketenaran pribadi, berarti ia masih terbelenggu oleh keinginan duniawi dan image pribadi. Kedua, seorang rasul sejati menyampaikan petunjuk yang dapat dikenali secara jelas oleh setiap orang yang ikhlas dari sudut pendirian pribadinya; atau memakai istilah sebuah hadis, ia berbicara kepada setiap orang dengan cara yang dapat dimengerti.
Manusia harus sepenuhnya efisien untuk mengikuti jalan Yang Mahawujud, dan efisiensi hanya dapat terjadi jika ada kesadaran penuh dan spontan. Ukurannya adalah apakah ia mengajarkan hal yang benar pada saat yang tepat, dengan cara yang benar, di tempat yang sesuai, kepada orang yang tepat? Jika tidak, berarti ia boros, tidak efisien, dan boros adalah kebodohan.
Sepanjang sejarah, pengajaran rohani yang sejati selalu bebas dari paksaan atau tekanan. Terserah kepada orang-orang yang menerima pengajaran untuk meluangkan waktu, memberikan pelayanan atau uang sebagai ungkapan terima kasih kepada guru mereka. Seseorang tidak pemah akan menemui adanya pamrih pada diri seorang guru rohani sejati karena pengajarannya itulah yang merupakan balasan. Bahkan ada guru yang mengajar Kebenaran justru membayar mereka yang datang untuk memperoleh pengajarannya.
Balasan tertinggi menyampaikan risalah adalah memperoleh risalah itu sendiri, menyampaikan dan mendakwahkannya. Orang dari ujung kota, dan demikian pula suara dalam hati kita berkata:
وَمَا لِي لاَ أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
22. Mengapa aku tidak menyembab Dia Yang telab menciptakanku, dan hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan
Kata Arab yang diterjemahkan "menciptakan" (fatbara) dalam ayat ini berarti "membuka" atau "membelah", karenanya juga berarti "menciptakan", dan berhubungan dengan fitrah. Fitrah manusia ibarat sebuah gaung dalam hatinya yang berasal dari ledakan penciptaan awal alam, cahaya asal yang berkilat. Alam selalu terbuka, meledak, dan berkembang dari alam gaib menjadi dunia yang terlihat. Apa pun yang berkembang pasti pada akhirnya akan runtuh. Dentuman Besar (Big Bang) akan mencapai batas terluamya dan setelah itu ia akan kembali pada keadaan semula. Setiap sistem memiliki batas dan kebalikannya, karena segala sesuatu di alam ini mempunyai takdir. Waktu-ruang berputar mengelilingi dirinya sendiri.
Beribadah berarti memuja. Ibadah merupakan perwujudan dari cinta yang mendalam. Sebelum kita diciptakan, kita tidak tahu bahwa ada penciptaan, tidak tahu bahwa ada dunia. Maka suara itu berkata, "Bagaimana mungkin aku menghadapkan diriku kepada selain Dia, padahal Dialah yang menciptakanku?"
Kita adalah akibat dari sebab. Apa pun yang datang kepada kita, baik ilmu, harta, atau peristiwa, adalah karena sebab yang terpancar dari sumber yang tak pemah putus,— sebuah arus—sebuah cahaya dinamis yang termanifestasi dalam waktu dan ruang. Oleh karena itu, dalam istilah ilmiah, Allah disebut sebagai kekekalan yang tak berdimensi, karena la melebihi apa pun yang berasal dari-Nya.
Suara itu berkata, "Jika aku mengambil selain Dia— satu-satunya Yang Mahawujud—sebagai tuhan, maka aku berada dalam kesesatan yang nyata." Manusia harus percaya pada Ketuhanan (Rububiydh). Sifat Rububiyah ini bertujuan membawa manusia kepada kesadaran penuh dengan cara yang benar dan pada saat yang tepat. Manusia harus percaya bahwa meskipun ia berada dalam kegelapan, hal ini adalah demi kebaikannya juga, karena jika ia mengetahui sesuatu sebelum waktunya, pengetahuannya tersebut mungkin akan tidak seimbang dan akan disalahgunakan. Ketika rahmat Allah turun kepada seseorang dalam penyendirian rohaninya (khalwat), tak ada apa pun baginya kecuali melihat dan mengetahui hal yang paling jelas. Yang j'elas menjadi lebih jelas lagi, tak lebih. Tak ada hal lain yang terjadi. Jika seseorang mengharapkan hal lain, harapan itu sendiri akan menjadi rintangan. Tak akan ada lagi keinginan lain, jika ia telah berada dalam keadaan berserah diri. Dengan alasan ini, seorang ulama berkata bahwa orang yang siap untuk menarik diri dari kehidupan duniawi adalah orang yang sepenuhnya terkonsentrasikan, orang yang melihat tak ada jalan, orang yang berakhir dengan hasrat dan ambisi. Ketika ia merasakan kematian, ia dapat memulai kembali kehidupannya. Akhir kehidupan dunianya merupakan awal kehidupan bamnya, sebagaimana Allah yang tidak memiliki awal dan akhir—"dan kepada-Nya kalian akan kembali."
أَأَتَّخِذُ مِن دُونِهِ آلِهَةً إِن يُرِدْنِ الرَّحْمَن بِضُرٍّ لاَّ تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلاَ يُنقِذُونِ
23. Pantaskah aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika CTuhan) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, (niscaya) tidak akan bennanfaat (sedikit pun) syafaat mereka, dan tidak pula mereka dapat menyelamatkanku
Menyembah tuhan selain Dia Satu-satunya Pencipta yang menciptakan dan memelihara manusia dengan cinta-Nya, tidak akan pemah mendatangkan syafaat, karena batas-batas rahmat Allah telah dilanggar. Kata kerja syafa'a, yang menumnkan kata syafa'ah, bermakna "menggandakan, melampirkan, atau menyertakan." Syafaat berarti pelipur lara dan kenyamanan yang datang karena berada dekat dengan yang memberi kenyamanan. Mencari syafaat berarti mencari ketenteraman hati dan petunjuk. Jika larangan-larangan Allah Yang Maha Pemurah dilanggar, bagaimana mungkin syafaat-Nya diperoleh?
إِنِّي إِذًا لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
24. Jika demikian, aku sungguh berada dalam kesesatan yang nyata
Jika seseorang menyembah selain Dia Satu-satunya Pencipta dan Yang memelihara, bagaimanapun menarik dan berkuasanya tuhan lain tersebut, maka ia sungguh telah salah arah dan berada dalam kesesatan yang nyata.
إِنِّي آمَنتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ
25. Sesungguhnya aku telab beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlab aku
Suara itu, atau fitrah, yang bergaung dari ujung kota, menggema dari lubuk hati dan berkata, "Aku beriman, aku telah Jslam, aku telah percaya pada ilmu Tuhanmu. Aku tahu Tuhanlah yang memeliharaku, membimbingku menuju potensi puncakku pada saat yang tepat. Maka dengarkanlah aku, dengarkan suara ini!" Suara yang redup dan jauh ini sangat samar-samar: ia memanggil untuk didengar.
قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ
26. Dikatakan: Masuklah ke taman (surga). Ia berkata: O, seandainya kaumku mengetahui!
Kata jannah, yang diterjemahkan "taman", berarti karena rimbunnya taman ini, tanahnya tidak dapat dilihat. Taman tersebut bersifat rahasia, tersembunyi, dan hening. Kata ini merujuk pada suatu keadaan. Bahasa Arab, sebagai bahasa wahyu Ilahi terakhir, adalah bahasa yang penuh dengan kontras dan dualitas yang berasal dari satu sumber: taman di satu sisi, padang pasir di sisi lain; Islam di satu sisi, kufur di sisi lain; damai di satu sisi, perang di sisi lain. Satu-satunya cara masuk ke surga adalah dengan meninggalkan semua penghalang di gerbangnya: "Masuklah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu" (11: 48).
Bagi orang yang diberi petunjuk kepada jalan Allah, kehidupan akhirat yang kekal itu terasa dekat, dan penantiannya di alam kubur menyerupai keadaan di surga. Hari Pembalasan muncul seketika, tatkala orang tersebut melihat balasan yang tak terhingga berupa kebahagiaan abadi. Suara yang ketika itu menggaungkan pengalaman keadaan kekal tersebut berkata, "O, seandainya kaumku mengetahui!"
Secara jelas ayat ini menegaskan bahwa orang yang telah berserah diri kepada Tuhan dijanjikan surga yang kekal, yaitu keadaan yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan, karena bagaimana mungkin orang tersebut mengetahui kebenaran Surga kecuali ia telah merasakannya?
"O, seandainya kaumku mengetahui!" ia berseru mengungkapkan kenikmatan yang tiada tara karena merasakan pengalaman masuk surga dalam damai, (yaitu) pengetahuan (yang menuntunnya untuk) tunduk kepada risalah dan menempuh jalan tauhid, pengetahuan bahwa tiada tuhan selain Allah.
بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ
27. Atas apayang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menempatkanku di kalangan orang-orang yang dimuliakan
Orang kota ini, orang yang hatinya menerima risalah, mampu mengetahui kemuliaan (karani), penghormatan besar yang diberikan kepadanya karena kemurahan Allah dan karena keislamannya. Kata Arab ghafara, pada ayat ini diterjemahkan sebagai "mengampuni", juga bermakna "menutupi, melindungi, membentengi". Ampunan berarti memberikan perlindungan dari akibat perbuatan-perbuatan dosa di masa lalu atau akibat hasrat dan harapan duniawi di masa depan.
وَمَا أَنزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِن بَعْدِهِ مِنْ جُندٍ مِّنَ السَّمَاء وَمَا كُنَّا مُنزِلِينَ
28. Dan Kami tidak menurunkan kepdda kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit, dan tidak layak Kami menurunkannya
Makna gamblang dari ayat ini yaitu Allah tidak akan menurunkan "pasukan" setelah kematian orang kota ini yang menegaskan kebenaran para utusan yang juga sebagai saksi hidup dari mereka. Pada kasus ini, "pasukan" (jund) berarti "kekuatan malaikat yang menyertai satu sama lain". Seorang tentara dalam sebuah pasukan itu terpaksa, karena ia hanya melaksanakan perintah atasan.
Ayat ini juga menjelaskan makna pemyataan sang utusan kepada penduduk Anthakiyah: "Pertanda buruk itu disebabkan oleh dirimu sendiri." Setelah menyampaikan kebenaran, Allah tidak segera memberi musibah kepada kaum tersebut dengan fenomena gaib, "dan tidak layak Kami menurunkannya." Jadi seseorang ditimpa malapetaka, itu semata akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya sendiri.
إِن كَانَتْ إِلاَّ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ
29. (Tidak ada siksaan atas mereka) melainkan satu teriakan (snara) saja, maka mereka (tiba-tiba) mati
Ketika akhir (kehidupan) datang, baik berupa awal dari akhir Dentuman Besar, runtuhnya suatu kebudayaan, atau kematian seseorang, ia datang sebagai suatu peristiwa tunggal yang menentukan. Sebagaimana dahulu alam diciptakan, maka ia pun kelak akan dihancurkan. Dentuman Besar menyebabkan kehancuran besar. Dari sudut pandang alam mikro dan alam makro, seluruh alam kelak akan dihidupkan kembali. Dan bila ini terjadi, tak akan ada yang bisa kembali ke dunia.
"Satu teriakan" juga bermakna goncangan kesadaran, ketika keinginan seorang manusia yang selalu memotivasinya tiba-tiba mati. Manusia telah diberikan kebebasan untuk memilih dan bertindak antara ke arah kebebasan batiniah dengan bekal pengetahuan yang telah ada dalam dirinya sendiri atau ke arah perbudakan batiniah dengan kekafiran dan kebodohan. Pilihan ini tidak ditentukan oleh takdir. Satu-satunya kebebasan yang dimiliki manusia adalah pilihannya terhadap takdir apakah meinilih takdir baik atau takdir buruk. Dengan bersikap Islami, pengetahuan yang berguna akan datang kepadanya pada saat yang tepat, dan dengan demikian ia akan selamat. Satu teriakan menandai berakhirnya kesempatan untuk beramal. Setelah mati, jiwa terus memancarkan keadaan ketika sakaratul maut, seperti radio yang menerima siaran, apa pun stasiun yang memancarkan.
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون
30. Alangkah besarnya penyesalan hamba-hamba itu! Tiada datang seorang rasul kepada mereka melainkan mereka memperolok-oloknya
Allah memanggil setiap manusia sebagai hamba ('abd), atau budak. Setiap manusia dengan cara apa pun pasti diperbudak karena tak seorang pun dapat lari dari kematian atau kenyataan bahwa ia butuh makan dan bernafas. Masing-masing kita telah merasakan surga dan neraka; dua kondisi ini telah dirasakan dalam dunia fisik. Tujuan jalan Islam adalah menunjukkan larangan Allah. Pelanggaran terhadap larangan ini hanya mendatangkan penderitaan, kesusahan, kesulitan, baik di dunia maupun di akhirat.
Di banyak surah dalam Alquran kita mendapati ayat-ayat serupa yang berusaha untuk meningkatkan hasrat (him-mah') kita terhadap kebenaran. Orang-orang yang menolak pengakuan atas penghambaan diri mereka secara lahiriah dengan cara meletakkan kepala ke tanah dalam sujud dan secara batiniah dengan cara mencari hakikat, sebenarnya telah menipu diri sendiri. Karena setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka menghina dan memperolok-oloknya (yastahzi'un) baik diri sang rasul maupun risalah kebenaran yang dibawanya. Memperolok adalah salah satu perilaku terburuk manusia yang diungkap dalam Alquran. Olok-olok merupakan ungkapan keputusasaan dan kesombongan dari ego bawah sadar dan bukti bahwa ego itu masih kuat dan mendominasi.
Allah menegaskan dalam Alquran bahwa mereka yang memperolok akan menerima penderitaan yang pedih, baik lahir maupun batin. Jangan memandang rendah kepada sesama makhluk, karena makhluk yang terkecil sekalipun, kuman dan bakteri, pada akhirnya merupakan musuh manusia yang paling berbahaya. Batu kecil yang kamu anggap tak berharga dapat memecahkan tulang tengkorakmu. Manusia tidak perlu menghina apa yang tidak dimengertinya, lebih baik ia menyalurkan tenaganya untuk digunakan ke arah positif guna meningkatkan pengetahuannya. Olok-olok hanya menghamburkan tenaga, sedangkan jalan Islam, jalan yang benar, menyalurkan tenaga untuk meraih sukses.
Satu-satunya tujuan jalan Islam adalah mengatasi ego, bayangan tentang "aku". Apabila ego telah dikalahkan, maka pintu menuju Tuhan, yang telah ada dalam diri manusia, akan terlihat.
Ayat 31-40
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّنْ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لاَ يَرْجِعُونَ
31. Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak umat-umat sebelum mereka telah Kami binasakan. Sesungguhnya umat-umat tersebut tidak akan kembali kepada mereka
Kaum-kaum, kota, budaya, atau negara yang tidak berjalan ke arah pencerahan diri, menyusuri jalan penyerahan diri kepada Yang Mahawujud yang darinya mereka tak pernah terpisah, akan mntuh karena jalan yang menyimpang itu. Ayat ini meminta kita untuk merenungi betapa banyak kaum yang ditimpa kesia-siaan dan kehancuran. Seseorang tidak lagi dapat berhubungan, atau kembali kepada mereka. Nenek moyangnya atau kebudayaan sebelumnya telah hilang selamanya, hampir tidak meninggalkan jejak.
Pada dasarnya manusia terbiasa dengan lingkungannya, ingin memelihara rutinitas dan tradisi lahiriahnya. Sedangkan alam bersifat dinamis dan selalu bembah. Gaung keabadianlah yang menimbulkan huru-hara. Gaung ini pula yang menjelaskan mengapa kita tertarik kepada kelang-gengan rutinitas. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mengikuti kebiasaan. Bahkan secara biologis semua sel tubuh berusaha untuk bertahan hidup. Kita ingin hidup abadi. Keinginan kita untuk hidup abadi ini disebabkan oleh cinta kita kepada Dia Sang Mahahidup.
Semua yang ada di alam ini terikat oleh hukum Allah. Zat-Nya tidak dapat dipahami oleh makhluk yang mengalir dalam arus alam dan dipelihara oleh penguasa arus itu sendiri. Bagaimana mungkin daun bisa memahami sifat sungai yang mengalir di bawahnya? Hanya jika daun itu gugur, larut dan menyatu dengan arus, baru ia dapat bergema atau merefleksikan sifat arus sungai tersebut yang membawanya mengikuti perjalanan sang arus sungai.
وَإِن كُلٌّ لَّمَّا جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ
32. Dan mereka semuanya akan dikumpulkan lagi di hadapan Kami
Hanya ada Kehadiran Ilahi (al-Hadrab ar-Rabbaniyyah). Segala sesuatunya telah berada kehadirat Ilahi. Kesadaran penuh akan hal ini akan memungkinkan kita untuk tidak mencari hal lain kecuali Tuhan, tak ada apa pun kecuali Dia Yang Maha Pemurah yang selalu hadir dalam segala sesuatu. Pilihan terserah pada kita.
وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ
33. Dan suatu tanda bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian sehingga mereka dapat memakannya
Inilah satu dari sembilan tanda yang berbeda-beda yang diletakkan secara berurutan dalam surah ini, satu demi satu, agar manusia dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang hukum yang bekerja di alam wujud ini. Ada keteraturan yang menyebabkan hukum-hukum ini berlaku dan alasan dari keteraturan tersebut. Ayat-ayat Alquran biasanya dimulai dengan menjelaskan hal-hal yang besar terus berlanjut ke hal-hal yang lebih kecil.
Segala sesuatu merupakan tanda kebesaran Allah. Ke mana pun manusia memandang ada tanda-tanda tersebut, biasanya dijumpai berpasang-pasangan. Salah satu tanda itu adalah bumi yang dulunya mati kemudian dihidupkan. Irama bumi terus bergulir, dan karena bumilah para penghuninya bertahan hidup. Keanekaragaman peristiwa-peristiwa ini yang secara bersama membentuk satu ekosistem, merupakan tanda-tanda yang menunjukkan adanya Sang Pemelihara di balik semuanya.
Di sini kita diingatkan bahwa setelah penciptaannya, bumi itu mati. Keadaan yang mencair lama-kelamaan membeku. Selanjutnya turunlah hujan; sehingga terbentuklah lautan-lautan dan danau-danau. Dari air, dan juga dari tanah bumi, muncullah bentuk-bentuk kehidupan. Menurut ilmu bumi, proses ini berlangsung selama beberapa ratus juta tahun.
Kata Arab habb, yang dalam ayat ini diterjemahkan sebagai biji, juga memiliki arti benih. Agar potensinya berkembang menjadi tumbuhan atau pohon, benih ini harus merekah melewati batas-batasnya sebagai benih, melarut-kan dirinya dalam sebuah proses perubahan bentuk.
وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنْ الْعُيُونِ
34. Dan Kami jadikan padanya taman-taman kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air
"Taman-taman" (jannah) bisa berarti taman secara lahiriah fisik maupun taman batiniah, Surga yang gaib. Biasanya, jika Alquran berbicara tentang "surga yang mengalir di bawahnya mata air" (jannah tajri min tahtiha al-anhar), yang dimaksud adalah "keadaan" ketika berada di surga, keadaan batin yang tenteram, damai, puas, bahagia, dan nikmat.
Setelah penciptaan bumi dan proses penghidupannya, taman-taman kurma dan anggur termasuk di antara beragam jenis taman yang tercipta. Kurma merupakan jenis tanaman yang paling antik dan berkembang pesat, berada di per-batasan dunia tumbuhan dan dunia binatang. Pohon kurma memiliki sebuah jantung. Jika seseorang menenggelamkan pohon kurma, maka pohon itu akan mati ketika air mencapai ketinggian tertentu, melewati jantungnya. Orang mengatakan bahwa pohon ini memiliki dasar-dasar kesadaran. Kebiasaan yang berkembang di perkebunan kurma di dunia timur adalah menebang pohon betina jika setelah beberapa tahun ia tidak menghasilkan kurma. Pohon kurma memiliki kelamin; yang betina dibuahi oleh yang jantan, sehingga menghasilkan buah kurma.
"Dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air." Kata untuk "mata air" ('uyun), bentuk jamak dari 'ayn, juga berarti sumber. Maka, makna lain ayat ini adalah bahwa keadaan surga ini mengalir terus dari sumbemya.
لِيَأْكُلُوا مِن ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ
35. Supaya mereka dapat makan dari bnahnya, dan tangan mereka tidak dapat menciptakannya secara mandiri. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Banyak ayat Alquran yang dapat dipahami dengan cara yang berlainan, masing-masing cara memberikan pengertian yang setara; dan disinilah letak salah satu keagungan Al-quran yang tak tertandingi. Salah satu makna ayat ini adalah bahwa manusia makan buah-buahan dan juga "apa yang dihasilkan oleh tangannya" berupa produk-produk yang dibuat dari buah dan produk sampingannya seperti buah yang dikeringkan, sirup, dan lain-lain. Makna lainnya adalah bahwa tangan manusia tak dapat secara mandiri mengerjakan pembuatan makanannya. Maka mengapa ia tidak bersyukur atas kesuburan taman ini?
Taman-taman di bumi merupakan pembuka dan pendahuluan dari taman di akhirat, seolah secara bertahap manusia diperkenalkan kepada taman akhirat meskipun ia masih di dunia. Sama halnya dengan kondisi seperti neraka yang menakutkan dan situasi-situasi lainnya yang mirip. Kondisi-kondisi ini juga merupakan persiapan bertahap akan Neraka di akhirat. Keadaan surga begitu tinggi dan suci sehingga dibutuhkan persiapan sebelumnya, kalau tidak, keadaan di akhirat yang penuh kebahagiaan ini tak akan tercapai. Kesadaran timbul sebagai akibat dari perbuatan di masa lalu dan kesadaran ini pun akan menimbulkan akibat di masa yang akan datang. Satu langkah menghantarkan kepada langkah berikutnya.
Kenikmatan, kepuasan, dan amal saleh akan mengantarkan kepada surga, sedangkan kesengsaraan, hasutan dan perbuatan dosa mengantarkan kepada neraka. Pintu masuk menuju surga adalah dengan berterima kasih (syukur) yang mengantarkan kepada kebebasan dari belenggu khayalan dan hasrat duniawi. Syukur juga membuka hati untuk me-nambah iman dan cahaya ilmu yang dengan ilmu ini manusia dapat melihat perwujudan Allah dalam alam.
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
36. Mahasuci Allab yang telah menciptakan secara berpasang-pasangan semua yang tumbuh di bumi dan juga diri mereka serta apa yang tidak mereka ketahui
Setelah bersyukur adalah bertasbih (menyucikan Allah), karena syukur dan penyerahan diri akan mengantarkan seseorang kepada pengagungan Allah, membebaskannya dari syirik. Segala sesuatu yang ada di bumi, demikian pula dalam diri manusia, baik lahiriah maupun batiniah, dijadikan memiliki pasangan-pasangan (azwaj), lawan jenis yang saling melengkapi. Sedangkan Dia Yang menciptakan semua berpasang-pasangan tidaklah dinodai oleh dualitas. Dia, Allah, jauh dari membutuhkan, justru semua makhluk membutuhkan-Nya.
Tasbih ini diucapkan ketika melihat keajaiban alam. Seluruh benda di planet ini memiliki lawan jenisnya masing-masing, namun ajaibnya, reproduksi benda-benda ini terjadi melalui penggabungan dua lawan jenis dalam satu kesatuan.
وَآيَةٌ لَّهُمْ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُم مُّظْلِمُونَ
37. Dan suatu tanda bagi mereka adalah malam. Kami menanggalkan siang dari malam, maka (tiba-tiba) mereka dalam kegelapan
Kata Arab yang diterjemahkan sebagai "menanggalkan" adalah salakha, yang biasanya bermakna "menguliti". Ini menunjukkan bahwa lapisan terluar berada di permukaan suatu benda atau badan. Dalam perumpamaan, kegelapan malam bisa berarti kegelapan kebodohan atau kesesatan. Satu makna yang ditarik dari ayat ini adalah bahwa apa yang mendasari alam adalah kehampaan, keheningan total, yaitu non-alam. Menanggalkan siang berarti siang adalah kulit yang menutupi malam, tubuhnya adalah malam. Proses penciptaan menghentikan kegelapan malam, ditutupi oleh lapisan cahaya yang terang. Sebenarnya sinar matahari tidak menembus jauh ke dalam bumi, ia hanya rnenembus permukaan bumi. Segala apa yang di bawahnya masih dalam kegelapan, pada dasarnya, sifat asli cahaya adalah senantiasa gelisah akibat energi pancaran atau gelombang, sedangkan kegelapan adalah keadaan yang sunyi dan hening. Oleh karena itu, malam menggaungkan keadaan sebelum dihidupkan.
Sebelum kita dapat melihat cahaya ilmu, kita harus melewati kulit diri kita yaitu kebodohan, kita harus keluar dari koridor gelap jiwa ego kita dan khayalan-khayalan. Kita bukanlah milik dunia; kita berada di dalamnya namun kita bukan berasal darinya. Kita merasakan ego, namun ego bukanlah wujud hakiki kita. Jika cahaya jiwa yang tinggi mulai dirasakan, berarti kenikmatan kesadaran diri telah dimulai.
Pencari ilmu yang ikhlas haruslah mempertanyakan Alquran. Apa maksudnya? "Dan sebuah tanda bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam!" Ini merupakan pemyataan yang mengejutkan. Jangan takut terhadapnya. Pertanyakan Alquran dengan kejujuran dan kerendahan hati. Meskipun dalam kegelapan, kelak cahaya Islam akan bersinar dan menerangi kesadarannya.
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
38. Dan matahari berjalan di tempat edamya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.
Segala sesuatu di alam berpasang-pasangan dan berjalan sesuai aturan. Segala sesuatu bergerak melintasi dimensi waktu-ruang. Hal ini merupakan ketetapan dari Yang Mahaperkasa (al-'Aziz) lagi Maha Mengetahui (al-'Alim). Segala sesuatu ditetapkan sesuai ilmu yang telah diprogram di dalamnya. Aturan ini berasal dari ilmu Allah yang tercipta karena keperkasaan-Nya. Inilah alam, tidak kacau, tetapi teratur. Kata Arab 'aziz, yang diterjemahkan "perkasa", juga bisa bermakna "aneh, berharga, sukar didatangi".
Ketika suatu ayat berakhir dengan Nama-Nama Allah, biasanya terdapat hubungan langsung antara Nama-Nama-Nya tersebut dengan ayat yang bersangkutan. Nama-Nama ini digunakan untuk menyingkap makna batiniah ayat tersebut. Sebaliknya, peristiwa-peristiwa yang dilukiskan oleh ayat mengungkapkan makna Nama-Nama-Nya tersebut.
Dalam ayat ini, Nama "Mahaperkasa" (al-'Aziz) merujuk kepada matahari, dan "Maha Mengetahui" (al-'Alim) merujuk kepada takdirnya, kepada perhitungan matahari. Proses peleburan hidrogen menjadi helium yang meledak dan terus-menerus, yang terjadi di matahari memang sungguh perkasa dan sukar didatangi. Dan ketetapan yang membuat seluruh sistem ini terus berjalan hanya dapat diatur oleh Dia Yang Maha Mengetahui.
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
39. Dan bulan, telah Kami tetapkan manzilah-manzilab baginya, sehingga ia kembali sebagai bentuk tandan yang tua
Bulan juga telah diprogram dengan suatu ketetapan untuk berjalan melintasi fase-fasenya yang berbeda-beda. Tanpa fase-fase ini kehidupan dan keseimbangan ekologi bumi tidak dapat berlanjut. Bulan dan cahayanya memiliki pengaruh besar terhadap tumbuh-tumbuhan dan siklus pertumbuhannya, juga terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya, karena adanya pasang surut yang ditimbulkannya. Siklus bulan—membesar dan menciut—melambangkan siklus alam dad tumbuh hingga mencapai puncaknya kemudian menciut dan akhirnya mati. Segala yang ada di alam mengalami siklus perputaran, termasuk manusia yang berkembang dari posisi lemah ketika bayi menjadi kuat secara fisik ketika dewasa, dan akhirnya kembali lagi ke posisi lemah ketika tua sampai akhirnya meninggal.
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
40. Tidak mungkin matahari mendahului bulan dan ma-lam pun tidak dapat mendabului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya
Setiap benda memiliki perjalanan hidup yang telah ditakdirkan dan ditetapkan sebelumnya. Tiap planet beredar pada garis orbit yang melingkar dan berulang, bergerak sesuai aturan sistemnya tanpa mendahului atau menabrak benda lain. Segala sesuatu di alam bergerak sesuai rencana, di balik itu semua adalah Allah Yang Mahaabadi yang tak tertandingi. Keadaan terbaik untuk didiami adalah dengan melarutkan diri dalam menyucikan Allah (tasbih), mengagumi-Nya dengan perasaan kagum sebelum menjalani siklus kehidupan, bergerak secara harmonis dalam siklus tersebut sepanjang waktu.
Ayat 41-50
وَآيَةٌ لَّهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
41. Dan suatu tanda bagi mereka, Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penub muatan
Dalam sejarah, ayat ini merujuk kepada umat Nabi Nuh. Ayat ini juga merujuk kepada janin manusia yang dikandung dalam rahim. Kecuali dalam dua perbedaan vokal, kata Arab untuk "kapal" (fulk) hampir identik dengan kata "orbit" (falak) di ayat sebelumnya di mana Alquran mengatakan bahwa planet-planet secara harfiah "berenang" di garis edar-nya meskipun kita menerjemahkannya "masing-masing beredar pada garis edamya". Kapal juga mengapung, tetapi di air, bukan di atmosfir. Hubungan-hubungan antarperistiwa alam direfleksikan dalam bahasa pilihan agar terungkap secara tepat.
Kata Arab masyhun, yang diterjemahkan dalam ayat ini sebagai "penuh muatan", asalnya bermakna "penuh" atau "terisi", memberi kesan bahwa segala sesuatu diisi dan bergerak maju menuju tugasnya berupa pengekalan Yang Mahaabadi (al-Baqi). Inilah makna dari memiliki keturunan (dzurriyyah), yang juga mempakan pengabadian dari peristiwa Ilahiyah. Hubungan intim seseorang dengan istri atau suaminya merupakan sebuah ibadah. Karenanya, bila ia memulai hubungan ini, ia harus selalu membaca basmalah (Bismillah ar-Rahman ar-Rahim). Jadi, ajaran tentang penyatuan (wahdah) diterapkan secara fisik dan terus-menerus. Dengan demikian, konsep wahdah ini tidak hanya ada secara batiniah, tapi juga mewujud secara lahiriah pada anak-anak kita.
وَخَلَقْنَا لَهُم مِّن مِّثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ
42. Dan Kami ciptakan untuk mereka yang serupa dengan kapal untuk mereka kendarai
Segala sesuatu di alam ini berada dalam orbit yang melingkar atau "naik" di atas sesuatu. Tujuan ayat-ayat serupa ini adalah untuk mendorong akal manusia agar ia merenungkan kesatuan dalam keragaman yang luar biasa ini, agar ia terbangun kesadarannya menuju ke keadaan yang lebih tinggi berupa pengagungan dan pensucian Allah yang terus-menerus, sehingga berada dalam kesadaran penuh. Secara lahiriah ia berpindah-pindah dengan naik mobil, kereta, kapal laut atau kapal udara, sedangkan secara batiniah ia berpindah-pindah dengan naik kendaraan zikir Nama-Nama Allah menuju alam batiniah.
وَإِن نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنقَذُونَ
43. Dan jika Kami menghendaki, niscaya Kami tengge-lamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidakpula mereka diselamatkan
Jika keseimbangan yang mengatur kehidupan ini terganggu, maka semua akan ditenggelamkan sesuai ketetapan Allah. Kehendaknya terwujud dalam hukum-hukum yang mengatur segala sesuatu, baik yang terlihat maupun tidak terlihat: jika manusia melanggar hukum-hukum tersebut, maka mereka akan menjadi tak berdaya, didaurulang dan dikembalikan ke Sumbernya. Hal yang sama terjadi terhadap batin kita. Kita dapat menggelepar-gelepar dalam lautan jiwa-ego kita (nafsu rendah) karena tidak mengikuti hukum-hukum batiniah berupa akhlak yang terpuji. Perjalanan lahiriah di laut mempunyai aturan-aturan tersendiri— seseorang harus yakin bahwa kapal tersebut laik melaut. Perjalanan menuju kesucian dan kesadaran batin membutuhkan perlindungan dan pertahanan, bila tidak, seseorang akan tenggelam dalam badai kebimbangan, keputus-asaan dan khayalan.
Namun waktunya akan tiba tatkala keseimbangan tidak dapat dipertahankan kecuali dengan sebuah peristiwa yang bersifat perubahan besar. Ketika Nabi Nuh datang kepada kaumnya dengan tugas menyampaikan risalah Kebenaran, ia memerintahkan kaumnya untuk berputar haluan sebelum teriambat. la memperingatkan mereka bahwa perbuatan-perbuatan mereka akan mengakibatkan reaksi yang berbahaya. Setelah itu ia mengadu kepada Allah seraya berkata, "Aku telah berdakwah kepada mereka siang-malam, tetapi mereka tidak memperhatikan dan keras kepala." Jawaban yang diperoleh Nuh adalah jika ia tidak dapat menyelamatkan kaumnya, maka ia harus menyelamatkan hidupnya sendiri dan para pengikutnya. Gelombang kelaliman yang dibangkitkan oleh perbuatan kaum Nabi Nuh telah mencapai puncaknya, dan gelombang itu sekarang akan menggulung mereka.
Ketika seseorang berada dalam kapal berupa Kitab Yang Mahawujud, Alquran, yang diarahkan oleh tradisi (sunah) Nabi Muhammad, Rasul dan Risalahnya, berarti ia meyakini risalah yang benar.
إِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
44. Kecuali karena rahmat dari Kami, dan sebagai kese-nangan hidup sampai kepada suatu ketika
Tak ada yang akan meyelamatkan siapa pun kecuali rahmat Allah. Diterjemahkan sebagai "kesenangan hidup", mata', yang berarti perbekalan yang harus dibawa dalam suatu perjalanan, menunjukkan bahwa perbekalan itu hanya cukup untuk satu periode tertentu. Kata ini juga berarti "bagasi", karena orang hanya menamh ke dalam bagasinya apa yang dibutuhkan untuk suatu perjalanan tertentu. Ayat ini menegaskan bahwa jika bukan karena rahmat langsung dari Allah dan karena perbekalan untuk perjalanan hidup ini, semua manusia telah tenggelam dalam lautan kebodohan. Pada kenyataannya, kesenangan hidup ini hanya sebentar.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّقُوا مَا بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
45. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Lindungilah diri kamu dengan ketaqwaan terhadap apa yang ada di hadapanmu dan di belakangmu, agar kamu memperoleh rahmat
Inilah peringatan agar manusia secara waspada menyadari terhadap amal perbuatan yang dilakukannya, terhadap apa yang dilakukan oleh tangannya sendiri, dan terhadap niat-niat di belakang amal perbuatan tersebut, karena segala sesuatu pada saat sekarang ini merupakan perwujudan masa ialu. Apa yang terbentang di hadapan seseorang merupakan imbas masa lalu sekaligus akan menjadi masa depannya. Jadi manusia harus sepenuhnya menyadari motif-motif perbuatannya, karena inilah yang akan menentukan apakah dirinya selamat atau justru diazab, setiap saat masing-masing kita sibuk menghasilkan perbuatan. Burung pertanda baik atau pertanda buruk kita, penyebab penderitaan atau keselamatan kita, terdapat dalam diri kita sendiri, ditulis oleh niat-niat kita dalam buku catatan amal kita.
Manusia harus terus menyadari hal ini agar merasakan kepuasan batin dan memahami rahmat Allah secara langsung dalam hidup ini, karena "Dia telah menetapkan atas dirinya rahmat/kasih sayang" (6: 12). Jika seseorang selalu menyadari apa yang ia lakukan di masa sekarang dan di masa lalu, berarti ia mulai memahami hukum-hukum alam melalui kesadarannya tentang hukum sebab akibat.
وَمَا تَأْتِيهِم مِّنْ آيَةٍ مِّنْ آيَاتِ رَبِّهِمْ إِلَّا كَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ
46. Dan tiadalab datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda Tuhan, melainkan mereka selalu berpaling darinya
Sebagaimana keadaan penduduk Anthakiyah, demikian pula keadaan kaum yang didatangi Nabi Muhammad, dan juga kebanyakan umat-umat lain di sepanjang waktu, termasuk zaman kita sekarang. Tiap tanda yang datang kepada kita, yang menunjukkan jalan kehidupan yang benar, ditolak. Kita tidak mengizinkan risalah sampai kepada kita dan mengubah gaya hidup kita. Ayat ini berhubungan dengan ayat 11, "Kamu hanya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan." Tak peduli tanda apa pun yang mereka terima dari Tuhan, mereka berpaling, karena satu-satunya realitas yang ingin mereka hadapi hanyalah tradisi yang telah mereka biasakan sejak dahulu kala, apa yang telah mereka bangun dalam khayalan mereka.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمْ اللَّهُ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَن لَّوْ يَشَاءُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
47. Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Nafkahkanlab sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepadamu." Mereka yang menolak dan mengingkari Yang Mahawujud berkata kepada orang-orang yang menerima dan percaya (risalah), "Apakah kami akan memberi makan orang, yang jika Allah menghendaki, tentulah Dia akan memberinya makan? Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata."
Alquran selanjutnya memerintahkan untuk berderma dan bersedekah. Alquran tidak pemah mengatakan, "Am-billah!" atau, "Mintalah!" Tak ada ayat dalam Alquran yang memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi dengan tujuan memburu rezeki atau menumpuk kekayaan, maupun yang menyerupainya. Alquran menentang penumpukan harta. Kitab Allah Yang Mahawujud, jalan menuju kepada-Nya, bergantung pada penyerahan diri, bukan pada penggandaan hasrdt dan cinta. Manusia harus menafkahkan rezeki yang dianugerahkan kepadanya, agar rezeki tersebut berkembang. Kepedulian ditunjukkan dengan saling beibagi dan saling memperhatikan, dan makna sedekah terletak pada memberikan apa yang seseorang cintai dan apa yang ingin ia simpan. Melalui sedekah, manusia melakukan kontak dengan sifat Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih yang meliputi semua makhluk.
Rezeki (rizq) berarti berbagai jenis santapan, baik rezeki tingkat tinggi berupa pengetahuan batin maupun rezeki tingkat rendah berupa makanan dan kesehatan. Rezeki tertinggi adalah apa yang datang langsung kepada seseorang yaitu dengan menyerahkan diri kepada Allah dan meninggalkan semua keinginan dan harapan duniawi, serta mengingat bahwa ia dilahirkan tanpa apa pun dan akan meninggalkan dunia tanpa apa pun juga. Rezeki tertinggi adalah rezeki berupa penyerahan diri yang sesungguhnya, Islam sejati, penyerahan diri tanpa batasan, tanpa pemisah. Inilah pengetahuan dari Tuhan.
"Nafkahkanlah" tidak hanya bermakna memberi derma. la juga bermakna "menjadi saluran rahmat Allah", membersihkan (saluran tersebut) agar selalu dapat diisi kembali. Mereka yang mengingkari Allah Yang Mahawujud (kafirun) berusaha mempersiapkan diri mereka dengan hartanya karena mereka hidup dalam keterpisahan; mereka melihat diri mereka terpisah dari Allah. Mereka melihat diri mereka seolah jauh dari Allah karena segala sesuatu dianggap berada dalam dualitas, sehingga mereka mengatakan, "Mengapa Allah tidak melakukan itu sendiri?" Karena melupakan makna kehidupan, mereka tidak dapat melihat bagaimana Allah berbuat kepada alam-Nya, kepada makhluk-makhluk-Nya. Kita tidaklah terpisah dari Yang Mahawujud yang tidak berawal dan tidak pula berakhir. Allah lebih dekat kepada kita dari pada urat nadi kita sendiri. Tubuh kitalah yang justru berawal dan berakhir, namun karena kebodohan kita sendiri, kita secara salah mengukur segala sesutu termasuk Tuhan dengan ukuran tubuh fisik kita. Inilah definisi peng-ingkaran, inilah kufur.
Mereka yang ingkar berada dalam kesesatan yang tidak memungkinkan risalah tauhid sampai kepada mereka. Se-gala sesuatu mereka lihat dari aspek lahiriah, tidak bisa merenungkan amal-amal batin yang tidak kentara. Allah telah menetapkan hukum-hukum alam. Mereka yang mengikuti hukum-hukum-Nya dihubungkan dengan Tauhid, sedangkan mereka yang tidak berada dalam kesesatan dan oleh karenanya mengalami penderitaan meskipun secara lahiriah mereka memiliki kekayaan materi yang banyak.
وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
48. Dan mereka berkata: Kapan janji ini datang, jika kamu orang-orang yang benar?
Orang-orang kafir dibodohi oleh khayalan waktu. Mereka tidak menyadari bahwa pandangan statis tentang waktu adalah pemberian Allah kepada manusia agar ia mampu merasakan tiadanya waktu. Oleh karena itu, mereka berada dalam keadaan sesat bahkan mereka lupa bahwa pada akhir kehidupannya, mereka akan terkubur di kedalaman enam kaki dari permukaan tanah. Orang-orang seperti ini tidak menyadari bahwa hidup manusia tergantung pada sebuah tarikan nafas.
مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُونَ
49. Mereka menunggu hanya satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka padabal ketika itu mereka sedang bertengkar
Semua urusan mengenai waktu ini hanya omong kosong! Allah menerangkan kepada kita bahwa waktu bersifat relatif dan menyesatkan. Manusia akan merasakan kiamat tatkala mereka merasakan satu teriakan, sekali, namun pengaruhnya mengerikan. Teriakan ini menandai perubahan menyeluruh dalam sistem. Satu teriakan (shayhah wahidah) menghentikan sistem kehidupan dan sistem waktu.
Satu teriakan yang tiba-tiba ini merupakan panggilan pertama yang menandai akhir kehidupan individu. Panggilan kedua, yang disebutkan dalam ayat selanjutnya, merupakan "panggilan hari kebangkitan" yang memberi isyarat kepada kita untuk menghadap Tuhan dan mempertanggung-jawabkan seluruh amal dan niat kita. Pada saat itu kita merasakan akibat perbuatan kita di dunia. Jika kita menghasilkan untuk diri kita hal-hal yang mengarah kepada rahmat-Nya, maka kita akan merasakan rahmat itu. Namun jika kita berbuat menonjolkan yang kotor-kotor dan bersifat materi, maka kita dalam kemgian besar di kehidupan baru ini.
فَلَا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً وَلَا إِلَى أَهْلِهِمْ يَرْجِعُونَ
50. Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat pun dan tidakpula mereka dapat kembali ke kelnarganya
Aturan-aturan yang telah mereka buat dalam hidup mereka, alur-alur dan rencana-rencana mereka yang banyak, seketika itu terputus. Terlambat sudah untuk kembali. Mereka tidak dapat lagi berwasiat. Mareka akan terhenti di tengah perjalanan, tanpa bantuan sama sekali.
"Tidak pula mereka dapat kembali kepada keluarganya": tidak dapat kembali kepada keluarganya berarti tidak dapat kembali kepada kebiasaannya. Dunia mereka telah berakhir, tak ada lagi kemungkinan untuk beramal, dan mereka tidak dapat mencari siapa pun untuk dimintai bantuan.
Dalam bahasa Arab, kematian disebut dengan wafah, dari akar kata kerja wafa' yang juga berarti setia. Dengan mati, seseorang setia kepada kenyataan alamiah. Waktunya akan tiba ketika jiwa berpisah dari badan. Jiwa (roh) kembali ke asalnya, kepada Allah, dan badan kita kembali ke asalnya, ke tanah. Dengan demikian, ciptaan selalu setia kepada asalnya.
Ayat 51-60
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُم مِّنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنسِلُونَ
51. Dan sangkakala akan ditiup, dan tiba-tiba dari kubur, mereka keluar menuju kepada Tuhan mereka
Inilah panggilan kedua, panggilan hari Kebangkitan, panggilan untuk pertanggungjawaban. Tiupan pertama adalah kematian masing-masing individu atau akhir kehidupan dunia seseorang. Jiwa masih berada di alarn barzakh hingga fase berikutnya, ketika Seluruh alam berhenti bergerak dan energi-energi menjadi tidak aktif, jiwa-jiwa (arwah) tiba-tiba dihidupkan dan dibangkitkan.
Tanda ini dilambangkan dengan tiupan terompet yang memekakkan atau "sangkakala" (shur), karena tiba-tiba semuanya dibangkitkan dari tempatnya sehingga seluruhnya terlihat jelas. Tak ada lagi yang masih tersembunyi dalam dada seseorang atau dalam kubumya. Bunyi sangkakala tanda awal hari Kebangkitan menandai penyatuan alam nyata dan alam gaib. Tidak ada lagi pemisahan antara yang rahasia dan yang nyata, tidak ada lagi kemungkinan dualitas, kemungkinan lari dari Allah seperti di alam ruang dan waktu. Hanya cahaya mutlak dari Yang Mahabenar yang bersinar.
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَن بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
52. Mereka akan berkata: Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat peristirahatan kami? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pengasih, dan para rasul telah mengatakan kebenaran!
Tempat peristirahatan (marqad) dapat berarti keadaan damai dan sentosa yang mengiringi kematian. Ketika keadaan tidur ini dihentikan oleh sangkakala, mereka yang tidur dibangunkan kepada suatu kesadaran tinggi, suatu keadaan pasca-kematian. Marqad juga berarti tidur-bodohnya orang-orang kafir dengan seluruh keadaan fisik mereka.
Jawaban terhadap pertanyaan, "Siapakah yang membangunkan kami dari tidur?" adalah: "Tuhan Yang Maha Pemurah sebagaimana telah la janjikan dan la buktikan melalui rasul-rasul-Nya." Tentang siapa yang memberikan jawaban ini, timbul tiga pendapat. Beberapa mufasir berpendapat ini jawaban malaikat, menurut sebagian lain adalah jawaban orang-orang mukmin dan muslim, sedangkan mufasir lain lagi berpendapat ini adalah jawaban dari kebenaran yang dulunya tersembunyi dan kini terpancar dari diri orang-orang kaflr yang tidur tersebut.
إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيعٌ لَّدَيْنَامُحْضَرُونَ
53. Hanya satu teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan di hadapan Kami
Teriakan pertama menandai akhir kehidupan seseorang di dunia, teriakan kedua menandai masuknya Seluruh manusia dari alam kematian menuju Hari Kebangkitan, dan teriakan ketiga menandai dikumpulkannya manusia ke hadirat Ilahi. Tiap peristiwa ditandai dengan satu tiupan. Karena hanya satu panggilan, satu tiupan ini berarti bahwa cukup dengan sebuah tindakan saja, seketika itu juga semuanya hadir di hadapan Dia satu-satunya Yang Mahawujud, semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Pada saat itu mereka tidak melihat apa pun kecuali Zat-Nya. Peristiwa ini digambarkan dalam tiga bagian yang berbeda-beda, seperti sebuah gaung, sepanjang Allah menghendaki, seluruh urusan tinggal menunggu perintah Tuhan yang seketika itu juga, "Jadilah! Maka Jadilah!" Perintah ini diselesaikan tanpa selang waktu, sedangkan bagi makhluk untuk menyelesaikan perintah ini dibutuhkan beberapa tahapan.
Waktu diciptakan oleh Allah untuk kepentingan kita agar kita berkembang seiring bergulimya waktu. Kita telah dicerahkan dengan waktu ini, sehingga sebagian di antara kita yang muslim dapat mengapung dalam lautan tasbih. Sedangkan mereka yang masih tersangkut di batu nafsu duniawi tenggelam karena arus dan jatuh.
Semua jiwa (roh) akan hadir, karena semuanya berasal dari satu ledakan cahaya. Pada saat itu tidak mungkin lagi merasakan keterpisahan, semuanya akan dikumpulkan lagi dalam satu kesatuan yang padat sebagaimana sebelum Dentuman Besar.
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
54. Pada hari itu tak ada seorang pun yang dirugikan sedikitpun, dan kamu tak akan dibalas kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu lakukan
Kata yang digunakan dalam ayat ini untuk "hari" adalah yaumi, yang juga berarti "waktu", "periode", atau "era". Dalam konteks ini, kata yawm berarti keadaan di kemudian hari, di mana pengalaman dualitas tidak mungkin lagi terjadi, karena dalam dimensi tanpa ruang dan waktu yang ada hanyalah hakikat.
"Dan kamu tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu lakukan." Setelah Seluruh amal dan niat kita di dunia ditaruh di timbangan, maka kita akan melihat balasannya (faza'). Kita akan memperoleh pahala dan siksa masing-masing. Di akhirat, niat-niat kita akan terbongkar dengan sendirinya secara penuh dan seluas-luasnya sehingga tak seorang pun yang dapat berbuat curang, termasuk kepada dirinya sendiri, karena alam amal dunia telah berakhir dan seluruh kegelapan serta kebodohan telah dihilangkan.
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ
55. Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu disibukkan dengan kesenangan
Dalam kehidupan fisik, jiwa juga merasakan kebahagiaan, kesadaran dan bisa mencapai suasana pensucian akhir tersebut. Suasana surga diperoleh ketika noda yang melekat di hati dibersihkan dan disucikan.
هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِؤُونَ
56. Mereka dan istri-istri mereka berada dalam perlindungan, berbaring di atas ranjang yang tinggi
Jiwa mereka dalam kedamaian karena dipasangkan dengan apa yang menetralkan dan menenteramkannya. Pasangan (zawj) bersatu dengan lawan jenisnya.
"Dalam perlindungan, berbaring di atas ranjang yang tinggi": penderitaan yang timbul karena dualitas digantikan dengan netralitas penuh dan ketenangan mutlak. Mereka sekarang berada dalam perlindungan (zhill) Tuhan Yang Mahawujud, segar dalam kesejukan Yang Esa, tempat perlindungan akhir.
Bagi mereka yang baru pertama kali mendengar Alqur-an, ayat-ayat semacam ini memberi makna khusus, karena lingkungan Arab, tempat awal perkembangan Islam, merupakan padang pasir yang panas dan gersang. Perlindungan yang sejuk, oleh karenanya, dianggap mendatangkan kebahagiaan, ketenangan, dan kesenangan.
لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَ
57. Di surga mereka memperoleh buah-buahan dan apa pun yang mereka minta
Dalam keadaan bebas dan bahagia ini, apa pun yang mereka minta, terkabul. Hasrat apa pun yang timbul dipenuhi oleh benda yang diinginkan tersebut. Ini berarti tidak ada lagi hasrat atau keinginan terhadap kekayaan.
سَلَامٌ قَوْلًا مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ
58. Salam! Ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang
Keselamatan (salam), sapaan dan sambutan dari Tuhan Esa Yang Maha Penyayang, semuanya dirasakan oleh mereka. Sambutan tersebut berasal dari Hal Tuhan (yaitu Zat Tuhan yang bersatu dengan Sifat Tuhan), yang berbeda dengan Zat tanpa Sifat.
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ
59. Dan berpisahlah pcida hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat!
Karena keingkaran dan kukuhnya khayalan mereka dengan terus berada dalam bangunan yang mereka dirikan di dunia materi ini, dengan tidak mempertanyakan kesementaraan dan ketidakkekalannya yang telah nyata, mereka melakukan perbuatan dosa. Semakin perasaan-perasaan ini dipuaskan dan dibiasakan, semakin bertambah perasaan-perasaan ini minta dipenuhi. Semakin kita memuaskan hasrat-hasrat kita, semakin besar hasrat kita menuntut dipuaskan. Ibarat api: semakin dikobarkan, semakin panas ia mengamuk, hingga habis terbakar tak terkendali. Lawannya adalah air sejuk kedamaian (salam), dan inilah sesungguhnya makna dan tujuan Islam.
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
60. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesunggubnya setan itu mnsubyang nyata bagi kamu
Lagi-lagi suara Kebenaran menenteramkan hati dengan bertanya, "Bukankah Aku telah menyumpahmu? Bukankah Aku telah mengikatmu dengan perjanjian, hai Bani Adam, untuk tidak mengikuti energi yang menghancurkan tersebut, yang memberimu khayalan dan yang tidak nyata? la adalah musuhmu yang nyata dalam dirirnu!" Keadaan energi inilah yang dalam Alquran disebut sebagai syaitban, namun diterjemahkan dan dipahami secara salah sebagai satan dalam bahasa Inggris. Syaithan akan selalu muncul. Godaannya menguji keimanan seseorang, untuk melihat apakah fitrahnya telah siap untuk kebahagiaan batin tersebut atau tidak. Ciptan Allah itu tidak sia-sia, dan Allah tidak menempatkan sesuatu di tempat yang salah. la tidak menghadapkan seseorang ke hadirat-Nya kecuali orang tersebut benar-benar telah siap untuk itu dengan kesadaran batin dan menjauhi tingkah-tingkah syaithan.
Kita memiliki dua pilihan: terlena dan tertarik ke jalan yang seolah-olah mudah, atau menyerahkan urusan ke tangan Yang Maha Pemurah, percaya bahwa apa pun yang datang kepada kita adalah untuk kebaikan kita juga, yakin bahwa pengetahuan batiniah dan lahiriah akan menyatu.
Ayat 61-70
وَأَنْ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
61. Dan hendaklah Kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus
Inilah jalur langsung, garis lurus, jarak terdekat antara dua titik, antara apa yang terlihat yaitu "kita" dengan Allah. Inilah jalan Islam, jalan penyerahan diri yang sejati. Diambil dari bahasa Arab, kata kerja 'abada, yang diterjemahkan dalam ayat ini sebagai "menyembah", jika diterapkan untuk jalan, berubah menjadi mu'abbad, yang berarti mulus dan laik pakai. Ketika seseorang beribadah ('ibadah, dari akar kata yang sama), dalam pemujaan yang sesungguhnya, maka tak akan ada lagi aral rintangan dan jalan menuju Allah menjadi mulus dan mudah. Jadi jalan ini tidak terlihat layaknya sebuah garis meskipun kedua titiknya berhubungan. Kita baru bisa melihat garis ini jika kita menapaki jalan sampingannya, tetapi jika jalan itu sejajar dengan penglihatan mata kita, maka garis itu tidak lagi terlihat lurus. Hanya satu titik yang terlihat, titik itu adalah huruf 'ba' pada bismillah (dengan Nama Allah) karena kita telah percaya kepada Nama Allah, dan Nama itu merupakan tanda panah ke arah tujuan tunggal.
وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ
62. Sesungguhnya setan itu telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak dapat memahami?
Sejumlah besar negara dan penduduknya telah, sedang, dan akan terus berada dalam kesesatan. Tidakkah manusia melihat, menimbang, dan belajar dari sejarah dan pengalaman hidupnya sendiri? Rahmat Allah itu sama seperti pohon yang meskipun menghasilkan banyak benih, namun sebagian besar benih itu tidak tumbuh. Kebanyakan manusia seperti ini, tanpa menggunakan akal, lepas kendali, dan tidak mampu berpikir dan merenungi apa yang terjadi pada mereka atau tidak mampu merenungi tanda-tanda yang datang kepada mereka dari horison lahiriah maupun batiniah.
هَذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
63. Inilah Neraka Jahanam yang dijanjikan kepadamu (jika kamu mengikuti setan)
اصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
64. Bakarlah dirimu di dalamnya pada hari ini karena kamu dahulu mengingkari
Kata Arab untuk "neraka" adalah jahannam yang berarti "kawah yang sangat dalam", yang di sana tak ada suasana kedamaian sesaat pun, sebuah jurang (hawiyah) yang penghuninya terus jatuh menuju dasarnya, seperti sebuah parasut dalam terjun bebas namun buminya tak pemah terlihat dan parasutnya tak pemah terbuka.
Inilah keadaan alam kemudian, kawah yang sangat dalam, tak ada yang betah di dalamnya. Manusia ditakdirkan untuk mencari kemapanan dalam segala hal, dalam hubungan dengan sesama, dalam berbagai situasi, juga dalam ilmu. Pada dasarnya ia selalu mencari yang bersifat permanen dan bertahan. Keadaan neraka tidak demikian, neraka benar-benar kacau dan terus-menerus bergejolak. Inilah neraka kekal yang dijanjikan bagi orang-orang yang mengingkari kebenaran dan mengingkari dirinya sendiri terhadap cahaya ilmu, dan yang mencegah kesadaran alamiah dan pencerahan diri.
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
65. Pada hari ini akan Kami tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berbicara kepada Kami, dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang telah mereka usahakan.
Lidah dibungkam tetapi kaki dan tangan memberi kesaksian apa yang telah mereka lakukan. Apa pun hasilnya, ainal seseorang akan melekat dalam jiwanya. Keadaan kita ketika itu mencerminkan tidak hanya amal fisik lahiriah namun juga keadaan batin.
Dalam ilmu kedokteran kita mengetahui bahwa jika kita mengambil satu sel saja dari satu bagian tubuh kita, tangan misalnya, maka kita dapat mengungkap keadaan fisiologi tubuh kita keseluruhan. Dari satu sel tangan, atau bahkan dari kuku tangan, dimungkinkan untuk mengungkapkan apakah, misalnya, ada sebuah ketidakseimbangan atau kekurangan dalam kondisi keseluruhan tubuh orang yang bersangkutan dan apakah ia terjangkit suatu penyakit tertentu. Lebih lanjut, struktur genetik tiap sel dapat merekonstruksi seluruh sistem yang menyatu dalam tubuh, ibaratnya semacam holograf biologis.
Karena setiap sel dalam tubuh memuat seluruh keadaan seseorang, maka sel itu menjadi saksi terhadap keadaan dirinya secara keseluruhan. Kaki dan tangan akan memberi kesaksian terhadap niat seseorang, mengapa ia, di mana ia, dan mengapa ia melakukan apa yang dikerjakannya. Amal seseorang ditentukan oleh niatnya. Setelah mati, seluruh kekuatan fisik hilang. Apa yang tertinggal dalam sel-sel tubuh fisik juga memberikan pengaruh kepada jiwa yang sekarang berada di alam tanpa waktu dan mang, seluruhnya bergaung dengan realitas yang diperolehnya. Bahkan tak ada perantaraan kata-kata lisan, yang menjadi sasaran kebohongan dan oleh karenanya lisan hanya berlaku di alam dualitas (waktu dan ruang). Hanya kenyataan yang sebenarnya dari apa yang telah diperoleh seseorang yang diakui dan dialami.
وَلَوْ نَشَاءُ لَطَمَسْنَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَأَنَّى يُبْصِرُونَ
66. Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami bilangkan (penglihatan) mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba mencari jalan, namun bagaimana mungkin mereka dapat melihat?
Jika realitas telah dibalikkan, tak akan ada lagi pengli-hatan baik mata lahiriah maupun mata batiniah. Kegunaan mata adalah sebagai alat untuk melihat objek-objek yang dapat diindra. Dan dari mata lahiriah muncullah intuisi, indra batin. Indra lahiriah menjadi alat yang melayani indra batin.
وَلَوْ نَشَاءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلَى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوا مُضِيًّا وَلَا يَرْجِعُونَ
67. Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah rupa mereka di tempat mereka (berada); Maka mereka tidak sanggup berjalan lagi atau kembali
Ayat ini menjelaskan tentang rahmat dan kekuasaan Allah yang tak putus-putusnya. Jika Dia menghendaki, Dia dapat mengubah rupa manusia dengan serta merta untuk menyingkap watak asli mereka. Bagaimanapun, Dia mengizinkan mereka terus berkembang.
Dalam diri manusia terkandung semua kemungkinan alam, baik tinggi maupun rendah. Manusia adalah alam kecil. Dalam dirinya terdapat semua karakter yang membentuk seluruh hirarki dari tiap jenis makhluk hidup. Ketika manusia tidak berperilaku baik dan hidup mencapai potensinya sebagai manusia, maka ia akan terjatuh kepada keadaan yang rendah berupa kecenderungan-kecenderungan hewani dalam hierarki alam, karena tak ada sesuatu yang statis. la pasti berkembang atau maju.
Binatang telah digambar dan dipatungkan di beberapa kebudayaan dunia pada berbagai zaman, dalam bentuk piramid di Mesir, di kalangan orang-orang Zoroaster, orang-orang Budha di China, dr India, dan lain-lain. Orang yang bijaksana atau orang yang berpengetahuan sering digambarkan naik kereta pertempuran yang ditarik oleh seekor anjing atau babi, melambangkan keunggulan dirinya melawan kecenderungan-kecenderungan jiwa yang rendah.
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
68. Dan siapa saja yang Kami panjangkan umumya, niscaya Kami kurangi dia dalam kejadiannya. Apakah mereka tidak memikirkan?
Kata Arab 'ammara', yang diterjemahkan dalam ayat ini sebagai "memanjangkan umur", asalnya berarti "membangun, mendirikan, memunculkan". Nakkasa yang diterjemahkan sebagai "mengurangi" asalnya berati "memutar, mengurangi, menarik dan kembali ke keadaan semula". Pengertiannya hanyalah "apa yang naik, suatu saat harus turun". Ayat ini menyinggung hukum alam bempa fitrah siklus dari setiap individu dan setiap sistem alam.
"Apakah mereka tidak memikirkan (afala ya 'qilun)? Apakah manusia hanya sedikit merenung dan mampukah mereka melihat bahwa di samping ada bangunan yang menjulang ada pula bangunan yang runtuh, bahwa setiap pertumbuhan mengandung di dalamnya proses kebalikannya, penuaan? Dengan menggunakan kemampuan akal, tidaklah sulit memahami bahwa alam fisik dan dualitas harus memiliki alam tandingannya yaitu nonflsik dan nondualitas, yaitu suatu alam setelah kematian tubuh fisik.
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌوَقُرْآنٌ مُّبِينٌ
69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair tidaklah layak baginya. Alquran ini tidak lain banyalah sebuah peringatan dan bacaanyang jelas.
Meskipun ayat ini berkenaan dengan Nabi Muhammad dan Alquran namun ayat ini juga berkenaan dengan kita, berkenaan dengan orang-orang yang sering menerima pandangan berupa anugerah mulia yaitu kesadaran diri yang dengannya mereka dapat melihat realitas yang lebih tinggi. Kata Arab untuk "syair" adalah syi'r, dari akar kata kerja (sya'ara) yang juga berarti "merasakan". Ayat ini menegaskan bahwa risalah Nabi Muhammad bukanlah syair, tidak bersifat emosional atau sentimental. Syair tidak layak bagi seorang nabi. Nabi adalah seorang yang memberi kabar (naba') kepada orang lain dari alam abadi tentang kesadaran lain. Nabi adalah seorang pembawa peringatan (dzikr) tentang pengetahuan yang telah ada dalam diri kita dan seorang yang menyingkirkan tabir kebodohan dan kegelapan. Kata yang diterjemahkan sebagai "bacaan" adalah Alquran, yang dibaca sebagai sebuah penngatan. Alquran adalah sebuah peringatan yang memoles bagian dalam hati sehingga apa yang ada di dalamnya—realitas diri—terpantulkan secara jelas.
Alquran tak tertandingi bahkan oleh syair terbaik seka-lipun. Alquran adalah wahyu langsung dari Sumber Ilahi, melalui Malaikat Jibril, kepada Rasulullah yang terpercaya (al-amin).
لِيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
70. Agar (Nabi) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup, dan untuk membuktikan kebenaran kata-kata kepdda orang-orang kafir
Ayat ini memberi pengertian bahwa apa yang biasanya dianggap hidup belum tentu "hidup". Aktivitas badan fisik yang otomatis bukanlah keadaan atau kondisi yang sepenuhnya hidup. Ukuran ini hanya bersandar pada tingkat hidup yang terendah. Seseorang mungkin secara lahiriah bernafas, jantungnya berdetak, namun sebenarnya secara batiniah mati. Ada sebuah kisah seorang gum sufi yang sedang berjalan dengan muridnya. Sang guru mulai menunjuk kepada orang-orang, satu demi satu, seraya berkata, "Tak ada orang di mmah, tak ada orang di rumah." Akhirnya murid yang bingung tersebut bertanya kepada gurunya apa yang ia maksud. Sang guru menjawab, "Mereka secara lahiriah kosong, secara batiniah mati." Peringatan hanya datang kepada mereka yang sadar terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya dan dalam diri mereka sendiri, kepada orang-orang yang dapat mendengar dan memiliki hati yang mumi.
Alquran menegaskan hal ini, "Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan jelas yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (56: 77-79). "Mereka yang disucikan" tidak hanya berarti mereka yang dalam keadaan berwudu yang merupakan syarat untuk menyentuh Alquran secara fisik. Syarat ini penting, namun, lebih jauh dari itu, ayat ini merujuk kepada mereka yang terfokus perhatiannya pada realitas dan sepenuhnya hadir dan sadar akan apa yang sedang terjadi pada saat ini. Ketika pikiran seseorang berada di tempat lain, tidak sepenuhnya berkonsentrasi terhadap apa yang ada, ia menggantungkan hidupnya kepada khayalan dan mati terhadap realitas yang benar-benar ada; ketika pikiran terus khawatir terhadap kemarin atau esok, maka ia tidak hadir melainkan terjebak dalam khayalan. Jadi, di manakah kita?
Orang yang lebih senang mengikuti buku biografinya sendiri daripada "Kitab" adalah orang yang salah memahami Realitas yang terbuka baginya setiap saat. Karena itu, seorang rasul hanya dapat memberikan peringatan dan kabar gembira kepada mereka yang hidup (hayaf) yang bersemangat dalam hidupnya. Arti Islam adalah "berserah diri". Jika seseorang berada dalam keadaan berserah diri sepenuhnya, berarti ia tidak takut atau dibayangi rasa gelisah tetapi benar-benar hadir, dan berarti benar-benar hidup.
Ayat ini menegaskan kembali ayat 11, dan dengan cara ini, Alquran mengulang-ulang untuk menjelaskan lebih lanjut makna, "Kamu hanya memberi peringatan kepada mereka yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih walaupun ia tidak dapat melihat-Nya."
"Dan untuk membuktikan kebenaran ucapan kepada orang-orang kafir": ucapan, kebenaran, akan dibuktikan kepada orang-orang kafir. Istilah kafir dalam Alquran mengacu kepada manusia yang menutupi hatinya dengan cara tertentu. Menutupi berarti menambah tuhan lain atau menambah tujuan ibadah, siapa pun atau apaun bentuknya, baik keluarga, negara, kekayaan dan harta milik, maupun reputasi, dan tidak mengizinkan batinnya menyatu dengan lahimya. Kufur adalah pengingkaran terhadap tauhid. Ciri yang terlihat jelas dari kekafiran adalah munculnya kecenderungan-kecenderungan hewani. Peringatan tentang azab akhirat ditujukan kepada orang-orang kafir. Mereka sendiri akan diingkari, selamanya terikat oleh belenggu kekufuran karena batasan-batasan yang mereka coba paksakan kepada Yang Mahawujud. Sekali kesempatan untuk bembah telah hilang karena kematian, berarti kemungkinan bagi mereka untuk keluar dari penjara ini pun hilang.
Ayat 71-83
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَامًافَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ
71. Apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan bagi mereka—dari apa yang Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami—binatang temak, lalu mereka menguasainya
Kata untuk "binatang temak", an'am, berhubungan dengan kata kerja yang berarti "hidup dalam kenyamanan dan kemudahan" (na'ama) dan kata benda ni'mah, yang berati "berkah atau karunia". An'am secara khusus mengacu kepada lembu, domba, unta, dan kambing. Sesuai tradisi budaya Islam masa awal dan sunah Nabi, jumlah binatang yang dapat kita pergunakan dan dapat kita makan terbatas. Sama halnya dengan ikan. Jika tidak demikian, perut kita akan menjadi kuburan semua jenis makhluk.
Allah berfirman dalam ayat ini bahwa binatang-binatang ini diciptakan dari "Tangan Kami" di sini berarti "dari tindakan menciptakan". Tidakkah manusia memperhatikan binatang-binatang ini, yang demikian bermanfaat baginya dan dengan mudahnya ditundukkan di bawah kekuasaannya, sebagai suatu tanda kasih sayang dan kebijakan Allah? Perenungan akan hal ini akan menunjukkan bahwa Tangan Tuhan Yang Mahawujud ada di balik semua anugerah yang diberikan kepada manusia untuk kepentingannya.
وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ
72. Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya mereka tunggangi dan sebagiannya mereka makan
Menurut pendapat manusia, manusialah raja dari kerajaan binatang. Manusia telah dimuliakan meskipun ia makhluk jasmaniah, karena ia makhluk termulia, sedangkan binatang ditundukkan (dzallala) di bawah kekuasaannya. Seluruh binatang yang berada di bawah kekuasaannya harus digunakan dengan cara-cara tertentu, masing-masing dalam batas-batas tertentu yang saling melengkapi, dalam rangka memberdayakan manusia untuk hidup dalam kondisi yang memadai. Manusia diberi makanan, perlindungan, pakaian, dan mobilitas sehingga ia dapat bertasbih kepada Yang Maha Pencipta seluruh alam ini, mengakui seraya memuji bahwa semua berasal dari-Nya.
وَلَهُمْ فِيهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُ أَفَلَا يَشْكُرُونَ
73. Dan dari binatang-binatang tersebut mereka memperoleh manfaat-mafaat lain dan juga mereka memperoleh susu untuk diminum. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Manusia memperoleh manfaat dari karunia alam ini dengan berbagai cara. Semuanya, mulai dari kulit sapi sampai susunya dapat dimanfaatkan. Secara jelas ayat-ayat menunjukkan bahwa seluruh alam akan tunduk kepada manusia sebagai makhluk paling sempurna, asalkan manusia meninggikan martabatnya dengan mengembangkan potensi dalam dirinya agar menjadi khalifah Allah di muka bumi. la mempunyai pilihan antara merendahkan martabatnya hingga ke tingkat makhluk di bawahnya yang memalukan ataukah meninggikan martabatnya setingkat di atas malaikat. Jalan terbaik untuk sampai ke tingkat yang lebih tinggi tersebut yaitu dengan cara mengenali perwujudan Allah dalam segala sesuatu dan dengan tidak melupakan kewajiban kita kepada Allah untuk bersyukur atas apa yang telah Dia sediakan, baik dalam kesusahan maupun dalam kelapangan.
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لَعَلَّهُمْ يُنصَرُونَ
74. Dan mereka mengambil tuhan-tuban (lain) selain Allab (dengan harapan) agar mereka mendapat pertolongan
Tuhan-tuhan (alihah) ini mengacu kepada sesuatu, nyata maupun tidak, yang dipuja, atau sesuatu yang membuat seseorang terpesona atau berhubungan dengan benda tersebut dengan cara-cara yang lebih dari biasanya. Kita mungkin senang tidur, namun kita tidak selalu berpikir tentangnya. Ayat ini mengacu kepada situasi atau sesuatu yang diagungkan oleh seseorang, yang dinilai lebih tinggi bahkan dengan nilai takhayul.
Orang-orang yang menuhankan "tuhan-tuhan selain Allah" berada dalam kesesatan, dan keadaan ini dialami sebagian besar manusia. Hal ini merupakan sesuatu yang cenderung kita lakukan. Mereka yang berada dalam kesesatan berharap tuhan-tuhan itu akan memberikan kepada mereka kebahagiaan dan penyelesaian yang memuaskan.
Ketika berdiri untuk ibadah salat, kita mengucapkan Allahu Akbar yang berarti "Allah Mahabesar". Lafal takbir ini menegaskan bahwa kita telah mencari ke mana-mana sesuatu terbesar dalam kehidupan ini dan telah menemukan hanya Allahlah Sang Pencipta yang layak disembah. Allahu Akbar berarti pula Allah lebih besar dari apa pun yang dapat kita bayangkan.
لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَهُمْ وَهُمْ لَهُمْ جُندٌ مُّحْضَرُونَ
75. Berhala-berhala itu tidak memiliki kekuasaan untuk menolong mereka; padahal mereka dipersiapkan untuk menjadi tentara
Semua hal ini yang kita pikir akan menyelamatkan atau membantu kita—keluarga, kekayaan, jabatan, negara, atau apa pun hanyalah obat sementara. Kita berasal dari rahim dan tubuh kita berada dalam perjalanan menuju makam. Di antara dua tempat tersebut, kita hendaknya terjaga dan sadar akan satu kesatuan yang meliputi perjalanan ini. Inilah jalan dan rencana Allah, dan jika seseorang berpikir bahwa ia selamat dari rencana Allah, berarti ia berada dalam kesesatan, "Orang-orang kafir itu membuat rencana dan Allah pun membuat rencana, dan Allahlah sebaik-baik pembuat rencana" (3: 54).
Tuhan-tuhan yang kita anggap demikian penting tidak akan pemah mampu menyelamatkan kita, sekalipun mereka diberi kekuatan, tentara atau energi yang luar biasa. Kekuatan apa pun yang kita sandarkan kepada mereka masih kalah dalam dunia yang penuh keterbatasan ini (dibandingkan kekuatan Allah), karena dunia ini berada dalam penguasaan Sang Sumber segala kekuatan. Di dunia ini saja mereka tak dapat menyelamatkan kita, lalu bagaimana mungkin mereka menyelamatkan kita di kehidupan kemudian?
فَلَا يَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
76. Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu (hai Muhammad). Sesungguhnya, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka wujudkan secara nyata
Jangan sedih jika mereka memperolok-olokmu. Jangan pedulikan pendustaan mereka. Selama masa-masa awal kenabiannya, tak lebih dari dua belas, atau paling banyak dua puluh pengikut Nabi di Mekkah. Pada waktu itu usia Nabi empat puluh lebih, namun bukanlah jumlah pengikut atau umur Nabi yang dijadikan patokan.
Manusia cenderung berpegang teguh kepada cara-cara dan kebiasaan yang salah untuk menyembunyikan ketakutan dan kebodohannya, sering pula ia menyerang orang lain sebagai cara menyembunyikan hal ini, sebagaimana orang-orang yang dimaksud dalam ayat 30 yang menyerang dengan olok-olok karena ancaman terhadap khayalan dan kebiasaan mereka. Tetapi Allah berkata, "Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka wujudkan secara nyata."
Allah mengetahui bahwa orang-orang ini menyembunyikan dalam diri mereka penderitaan akibat keterasingan mereka (dari-Nya) dan mengetahui pula bahwa apa yang mereka katakan justru menegaskan adanya keganjilan dalam fitrah mereka. Mereka terpisah dari fitrah mereka, perhatikanlah kesempurnaan cara Allah menegaskan: mereka disatukan dengan pengingkaran dan kekafiran mereka. Salah seorang filosof besar muslim Haydar 'Amuli berkata, "Seluruh alam ini terjadi karena tauhid. Tauhid adalah sum-ber jalan Islam dan alat untuk mencapai baik surga maupun neraka." Orang kafir memamerkan nasibnya sendiri.
"Tak ada kontroversi maupun perselisihan tentang Islam," tegas sebuah hadis. Baik seseorang dalam Islam maupun di luar Islam. Muslim sejati tidak memasuki kontroversi tersebut. la hanya memenuhi panggilan jiwanya. Jika panggilan itu terdengar, itu karena yang bersangkutan memiliki alat pendengaran yang baik untuk mendengarkan seruan tersebut. Jika orang tidak memiliki alat pendengaran tersebut, yang menandai kehidupan sejati, maka ia tidak akan mampu mendengarkan seruan jiwanya. Orang-orang yang menyeru orang lain kepada jalan Allah (dakwah) tidak pernah merasa kecewa. Mereka berkata, "Ini urusan Allah, bukan urusan kami." Orang seperti ini telah menyerahkan dirinya kepada panggilan jiwanya.
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ
77. Apakah manusia tidak memperbatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani? Namun lihatlah, (akhirnya) ia menjadi musuh yang nyata!
Akar kata kerja dari insan, kata yang digunakan dalam ayat ini untuk merujuk kepada manusia, berarti "menjadi pertemanan, akrab, intim". Manusia pada dasarnya menginginkan keakraban dan keintiman, yang berarti mencari kepuasan pribadi dan sosial serta saling berhubungan dengan makhluk lainnya, maupun dengan seluruh alam. Oleh karena itu, ia secara naluriah menjauhkan diri dari apa yang tak diketahuinya, dari ketidakakraban. Dorongan utama untuk bersatu terlihat dari keinginannya untuk mewujudkan niat-niatnya dalam perbuatan.
Allah bertanya, "Tidakkah manusia menyadari penciptaan dirinya yang berasal dari air mani, sesuatu yang hina, namun dalam tubuh fisik ini ada program genetik, huruf-huruf kimiawi yang melaluinya pesan-pesan penciptaan disandikan?" Risalah kenabian Alquran menjelaskan sebab-sebab biologis asal-muasal manusia jauh sebelum ilmu pengetahuan mengungkapnya. Ketika itu dunia rasional, yang mengantarkan kepada dunia ilmiah sekarang, masih dipenuhi dengan takhayul. Kata air mani, nuthfah, berarti sebuah sel hidup.
Namun bukannya berpikir tentang penciptaanya dirinya oleh Allah dengan perintah-Nya, manusia justru cenderung untuk berdalih dan berselisih. Permusuhan (khushumah') adalah fenomena awal dari jiwa rendah manusia. Kondisi permusuhan ini datang secara alamiah kepada Setiap orang karena tak ada seorang pun yang suka dibingungkan, dibimbangkan, atau tergantung kepada orang lain. Maka ia menentang kekuasaan yang memberinya makan. la ingin mandiri, karena dalam batinnya ada gaung sifat Allah Yang Mahasempurna, Mahakaya. Allah adalah Yang Maha Pemberi, Tuhan segala sesuatu, bukan ayah atau ibu seseorang.
Budaya tradisional Arab mengenal aspek kemandirian manusia, yang merupakan sifat positif jika diarahkan, karena kemandirian membuahkan kekuatan, keberanian, dan sumber daya. Untuk mengembangkan sifat ini secara positif, penduduk kota membawa anak laki-laki mereka jauh dari ibunya sejak usia dini dan menitipkannya di tempat khusus penitipan yaitu pada keluarga-keluarga pedalaman. Tempat yang lebih sehat untuk anak adalah lingkungan di mana pengaruh sosial dari kehidupan kota yang negatif dapat dihapuskan dan kasih sayang ibu yang berlebihan dapat diminimalisir. Anak-anak ini terus pulang-pergi dari rumahnya ke kampung tempat penitipannya hingga umumya sekitar tujuh tahun. Dengan cara ini, nalurinya untuk mandiri dikembangkan dengan cara yang positif dan bertahap.
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya. la berkata: Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang yang telah hancur lebur?
Orang pembantah ini bertanya, "Siapakah yang akan menghidupkan kembali tulang belulang yang telah hancur luluh?" "la melupakan kejadiannya!" tegas Allah. Apakah penghidupan kembali manusia setelah matinya lebih mencengangkan dan lebih sulit dari penciptaan awalnya? Seluruh unsur planet ini mengandung telur subur yang darinya manusia tercipta. Meskipun ilmu pengetahuan sekarang telah mampu menjelaskan proses kejadian manusia dalam rahim, namun yang masih belum terjawab adalah pertanyaan bagaimana makhluk yang disebut manusia ini tercipta dari sebuah telur yang dibuahi! Siapa yang memiliki kekuasaan untuk menciptanya pertama kali tentu dapat menghidupkannya lagi di lain waktu.
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
79. Katakanlah: Yang akan menghidupkan mereka adalah Yang menciptakan mereka pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk
Bayi dalam rahim berada dalam keadaan aman, mengarah kepada kehidupan yang nyaman, karenanya ia tidak ingin keluar. Namun, pertumbuhannya yang terus-menerus menyebabkan ia lahir disertai tangisan, karena sistem pendukungnya telah berubah. Mulut yang tadinya tak berfungsi selama sembilan bulan di rahim tiba-tiba diperlukan. Te-linga yang tadinya tak pemah mendengar apa pun sebelumnya kecuali debar jantung yang terus berdetak karena berzikir kepada Allah, diaktifkan untuk membedakan beraneka ragam suara. Mata mulai terbuka dan mulai terbiasa dengan cahaya. Maka ayat ini menegaskan "Tuhan Yang Maha Mengetahui Yang Menciptakan pertama kali akan menghidupkan lagi dalam bentuk yang Dia kehendaki!"
Dia Yang menciptakan secara serentak dan menjadikannya pertama kali, memiliki ilmu tentang seluruh alam, baik lahiriah maupun batiniah. Dia mengetahui semua kebimbangan dan keraguan orang-orang kafir. Dia memiliki rencana untuk setiap unit alam. Dialah Yang Maha Mengetahui (al-'Alim). Untuk setiap pola alam Dia mengetahui semua program dan dapat menciptakannya kembali seperti sedia kala, lalu mengapa kita tetap pada anggapan kita bahwa hidup di dunia ini hanya makan, tidur, dan mati?
الَّذِي جَعَلَ لَكُم مِّنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنتُم مِّنْهُ تُوقِدُونَ
80. Dialah (Tuhan) Yang menjadikan untukmu api dari kayu hijau, dan lihatlab! Kamu nyalakan (api) darinya
Sekali lagi Allah meminta manusia memperhatikan siklus penciptaan benda lain yang akrab dengan manusia dan darinya manusia memperoleh manfaat langsung. Kayu hijau diubah bentuk sehingga dapat dinyalakan dengan api. Dengan contoh ini kita diajarkan untuk mernperhatikan tentang hal-hal yang berlawanan. Dari air muncullah api: kayu hijau yang basah, yang unsur pokoknya adalah air, jika mengering, memasuki fase berikutnya yang memunculkan sifat panas dan keringnya api. Jadi air dan api memiliki hubungan erat, meskipun keduanya memiliki sifat yang berlawanan. Sifat keduanya yang berlawanan biasanya menyebabkan satu sama lain berusaha saling menguasai. Baik air yang dapat memadamkan api, atau api yang mendidihkan air hingga air tersebut hilang sebagai uap. Sifat alam sungguh indah bahkan benda-benda yang sangat bertentangan sekalipun, melalui fase perubahan bentuk, dapat secara bersama-sama muncul dalam sebuah proses yang berguna bagi manusia.
Ayat ini merupakan sebuah perumpamaan bagi pensucian jiwa oleh dirinya sendiri; yaitu kayu hijau yang karena kematiannya berubah menjadi suatu alat perantara yang cocok untuk menyalakan api cinta Ilahi. Ayat ini juga dapat menjadi perumpamaan bagi mereka yang mengingkari adanya Neraka di akhirat. Tak dapatkah Dia Yang menciptakan kayu hijau, dan dari kayu hijau yang telah mati itu Dia menjadikan kayu menyala yang cocok untuk api, melakukan hal yang sama kepada manusia?
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُم بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ
81. Dan tidakkah Tuban Yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Ya, tentu saja! Dan Dialah Maha Pencipta (seluruh alam), Maha Mengetahui
Dari membuktikan keberadaan manusia, Allah berpindah ke horison langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di (segenap) ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah Benar" (41:53). Pertanyaan dalam ayat ini merupakan pertanyaan historis: Dia Yang menciptakan bumi dan ruang angkasa, tak dapatkah menciptakan lagi hal yang serupa? Energi itu, situasi itu, yang terjadi karena perintah-Nya, tak dapatkah diulangi semudah seperti sebelumnya? Suara yang sangat bergema dari Yang Mahawujud menjawab, "Tentu, karena Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Mengetahui!"
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
82. Perintahnya, jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah dengan Dia berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah ia
Perintah-Nya, perintah untuk penciptaan dari Zat Yang Mahawujud adalah, "Jadilah!" Dengan hanya berkehendak, maka terciptalah makhluk yang dikehendaki-Nya tersebut. Kehendak Tuhan merupakan awal sekaligus akhir. Dari kehendak tersebut, memancarlah Seluruh alam. Jika di laut, energi ombak memungkinkan timbulnya ombak baru, segala sesuatu bergerak secara spontan menuju ke ombak baru tersebut sehingga ombak baru tersebut bertambah besar. Unsur pentingnya adalah kehendak atau keinginan, yang merupakan dasar bagi perubahan dan gerak, dan kekuasaan yang merupakan sifat-Nya akan menyelesaikan tindakan mencipta tersebut.
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
83. Maka Mahasuci Dia Yang di Tangan-Nyalah (terletak) kekucisaan atas segala sesuatu, dan kepada-Nya kamu dikembalikan
Bagaimana mungkin kita tidak bertasbih kepada-Nya? Tak ada jalan lain kecuali bertasbih kepada-Nya yang di Tangan dan Kekuasaan-Nya terletak kontrol dan pemilikan segala sesuatu. Dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali. Kita tak memiliki tugas apa pun kecuali secara sadar menyucikan-Nya. Kata Arab untuk menyucikan, tasbih, juga merupakan nama yang dipakai untuk untaian tasbih yang digunakan oleh orang-orang mukmin untuk membantu kekhusyukan dalam berzikir kepada Allah. Tasbih-tasbih ini hanyalah alat untuk membantu kekhusyukan dalam berzikir apa pun lafal zikir yang dibaca atau apa pun Nama Allah yang disebut. Zikir yang teratur pada akhirnya akan membiasakan seseorang untuk selalu zikir kepada-Nya di setiap waktu. Tasbih kita harus terus, karena kemana pun kita memandang, suka maupun tidak, segalanya berasal dari Allah. Tak hanya hal yang kita sukai berasal dari Allah, hal yang tidak kita sukai pun berasal dari Allah. Jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi di hadapan kita, itu lantaran kita secara bodoh melanggar dan melintasi larangan-larangan yang seharusnya tidak kita langgar. Oleh karena itu, kita mengalami pemulihan atau pembetulan dari penyimpangan tersebut. Setiap sistem alam membuat reaksi serupa yang berlawanan. Kita selalu memperoleh apa yang berhak kita teriina. Cinta Allah menyentak kita untuk sadar tatkala kita telah menyimpang dari jalan yang benar. Itulah cinta Allah yang memperingatkan kita agar tidak terus berada di jalan yang berbahaya, agar kita kembali ke jalan yang selamat.
Tak ada yang perlu dilakukakan kecuali berada dalam keadaan atau senantiasa menyucikan-Nya (tasbih) untuk berenang di laut kehidupan Islam. Akar kata kerja dari tasbih adalah sababa yang berarti "berenang". Islam berarti penyerahan diri secara sungguh-sungguh, secara waspada, secara cerdas, dan secara sadar, bukan penyerahan diri yang apatis. Berserah dirilah secara cerdas lalu lihatlah tanda-tanda kekuasaan Allah. Semua tanda-tanda ini menunjukkan cinta Allah kepada kita. Kita tak dapat membalasnya dengan apa pun kecuali dengan bertasbih dan bersyukur. Jika kita tidak bertasbih dan bersyukur, kita berada dalam kerugian dan tak ada yang perlu disalahkan kecuali kebodohan dan keingkaran kita.
Mahasuci Dia! Kebimbangan adalah takdir kita. Dengan memperhatikan panorama alam yang membingungkan dan mencengangkan ini, kita tersesat dalam kebimbangan. Kita hanya dapat bertasbih dan benar-benar bingung dalam kehampaan yang tak dapat dimengerti ini, baik terlihat maupun tidak. Kita benar-benar bingung dalam lautan situasi yang menakjubkan, terus hidup dalam genggaman Tangan-Nya yang memiliki kekuasaan sempurna atas segala sesuatu. Inilah alam yang berada dalam keseimbangan sempurna di setiap saat, ia bukanlah huru-hara. Kita semua akan kembali kepada-Nya, Sang Pencipta kita. Dari-Nya kita berasal, dengan kemurahan-Nya kita dipelihara dan kepada-Nya kita kembali. Inilah kabar gembira. Kita tidak terpisah dari-Nya. Kita tercipta karena Allah, dari-Nya kita berasal, dan kepada-Nya kita kembali: hanya ada satu Allah, Yang Maha Esa dan satu-satunya Yang Mahawujud. Pintu menuju kepada-Nya adalah melalui penyerahan diri secara total, terlepas dari semua selubung, konsep, hubungan atau perlindungan duniawi dari seseorang yang dianggap penting dan nyata, termasuk diri kita sendiri.[]
IKHTISAR
Surah Yasin: Tempat Perlindungan Yang Aman bagi Hari Kebangkitan
Kita tahu bahwa Alquran merupakan buku pedoman hidup tertinggi di dunia ini, dan dengan itu ia sekaligus mempersiapkan kita untuk alam akhirat, alam tanpa batas waktu dan ukuran. Orang yang buta di dunia ini, yang tak mampu melihat hukum-hukum yang mengatur kehidupan di alam ini, tak akan pemah mampu melihat ke alam-alam yang lebih halus, yang meskipun kurang nyata, namun membantu mengatur dunia ini.
Surah Yasin memberi kita pengajaran yang jelas mengenai jalan-jalan Allah. Surah ini mengandung gambaran yang menyeluruh tentang tauhid, tentang sifat Yang Maha-wujud, tentang hukum-hukum yang mengatur kehidupan dan tentang tingkat kebebasan manusia sebagai makhluk jasmani-rohani.
Surah ini diawali dengan seruan kepada Nabi, meng-gunakan huruf-huruf sebagai lambang yang darinya bahasa dibangun sehingga memungkinkan manusia berkomunikasi. Bahasa membedakan kesadaran manusia dari kesadaran kreatif, dan huruf-huruf berfungsi sebagai tembok yang membangun bahasa, demikian pula atom-atom berfungsi sebagai zat penyusun bangunan molekul benda-benda fisik. Huruf dan atom membentuk pola saling hubungan yang melekat pada hukum "ejaan" dan "tata bahasa", dengan hukum ini Seluruh makhluk tidak saling tabrakan, dalam makna maupun bentuknya. Unsur-unsur harfiyah sejajar dan melambangkan kehadiran kimiawi huruf dan bersifat aktif dalam materi genetik yang membentuk menjadi bermakna.
Perumusan nasib manusia dijelaskan kepada kita dengan adanya pertanda baik maupun pertanda bumk, sebagaimana utusan yang dikirim ke Anthakiyah berkata, "Malapetaka ditimpakan kepadamu akibat perbuatanmu sendiri!" Dinanti maupun tidak, manusia menentukan nasibnya sendiri. Kita adalah alam bagi diri kita sendiri sekaligus pelaku dalam alam tersebut. Kita masing-masing adalah pusat alam karena setiap makhluk di dunia nyata ini berhubungan dengan kita. Dunia kita sesuai dengan apa yang pantas kita terima. Tak semua orang mampu memahami hal ini, tak semua orang dapat menerima risalah ini. Oleh karena itu, jika telah menerimanya, selamilah kedalamannya. Rintangan-rintangan menuju pandangan yang menyeluruh sesuai keadaan seseorang; ketebalan, kekuatan, kedalaman rintangan itu sesuai dengan besar-kecilnya harapan, kehendak, ketakutan, dan kegelisahan orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, rintangan itu berbanding terbalik dengan kemurnian penyerahan diri kita kepada Tuhan Yang Maha-wujud.
Kita juga telah melihat dalam surah ini bahwa persyaratan seseorang untuk dapat menyampaikan pengetahuan yang benar yaitu ia tidak boleh mengharap balasan dari siapa pun. la juga harus memiliki pengetahuan mengenai faktor-faktor dasar yang melandasi realitas dalam kehidupan ini. la haruslah seorang yang telah dicerahkan dan telah sadar diri.
Seiring kita melangkah, kita tahu bahwa rasa takut (khasy-yah) merupakan akibat dari kebimbangan, ketidak-tahuan batas-batas perilaku. Dengan mengamalkan Islam, rasa takut dapat diubah menjadi tingkatan "iman" yang lebih tinggi, yaitu "yakin" tentang hakikat Yang Mahawujud. Dari keyakinan ini lahirlah "takwa", karena sekali seseorang merasa yakin maka ia tidak akan pemah ingin melangkah keluar dari batasan-batasan tersebut. Orang yang telah mengikuti jalan risalah kenabian dan dari hal yang kasar ke yang halus; pertama-tama muncul kesehatan badan, lalu pikiran, kemudian akal dan akhirnya jiwa.
Dalam surah Yasin juga ditegaskan bahwa kitalah yang menentukan nasib kita sendiri. Yang Mahawujud berkata, "Dan Kami tidak menurunkan kekuatan atau malaikat yang tidak terlihat dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya." Surah ini menegaskan bahwa niat dan amal kitalah yang menentukan hasil akhir kita. Jika amal kita jelek, karena amal tersebut tidak mengikuti arus hukum alam yang berlaku, berarti kita telah mengundang malapetaka atas diri kita sendiri.
Alam ini luas dan mengagumkan. Kita semua adalah gaung Dentuman Besar. Seluruh alam meledak menjadi besar, jadi jika kita sendiri tidak tumbuh dalam kenikmatan batiniah, kita akan jatuh sakit, karena kita tidak mengikuti ketetapan alam. Jika kita tidak membuyarkan khayalan kita, maka kita tidak akan bisa larut dalam kebahagiaan yang luas, abadi, dan besar.
"Mata air yang dari padanya hamba-hamba Allah mi-num, sambil mengalirkannya sepuas-puasnya" (76:6). Inilah makanan sesungguhnya untuk hati. Jika kita tidak meng-gaungkan proses perkembangan alam dalam diri kita, maka kita akan tertindas dan tertekan, kita akan tersesat dan hancur di jalan yang salah. Contoh jelas adalah kehancuran kaum di kota Nabi Luth. Mereka homoseks, rusak moral, menuruti nafsu a-susila dan melakukan perbuatan yang tidak wajar. Karena cara alam adalah membesar, ini untuk mengatakan, keteraturan alam disebabkan karena perkembangannya, maka energi kaum Luth yang bertentangan (dengan alam) dan meresahkan itu mempengaruhi kondisi di sekeliling mereka yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran mereka. Pola perilaku yang mereka pilih bertentangan dengan alam, dan energi itu sendiri menyebabkan bencana alam yang akhirnya membinasakan mereka. Alam hanya menegaskan kelaliman mereka atas diri mereka sendiri sejajar dengan keterasingan batiniah. Ini bukan takhayul; ini adalah tauhid. Kita tidak terpisah dari alam; perbuatan kita mempengaruhi seluruh alam karena kita berinteraksi dengannya. Rahasia seluruh amal kita terletak dalam niat kita.
Dalam Alquran kita mendapatkan bahwa amal baik yang dilakukan dengan niat ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa, akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Amal jelek, sebaliknya, menghasilkan balasan yang nilainya setimpal. Sungai amal yang kita alami seiring bergulimya waktu, mengalir menuju arah tertentu. Apa pun yang jatuh ke dalam arus tersebut mengalir selaras dengan arah arus dan semakin lama menjadi semakin besar. Jika kita berbicara searah dengan arah angin, misalnya, suara kita akan bertambah nyaring. Sebaliknya jika kita berbicara berlawanan dengan arah angin, maka suara kita akan lenyap. Angin takdir membawa beraneka ragam berkah Allah. Apa pun yang bergerak searah angin sepoi-sepoi ini berada dalam satu berkah bersama dengan ketetapan dan akan tumbuh serta bertahan.
Hukum-hukum yang mengatur kehidupan, cepat atau lambat, akan menimpa kita jika kita melanggarnya baik karena kecerobohan kita atau karena kebodohan kita, baik sadar maupun tidak; tugas kita adalah mengetahui hukum-hukum tersebut, mengetahui di mana seharusnya kita menarik garis dan mengatahui bagaimana caranya kembali ke jalan yang lurus. Dikatakan bahwa jalan lurus (ash-shirath al-mustaqim) lebih tajam dari mata pedang Damaskus. Yang dimaksud dengan ketajaman di sini adalah kesadaran, kesadaran yang terus, abadi, bersinar untuk kepentingannya sendiri, bukan kesadaran terhadap keadaan yang diciptakan secara khusus. Untuk memulainya, seseorang harus sadar tentang satu hal atau hal lainnya, namun kesadaran tentang sesuatu, pada dasarnya, merupakan kelalaian, karena kesadaran terhadap sesuatu mungkin menyebabkan terlupakannya hal lainnya. Bagaimanapun, jika seseorang selalu sadar diri, berarti ia terbuka dan tersedia. Pada keadaan ini, ilmu yang ia perlukan pada situasi apa pun akan secara otomatis terwujud.
Sebagai makhluk yang berperilaku di dunia ini, kita berusaha untuk bersatu secara batiniah untuk mernperoleh jalan masuk ke ilmu yang bermanfaat, ilmu yang berasal dari kesadaran spontan, ilmu yang membantu kita di medan amal, sehingga kita dapat terus bergerak menuju keselamatan. Meskipun kita terlahir bebas, tidak rrunta untuk hidup, dan kita mati tanpa mengetahui sebelumnya, di mana, kapan, atau dalam situasi bagaimana, namun, di antara dua peristiwa besar ini, kita mendapatkan diri kita terikat oleh belenggu harapan dan hasrat. Semakin kita terbelenggu secara lahiriah, semakin kita memperlihatkan kesombongan lahiriah untuk mempertahankan bangunan rapuh yang telah kita bangun. Sebenarnya tujuan perjalanan hidup ini adalah berserah diri (Islam) dan melarutkan diri dalam satu kesadaran penuh. Ketika seseorang melepaskan kesadaran gerak dan gaya hidup rendahnya menuju kesadaran yang lebih tinggi, maka kesadaran tinggi itu akan segera muncul.
Dengan cara yang sama, kita bergerak dalam waktu, kita juga bergerak dalam pemahaman, dari satu pemahaman menuju pemahaman lebih baik, dalam satu rangkaian yang abadi, yang selalu bertambah. Jika cukup peka, kita akan mendapatkan hikmah di setiap nafas dan di setiap peristiwa yang terjadi di hadapan kita. Tetapi, umumnya, kita tidak peka. Jika kita tidak menangkap hikmah tersebut ketika peristiwa teijadi, maka hikmah tersebut akan berlalu dan kita membiarkannya begitu saja. Di setiap saat, di setiap desahan nafas, Allah menganugerahkan hikmah kepada kita untuk menunjukkan keseimbangan seluruh ekologi dalam satu kesatuan hidup ini.
Ekologi tak sebatas hak milik kita, tak sebatas perbatasan suatu negara, atau sebatas pemukaan kulit tubuh kita. Ekologi bersifat multidimensional dan universal. Tiap-tiap kita mempengaruhi ekologi alam dan dunia secara keseluruhan, demikian pula sebaliknya, saling pengaruh-mempengaruhi. Tidak ada pemisahan. Pemisahan hanya ada dalam kaca mata biologi perorangan, karena sel-sel tertentu dilindungi oleh kulit. Kulit pun tetap bernafas dan hidup. la dipengaruhi oleh atmosfir yang mengelilinginya, sebagai-mana suatu benda dipengaruhi oleh benda yang mengelilinginya. Dunia adalah transaksi ekologi total yang di dalamnya dibangun sistem batasan-batasan alam berdasarkan realitas yang tak ada batasnya. Batasan bermakna karena adanya ketiada-batasan. Kekayaan alarn hanya dapat dinikmati jika kita membatasi diri dalam penggunaannya.
Cara untuk membuka tabir makna kehidupan untuk menangkap hakikat hidup adalah seperti kita menguliti bawang. Makna kehidupan dikodekan dalam gen-gen kita, namun untuk membaca kode genetik ini, kita harus melihat permukaan yang berlapis-lapis dari kehidupan ini. Tiap lapis merupakan dunia tersendiri. Dunia-dunia ini adalah apa yang telah kita berikan realitas obyektif dan makna kepadanya. Ketika kita mengupas kulit terluar sebutir bawang, terlihatlah lapisan kedua, lalu lapisan selanjutnya, dan seterusnya hingga ketika kita sampai pada hati bawang tersebut dan membuka lapisan terakhir, yang tersisa hanya-lah ruangan kosong. Ruang ini juga apa yang ada di luar bawang, dan pada saat yang sama, bawang tersebut ditembus oleh ruang, sama seperti kita, diternbus oleh Yang Mahawujud. Di sana yang ada hanyalah Yang Mahawujud.
Benda memiliki perwujudan material hanya karena adanya kemampuan imajinasi dari akal yang memungkinkan kita untuk memadatkan objek-objek. Pada kenyataannya, dunia adalah ruangan, namun ia lebih dinamis dan berubah-ubah. Tentu saja, dunia sehari-hari kita yang berupa benda-benda padat benar-benar ada. Bagaimanapun, kehidupan ini hanyalah kehidupan sekunder. la hanyalah bayangan atau dokumen tulisan tangan dari kehidupan yang hakiki.
Dalam diri kita terkandung makna kehampaan, ketiada-batasan sekaligus pula makna keberwujudan dan keterbatasan. Biasanya kita lebih banyak memperlihatkan keterbatasan dan ketergantungan, yang menyulitkan kita. Inilah penyakit manusia di alam ini. Tujuan kita hadir dalam dunia ini adalah untuk keluar dari kesulitan ini, dengan mengakui Yang Maha Esa-Mahawujud. Kehidupan juga ddaklah berakhir dengan hancumya dunia. Semua Nabi berusaha menyampaikan kepada manusia bahwa Tuhan ada pada saat sekarang, dulu, dan akan terus ada, dan bahwa karena kita berasal dari Tuhan, dalam diri kita terkandung potensi untuk menyadari makna ketiada-terbatasan Allah, kemuliaan yang tak ada bandingannya. Jika kita memusatkan perhatian kita pada akhir yang lebih tinggi, kita akan melihat hubungan diri kita dengan tauhid. Dari tauhidlah kita berasal dan dengan tauhid pula kita menyatukan lahir dan batin kita secara sadar. Kita adalah ruang antara (barzakh) yang tinggi dan yang rendah, dunia yang fana ini dan akhirat yang kekal. Dengan beralih ke yang tinggi, maka yang rendah disucikan dan diubah.
Sebaliknya, dengan beralih ke yang rendah, maka yang rendah itu diperbesar dan yang tinggi menjadi kabur, "Orang-orang yang tidak memberi persaksian palsu, dan apabila mereka berpampasan dengan hal yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan tetap menjaga kehormatan dirinya" (25:72).
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang kesadarannya terbentang di antara dua dimensi. Kebimbangan muncul dalam hidup ini karena adanya paradoks yang nyata yaitu di satu sisi kita terbatas dan terus mendekati kubur seiring desahan nafas kita, di sisi lain kita ingin kekal. Pada saat kita mencari kekayaan, cinta, ilmu, atau kebahagiaan, sebenamya kita mencari kualitas keabadian, karena kita menggaungkan keabadian dalam diri kita.
Alquran menegaskan bahwa Allah Maha Meliputi se-gala sesuatu. Ini berarti bahwa segala sesuatu diserap dalam ke-Ilahian. Karena alam didasarkan dan diseimbangkan oleh hal-hal yang berlawanan, maka kita tidak akan mampu menyadari batasan-batasan pelanggaran dan tak akan mengerti ke-Ilahian yang meliputi segala hal, tanpa kehadiran perbuatan salah dan dosa. Manusia menimbulkan akibat dalam situasi tertentu sesuai perbuatan yang dilakukannya dalam konteks situasi tersebut. Perbuatan manusia menyediakan pasak yang memaku seluruh urusan menjadi satu.
Jika kita tidak memiliki harapan dan hasrat, maka kita akan lebih bebas dibandingkan burung. Kebanyakan orang biasanya bereaksi. Karena kita memiliki serangkaian keinginan masing-masing, maka setiap kita bereaksi sesuai dengan kekuatan-kekuatan yang mendorong kita dan sesuai dengan rangsangan yang datang dari luar, yang pada gilirannya menghasilkan akibat karena interaksi kekuatan dan rangsangan itu dengan kepribadian khusus kita. Jika tidak ada kepribadian, sebagaimana dilambangkan dalam posisi sujud (sajdah) dalam salat, yang jika dilaksanakan dengan konsentrasi penuh mengakibatkan lenyapnya hawa nafsu, berarti seseorang berada di jalan kebebasan. Tentu ini tidak berarti bahwa kita tidak membedakan antara hal yang baik dengan hal yang buruk dalam dunia lahiriah ini.
"Dan sesungguhnya kamu akan memperoleh pahala yang tidak putus-putusnya" (68:3). Jika hati kita hidup dan suci, dengan ikhlas kita menjadikan hidup sebagai sebuah perjuangan di jalan Allah, maka seluruh hidup kita adalah kebahagiaan. Kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang berpandangan serupa yang menggaungkan pandangan ini. Namun, jika kita egois dan takut, kita akan berteman dengan orang-orang dari gaung yang sama. Orang-orang yang memiliki persamaan dalam suatu hal biasanya berkumpul bersama; hal ini merupakan hukum alam, ini merupakan sunatullah yang tak pernah berubah dalam alam ini dan kita tidak dapat lari darinya.
Kebebasan tak akan ada dalam kehidupan ini tanpa disertai kendala. Kesehatan tidak dapat dirasakan tanpa adanya penyakit. Kebebasan dalam arti abstrak tidak ada. Ungkapan "kepercayaan mengikat orang-orang yang merdeka" (ats-tsiqah witsaq al-ahrar) berarti adab dan batasan-batasan lahiriah menjamin adanya kebebasan dan keselamatan batiniah.
Jika kita mencari kebebasan, carilah sampai ke akar-akarnya yang terletak pada lawannya, yaitu dalam penghambaan diri (kepada Allah). Hukum tentang hal-hal yang beriawanan selalu berlaku. Kita harus percaya bahwa meskipun kita tidak memahami hukum-hukum tersebut sekarang, kita kelak akan mengetahuinya juga. Ini merupakan satu aspek dari iman.
Allah memanifestasikan dirinya dalam hukum-hukum alam, karena hukum-hukum ini mempakan hukum yang seragam, berlaku kepada semua makhluk. Jika seseorang mengklaim diri sebagai bijak ('arif), atau tercerahkan, kita beranggapan berarti orang tersebut mengetahui hukum-hukum alam. Namun, hukum-hukum alam ini berasal dari luar alam dan lebih berkuasa dari alam itu sendiri, kalau tidak tentu alam tidak bisa diikat oleh hukum-hukum ini. Makna sebenarnya dari ‘arif adalah penyerahan diri secara total. Orang arif, dengan pengetahuan dirinya, mengetahui apa yang perlu diketahuinya pada saat ia membutuhkannya. Jiwa ego atau nafs orang arif ini tidak mengubah kapasitasnya untuk menerima hidayah. Dia benar-benar berserah diri. Jadi, secara otomatis dan secara sempurna ia diperbaiki.
Pada surah ini, makna surga (jannah) diperjelas. Surga adalah keadaan yang rahasia dan tersembunyi, tempat di mana hati merasa tenteram, sebagai balasan dari penyerahan diri yang sejati. Namun penyerahan diri ini tidak berarti penyerahan diri secara fisik, dengan membiarkan keluarganya miskin-melarat atau tak memperdulikan pakaian atau perilakunya kepada sesama manusia. Bahkan jika seseorang pergi ke sebuah gua di gunung, ia akan mendapatkan bahwa pikirannya masih diganggu. Penyerahan diri sejati datang secara bertahap dengan menghadapi tanggung jawab secara berani, dengan melakukan yang terbaik dan tidak terjerat cinta lahiriah serta tidak berhasrat akan balasan amalnya. Semua dilakukan di jalan Allah (fi sabil Allah). Dari sudut pandang ini, suatu amal seperti pernikahan hanya bermanfaat dalam perjalanan hidup ini jika masing-masing pasangan berniat dalam hati membantu pasangannya untuk menyadari kebebasan dan kepuasan batiniah. Pernikahan adalah ibadah, demikian pula seharusnya perbuatan lainnya. Tak ada yang salah sama sekali dengan kegelisahan dan nafsu. Tanpa nafsu dalam hidup ini, tak akan ada hasrat. Namun nafsu seseorang haruslah untuk ilmu, untuk Allah, karena hidup seluruh manusia bergantung pada Allah Yang Maha Mandiri. Alihkan cinta terhadap makhluk kepada cinta terhadap Sang Pencipta.
Kesesuaian yang sesungguhnya terjadi kira-kira ketika seorang pria dan seorang wanita dengan tulus ingin bekerja sama dan saling melayani satu sama lain untuk memperoleh kebenaran, pengetahuan, dan kebebasan batiniah. Kebebasan batiniah tidak dapat diraih tanpa adab dan penghonnatan lahiriah. Kita tidak dapat tumbuh secara batiniah kecuali kalau kita membatasi diri kita secara lahiriah. Jika seseorang menginginkan kebebasan batiniah, ia harus menjalani batasan lahiriah. Tidak benar jika dikatakan kebebasan lahiriah itu berubah-ubah. Kebebasan lahiriah hanya menyebabkan kekacauan, baik lahir maupun batin. Maka semakin dekat seorang pencari ilmu kepada ilmu Allah, semakin lebih terbatas perbuatannya. Harapannya adalah bertindak dalam batas-batas yang diperbolehkan. Hatinya membawa kepada tujuan, namun agar hati sampai kepada keadaan yang layak, hati butuh dihubungkan dengan hal yang selaras.
Segala sesuatu dalam alam diatur menurut hukum alam, dan Sang Pemberi hukum itu adalah Allah. Pintu menuju Allah adalah dengan memahami dan mengikuti hukum-hukum-Nya baik secara lahiriah maupun batiniah. Orientasi lahiriah saja tidak cukup. Pola luar hanya menyediakan petunjuk-petunjuk dan informasi, bukan ilmunya itu sendiri. Seorang guru sufi bertugas membuka kulit kebodohan yang menutupi diri sang murid. Sang guru hanya membersihkan karat-karat yang telah menutupi sumber cahaya yang terdapat dalam hati sang murid. Guru sufi tak memberi apa pun; ia hanya melepaskan sesuatu. Allah berfirman dalam hadis qudsi, "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada di hati orang yang beriman."
Jadi inilah obat yang kita peroleh dari surah Yasin. Mereka yang belum mendapatkannya dalam hidup ini pada akhirnya pun akan mendapatkannya ketika mati. Itulah mengapa surah ini dibaca ketika seorang muslim meninggal, dengan harapan jiwa (ruh)nya ingat atau bergaung dengan realitas asalnya serta berzikir terhadap apa yang telah mendarah daging dengannya.
Hidup yang singkat ini hanya sebuah mata rantai dari rantai kehidupan. Sebelum kehidupan dunia ini, ada suatu pola kehidupan; setelah kehidupan dunia ini pun, ada pola kehidupan lain. Periode sembilan bulan dalam kandungan menghubungkan kita dengan alam ini. Tidur setelah mati, yang dilukiskan oleh ayat, "Siapakah yang membangunkan kami dari tempat tidur kami" (36:52), menghubungkan kita dengan alam kemudian. Apakah orang ingat jelas pengalam-an ketika dalam kandungan? Demikian pula, kita tidak dapat membayangkan keadaan yang belum dialami ini yang akan menjadi tempat kembali kita.
Ketidakmampuan mengingat apa yang telah terjadi (di alam rahim) atau mengetahui keadaan hidup setelah mati membuat orang yang suka merenung menjadi kagum karena setiap orang dengan akalnya selalu bertanya apa sebenarnya makna hidup dan mati. "Mengapa saya tidak bahagia? Mengapa saya tidak puas? Mengapa saya tidak bebas secara batiniah?" Membuat kita gelisah adalah juga bagian dari rahmat Allah. Adalah kehendak Allah bahwa kita harus mengenali-Nya yang menggangu kita dan oleh karenanya mengeluarkan kita dari kelesuan fisik dan hewani kita. Setiap problem yang kita hadapi adalah benar-benar pemberian dari Allah kepada kita.
Hamba Allah berdoa kepada Tuhannya, "Berilah aku tanggung jawab sehingga aku maju dan dewasa dalam hidup!" Ketika problem ditangani secara lahiriah dengan sikap positif, maka terjadilah gerak rohani. Seluruh hidup ini hanyalah drama pertunjukan, dan semua makhluk adalah pemeran-pemerannya. Cara menghentikan drama ini adalah dengan berhenti berakting, apa pun peran yang ia pikir menjadi tugasnya serta dengan melakukan tindakan yang pantas dan dengan memikul tanggung jawab demi kepen-tingan Allah (fi sabil Allah) tanpa motif pribadi apa pun. Dengan cara ini, ia terhindar dari semakin menebalnya lapisan-lapisan khayalan. Cara terbaik mengatasi khayalan dan anggapan serta selubung serupa lainnya adalah dengan menghadapi situasi-situasi di jalan Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun. Peristiwa-peristiwa dalam hidup terjadi laksana pahat-pahat yang membuka lapisan-lapisan kayu. Pada akhirnya, ia mengetahui bahwa apa yang ada di tengah-tengahnya telah berada di sana selamanya.
Sebenarnya kita hanya memiliki kewajiban-kewajiban dalam hidup ini, tanpa memiliki hak. Kita hanya mempunyai tugas-tugas. Kita menghabiskan oksigen dalam jumlah besar. Setiap beberapa tahun masing-masing kita mengkonsumsi berton-ton oksigen. Pertanyaannya adalah: Sudahkan kita mengkonsumsinya dalam rangka memadamkan harapan-harapan dan nafsu-nafsu kita, dan dalam rangka menemukan jalan menuju kebebasan batiniah? Jika belum, berarti kita hanya menghabiskan pemberian alam ini dengan sia-sia. Demikian pula dengan berton-ton makanan yang kita konsumsi. Apakah kita memberi makan kepada tubuh kita agar memperoleh kekuatan untuk mengetahui Realitas Tuhan di setiap keadaan dan manifestasi?
Pemberantasan kebodohan mempakan syarat awal bagi pencerahan. Jika tabir ini tidak dihilangkan dalam hidup ini, ia akan dihilangkan pada saat kematian. Pada hari kebangkitan "tak ada seorang pun yang dirugikan" karena beramal tak mungkin lagi dan setiap kita akan bertanggung-jawab terhadap amalannya masing-masing. Waktu dan gerak akan dibekukan dan jiwa akan merefleksikan apa yang telah diperbuatnya. Pada saat itu, jiwa akan mengungkap apa yang telah dilukis di atasnya ketika di dunia. Tak ada yang dapat ditambahkan atau dikurangi. Jika seseorang telah menggaungkan suara hati yang mumi, di kehidupan nanti suara ini akan selalu terdengar di surga Allah. Sebaliknya jika jiwa ini serupa disket rusak, penuh dengan kesombongan, kebodohan, dan kebimbangan, suara itu akan terdengar sesuai mutu yang jelek ini. Di Akhirat, jiwa mendengungkan tingkat prestasinya ketika hidup di dunia.
Kunci untuk membersihkan hati dari kebodohan adalah kesadaran spontan terhadap niat. Dengan cara ini niat seseorang selaras dengan amalnya. Ini mempakan stasiun kebebasan melalui penyerahan diri dan kehadiran hati. Inilah tauhid dan ikhlas.
Milikilah keinginan untuk mati, maka kamu akan hi-dup! Milikilah keinginan untuk bersedekah, maka kamu akan mendapatkan apa yang kamu ingin sedekahkan itu. Di balik semua keragaman ini, ada satu kesatuan. Setiap orang mengandung kesan kromosom yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang mengatur Seluruh alam. Inilah "aku" yang sesungguhnya. Alquran ada dalam diri kita, namun untuk mendapatkannya kita harus menceburkan diri dan larut di dalamnya hingga kita menyadari bahwa segala sesuatu telah ditetapkan, bukan diselesaikan, karena sebenamya memang tidak ada masalah yang harus diselesaikan. Tak ada tuhan selain Allah! Ketahuilah hakikat hidup maka kamu akan mendapatkan kebebasan. Sebenarnya kita sendirilah yang membuat sangkar-sangkar kita, jadi hanya kita yang dapat membukakan sepenuhnya, dengan cara mengubah amal-amal kita kepada amal yang ikhlas dan bebas, tanpa rasa takut dan dengan penuh keberanian.
Apabila seseorang memahami sepenuhnya suatu ayat Alquran, maka berarti ia telah memahami seluruh Alquran. Seluruh perumpamaan (amtsal) dalam Alquran mendengungkan kebenaran, maka mengapa tidak menceburkan diri dalam Kebenaran? Kita dan tempat bercebur kita tidaklah terpisah. Surah Yasin menekankan bahwa mereka yang telah memperoleh surga disibukkan oleh sebuah urusan yang murni. Mereka tidak memiliki urusan kecuali pemuasan diri sendiri. Dalam Alquran, perumpamaan digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilukiskan, karena bahasa bergerak dalam alam dualitas, alam sebab-akibat, alam isi dan wadah. Perumpamaan secara mengesankan dapat membawa seseorang berkeliling menaiki perahu hikmah ke tepian perenungan, di mana ia harus melemparkan semua kekangan dan melakukan langkah-langkah seperlunya menuju lautan tak bertepi.
Di antara perumpamaan yang sering digunakan berulang-ulang terhadap Surga yang tinggi adalah pasangan-pasangan, buah, ranjang, dan naungan. Segala sesuatu di alam terjadi karena berpasang-pasangan. Penyatuan baru dapat terjadi jika ada pasangan, yang merupakan alasan simbolik untuk pemikahan. Naungan dianggap sebagai sebuah aspek alam yang sangat diinginkan, khususnya di lingkungan padang pasir, karena ia menawarkan kelapangan hati dan tempat perlindungan diri yang aman. Kapan pun kita menemukan ayat-ayat tentang berbaring di atas ranjang atau bantal, maka makna jenis duduk semacam ini dapat disimpulkan. Bantal tidak memiliki makna dalam dirinya, namun duduk di atas bantal atau berbaring di atas ranjang di bawah naungan, bermakna bahwa seseorang berada dalam keadaan santai. Badan dilupakan hingga tingkat tertentu, sehingga kesadarannya memiliki kesempatan untuk tidak terlalu berodentasi kepada fisik, sehingga ia dapat pergi ke alam makna. Kita menetralkan hal-hal material dan fisik untuk mencapai makna batiniah.
Apa pun yang kita hasratkan hanya isapan jempol dari khayalan kita. Dengan membuat jaringan kita sendiri, kita telah mencurahkan waktu dan energi kita dalam jaring tersebut: "Dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah jaring laba-laba jika saja mereka mengetahui!" (29:41). Jika seorang pencari ilmu yang ikhlas mampu meraih apa pun yang ia inginkan dalam hidup ini, apa pun bentuknya, pada akhirnya ia akan sampai ke sebuah titik di mana ia sudah tidak menginginkan apapun, karena apa pun yang ia inginkan telah tersedia. Setelah perenungan yang sesungguhnya ia akan sampai ke titik tanpa keinginan. la tahu apa pun yang ia inginkan telah disediakan untuknya, semua buah-buahan yang membuatnya merasa lapar, telah ada di sana, dan akibatnya ia tidak memiliki keinginan apa pun lagi. Inilah makna gambaran tentang kepuasan di Taman Surga.
Perintah-Nya sangat sederhana. Hanya jadilah (kun), maka seluruh alam akan terwujud (fa yakun). Ilmu dan kepuasan terkandung di dalamnya. Dalam lahir maupun batin yang ada hanyalah rahmat dan keberkahan. Jika seseorang mencari keharmonisan dan keberkahan lain, hal ini karena pandangannya yang menyimpang, karena jaringnya yang telah memisahkan dirinya dari daya jangkau jaringnya,, Keadaan Surga yang tinggi ini damai, tenteram, bahagia dart' puas terus-menems, kedamsstian yang telah dijanjikan oleh Tuhan Maha Pemurah. Dan Allah Maha Mengetahui.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar