Dengan Nama Allah Yang Maha
Pemurah Maha Penyayang
Ayat 1-10
يس
1. Yasin
وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
2. Demi Alquran yang (penuh)
hikmah
Yasin merupakan salah satu julukan
yang diberikan kepada Nabi Muhammad. Yasin juga singkatan dari "ya
insan", yang berarti "hai manusia". Surah ini juga ditujukan
kepada penduduk Anthakiyah yang kepada mereka Nabi Isa mengirim beberapa
utusan. Istilah "keluarga Yasin" berarti keluarga Nabi Muhammad
(ahlulbait). Surah ini diawali dengan seruan kepada manusia yang ingin
mengetahui, yang ingin mengikuti Nabi, dan yang memiliki ikatan langsung dengan
risalah kenabian.
إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
3. Sesungguhnya kamu salah seorang
dari rasul-rasul
Ayat ini ditujukan kepada Nabi
Muhammad. Risalah para rasul adalah risalah tauhid. Sumber risalah ini adalah
Dia Yang Esa, meskipun para rasul yang diutus dari sumber ini banyak: "dan
kamu, Muhammad, salah seorang dari rasul-rasul." Karena Nabi Muhammad
adalah rasul terakhir, risalahnya mencakup semua risalah sebelumnya. Hal ini
ditegaskan Alquran, "Kami tidak menghapuskan suatu ayat atau menjadikannya
terlupakan tanpa mendatangkan (ayat lain) yang lebih baik darinya atau yang
sebanding dengannya" (2: 106).
Sebagai manusia normal yang selalu
memperoleh pengalaman, setiap kali kita mendapatkan pengalaman baru, biasanya
pengalaman baru ini lebih baik, lebih kompleks, dan lebih luas cakupannya
dibanding pengalaman sebelumnya. Seolah kita sedang berjalan dalam gerak
perkembangan yang terus maju dalam dimensi waktu, namun bukan dalam pengertian
(evolusi) Darwin. Secara biologis, kita bukanlah berasal dari kera, tetapi kita
berasal dari yang hina, sel sperma, kemudian berkembang menjadi makhluk yang
paling rumit. Ini merupakan pola perkembangan yang melekat dalam sejarah
manusia baik perorangan maupun kolektif.
Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi
Muhammad berasal dari keturunan para Nabi masa awal yang menyampaikan dan
mengamalkan risalah Tuhan secara sangat sederhana. Lebih dari satu hadis yang
mengabarkan kepada kita tentang jumlah nabi dan rasul yang mencapai 124.000.
Pada waktu yang berbeda-beda di berbagai negara, hadir seorang nabi. Maka
kemudian manusia berubah, ke arah yang lebih mumi dan lebih jernih hatinya.
Situasi tempat para nabi ini tinggal umumnya lebih kondusif untuk menempuh
jalan rohani ini.
Sebagai risalah akhir, Alquran
mencakup, menggantikan, dan menghapus semua risalah sebelumnya. Kitab ini
menyediakan bagi manusia sebuah model yang sempuma (yaitu Nabi). Meskipun Nabi
Muhammad berasal dari bangsa Arab, namun ia pemimpin sekaligus penutup seluruh
rasul sebelumnya. Sebagai rasul terakhir, maka risalahnya bersifat universal,
terbuka untuk semua dan dapat diterapkan oleh setiap orang, di mana pun dan
kapan pun.
عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
4. (yang berada) di atas jalan
yang lurus
Masih ditujukan kepada Nabi, Allah
berfirman, "Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang jelas, lurus, dan
benar." "Jalan lurus" (ash-shirath al-mnstaqim) adalah
jarak terdekat antara dua titik, antara subjek dan objek, antara manusia dan
Allah. Jalan ini benar karena ia terbentang antara manusia dengan apa yang
selalu ia cari, yaitu Tuhan Mahawujud Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Pemahaman tauhid merupakan jalan lurus, namun tauhid tidak boleh hanya
dijadikan bahan kajian ilmiah semata. Manusia harus menempuh jalan Islam,
melalui iman menuju amal kebajikan (ihsan), untuk memperoleh pengetahuan
tauhid, yang melaluinya ia dapat menyelam ke dunia yang penuh makna.
Jika tujuan tauhid tidak selalu
hadir dalam pikiran orang-orang muslim, berarti keislaman mereka tipis dan
luntur karena tergoda pada jalan yang menyimpang. Masjid menjadi kosong (dari
jamaah) atau sekalipun penuh tetapi semu, karena kebanyakan yang datang sekadar
formalitas belaka. Fenomena ini banyak dijumpai di sebagian besar dunia Islam,
karena jalan (tauhid) ini tidak lagi mumi untuk mengingat Allah, atau mengenal
Allah. Di banyak wilayah Islam, Islamlah yang dipuj'a dan disembah, bukannya
Allah. Padahal, Islam hanyalah alat untuk mencapai Allah, bukan tujuan itu
sendiri.
Kita semua mencintai hal yang kekal
dan mutlak. Adakah orang yang tidak ingin hidup kekal, melewati kehidupan ini
dan melanjutkan hidup di alam kemudian? Ini berarti, kita semua mencintai Zat
Yang Mahahidup. Kecintaan terhadap Allah, oleh karenanya, telah ada di hati
kita, namun kita dipalingkan, kita berdalih, "Tidak sckarang, besok atau
tahun depan, setelah saya menyelesaikan tugas ini dan itu." Kita
menyalahkan orang lain karena kekurangan waktu atau karena masalah lainnya.
Sebenarnya diri kita sendirilah yang harus disalahkan.
Ilmu Allah telah dituliskan, baik di
kehidupan ini maupun selanjutnya, maka mengapa tidak bergerak rnenuju
kepadanya, selagi kita masih mampu? Kita akan berada pada keadaan tersebut
nanti, setelah merasakan kematian, maka mengapa tidak mencoba menemukan
maknanya di kehidupan ini, selagi hal ini masih berrguna untuk kita?
تَنزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ
5. Sebuah wahyu yang diturunkan
dari Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang
Karena kita berpijak ke bumi sesuai
hukum gravitasi, maka dengan sendirinya kita menganggap sesuatu yang lebih
mulia dan lebih hebat, pasti berada di tempat yang "lebih tinggi", ia
haruslah melebihi rintangan-rintangan alam yang menghalangi kita. Karenanya
manusia memandang risalah Allah "turun" dari atas, terefleksi dalam
kata yang diterjemahkan sebagai "yang diturunkan", karena tanzil secara
harfiah berarti "turun". Bukan Allah yang tinggi atau rendah: hanya
ada satu Allah, dan Dia Swt. tak rnendiami tempat mana pun. Sedangkan manusia
bersandar kepada bumi, makanan, dan udara. Kata "bumi" dalam bahasa
Arab adalah ardh, yang juga berarti "sesuatu yang diaduk".
Karenanya kita di dunia ini bertugas mengaduk bumi dengan cara yang benar untuk
mengeluarkan isi kandungan bumi, sehingga dihasilkan daripadanya makanan.
Dengan demikian diharapkan akan timbul dalam dirinya sikap terpuji, rendah
hati.
Karena kata "wahyu" (tanzil)
berarti "sesuatu yang diturunkan", tentu "wahyu" ini
bersifat hebat dan luar biasa, karena berasal dari Yang Mahaperkasa ('Aziz).
Wahyu ini juga mengandung rahmat di dalamnya, karena ia berasal dari Dia Yang
Mahakasih, ar-Rahman. Ar-Rahman adalah sifat-Nya yang memberi rahmat
kepada seluruh makhluk, rahmat yang universal, baik kepada mereka yang beriman
maupun tidak, seperti hujan yang menyiram semuanya. Rahmat-Nya menaungi segala
sesuatu, baik maupun jahat, karena ini telah menjadi ketetapan Allah. Maha
Penyayang, ar-Rahim, merupakan bentuk mubalaghah dari ar-Rahman.
Kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Namun ar-Rahim
maknanya lebih khusus, mempengaruhi individu-individu tertentu dengan cara yang
lebih kuat tetapi lebih terbatas. Segala sesuatu berada di bawah naungan rahmat
ar-Rahman.
Ambil contoh ular berbisa. Dalam
sudut pandang manusia, makhluk ini menakutkan dan mengancam kehidupan.
Sekalipun demikian, ia masih berada dalam wilayah rahmat ar-Rahman. Jika
seseorang digigit ular, peristiwa ini masih dalam wilayah rahmat ar-Rahman;
namun ketika orang yang digigit ular itu berteriak "tolong!" kepada
temannya, kebutuhan terhadap rahmat diperkuat dan ditekankan. Pertolongan
pertama yang diberikan terhadap gigitan ular tersebut, oleh karenanya, bersifat
khusus dan berada dalam wilayah rahmat ar-Rahim.
Jika kita mengetahui bahwa Allah ar-Rahman
mengatur setiap kejadian dalam alam ini, maka kita akan memahami bahwa musuh
atau kesulitan memang sengaja diciptakan demi kebaikan kita. Dari sudut pandang
ini, sifat Rahman lebih tinggi dari sifat Rabim, karena sifat Rahman
meliputi semua makhluk. Karena itu, ketika kedua Nama Tuhan ini disebutkan, ar-Rahman
selalu disebut lebih dulu dari ar-Rabim. Ada pula cara lain untuk
memahami sifat ar-Rahim. Bentuk isim fa'il ini menunjukkan sifat
yang abadi. Berarti, ar-Rahim beibeda dengan ar-Rahman karena ke-rahim-an
Allah kepada orang mukmin tidak hanya dikhususkan di dunia ini namun terus
diberikan juga di akhirat.
لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
6. Agar kamu memberi peringatan
kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pemah diberi peringatan, karena itu
mereka lalai
Risalah kenabian diwahyukan untuk
mengingatkan agar waspada terhadap hal yang tidak kondusif bagi penyucian hati.
Kata andzara ("memberi peringatan") dalam ayat ini merupakan
bentuk kata kerja transitif dari nadzara yang asalnya berarti
"bersumpah". Bersumpah berarti melakukan tindakan tegas untuk
mencegah kejadian-kejadian yang tidak kondusif. Kata qawm dalam ayat ini
diartikan sebagai "suatu kaum", yang berarti sebuah atau sekelompok
masyarakat yang dihubungkan oleh suatu ikatan persamaan, seperti bahasa,
peribadatan, atau gaya hidup.
Bangsa Arab sebelum Muhammad tidak
memiliki seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Banyak orang Nasrani dan
Yahudi yang hidup di tengah-tengah mereka, yang dikenal sebagai "Ahli
Kitab". Namun bangsa Arab ini tidak memiliki seorang rasul yang langsung
berasal dari kalangan mereka, dari budaya mereka, untuk memberi kabar gembira
dan peringatan. Kaum yang tidak diberi peringatan biasanya lalai, lupa, dan
berada dalam keadaan lupa (ghaflah). Orang yang lalai, perhatiannya
terpaku pada hal yang kurang penting dari yang seharusnya. Ia dapat diumpamakan
dengan orang yang sedang menunggu kereta, lalu tiba-tiba tertarik pada sebuah
poster yang terpampang sampai akhirnya ketinggalan kereta. Ia penuh perhatian
kepada hal yang kurang penting dibandingkan dengan tujuan yang harus ia
perhatikan. Keadaan lalai yang dimaksud Alquran pada ayat ini adalah kurangnya
perhatian manusia kepada Allah. Ia justru memperhatikan hal lain, bukannya
memusat-kan perhatian kepada Sang Penciptanya. Jadi ia dilalaikan oleh alam dan
makhluk yang mendiami alam.
Kaum yang dimaksud oleh ayat ini,
memusatkan perhatiannya ke arah yang salah, sehingga mereka tidak memperhatikan
peringatan. Baik peringatan maupun pengetahuan telah melekat dalam diri
manusia, namun suara keduanya terhalang oleh kebiasaan-kebiasaan yang
bertentangan dengan petunjuk Ilahi. Manusia menjadi terbiasa dengan
kebiasaan-kebiasaannya dan merasa nyaman dengannya, karena pengulangan
merupakan aspek keabadian yang juga merupakan salah satu sifat Allah.
Sifat-sifat Allah meresap ke semua zat dan situasi dalam alam ini. Pada
manusia, ia menyadari bahwa dirinya memiliki pilihan antara menyalurkan
kekuatan sifat-sifat (Tuhan) ini kepada hal yang akan mendatangkan cahaya
ataukah menyalurkannya kepada khayalan tentang hal-hal yang fisik dan materi
sebagai tujuan hidup.
Di antara musuh terbesar manusia
dalam hidupnya adalah kebiasaannya, sekalipun kebiasaan itu baik. Tahapan
akhir, seorang pencari jalan cahaya dan pengetahuan Ilahi, tercapai tatkala ia
meninggalkan semua kebiasaanya, termasuk kebiasaannya mengharapkan ilmu laduni.
Atas berkat rahmat Allah, saat yang dinanti datang kepadanya ketika hatinya
menghindari kegiatan duniawi menuju kemenangan akhir berupa penyerahan diri
secara total kepada Allah. Tahap ini hanyalah bagi orang yang telah benar-benar
siap, yang tidak lagi memiliki harapan lain dalam hidup ini. Ia tidak lagi
berharap untuk "melihat" atau "ber-temu" Allah; yang ada
dalam pikirannya hanya Allah, karena berpikir bahwa dirinya sedang mendekati
Allah pun merupakan bentuk kecil dari menyekutukan Allah.
Meninggalkan kebiasaan itu penting
agar kita sampai kepada kesadaran abadi, menerima apa pun yang terjadi, yakin
bahwa kita dapat menanganinya dengan baik, percaya bahwa Allah akan menunjukkan
untuk menyelesaikan keadaan tersebut. Orang yang telah mencapai tahap ini, yang
merupakan tahap penyaksian (syahadah), ticlak lagi menghabiskan banyak
waktu untuk memperkirakan dan menanggulangi situasi yang dihadapinya.
Tujuan risalah Alquran, sebagaimana
tujuan alam, adalah membuat manusia mampu keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Secara fisik, seorang bayi tinggal dalam kegelapan rahim selama sembilan bulan
hingga sampai ia dikeluarkan ke dunia yang terang. Kebiasaan hidup dalam
kegelapan membuat sang bayi menangis ketika dilahirkan. Persis seperti manusia
yang tidak menyukai perubahan, karena tidak pemah berubah merupakan lapisan
bawah yang melandasi semua perubahan dalam alam. Kaurn yang dimaksud dalam ayat
ini secara fanatik berpegang kepada tradisi nenek moyangnya. Tradisi budaya dan
suku-suku di Arab masih tetap dan tidak berubah-ubah untuk waktu yang lama,
jika orang dapat menyebutkan sejak kapan dimulainya kehidupan, sejak itulah
mereka telah memiliki budaya. Di antara budaya itu adalah perbuatan-perbuatan
asusila dan tak berprikemanusiaan. Ajaibnya, dari kalangan mereka justru muncul
kedamaian dan cahaya terang-benderang, di tengah-tengah kegelapan yang parah
ini, justru muncul manusia sempuma.
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا
يُؤْمِنُونَ
7. Sesunggubnya perkataan
(Allab) telah terbukti kebenarannya kepada kebanyakan mereka, (namun) mereka
(tetap) tidak beriman
Benarlah bahwa ketentuan Allah
mempengaruhi segala sesuatu. Mereka dalam keadaan sakit; kesakitan,
penderitaan, dan kekacauan akibat kebodohan (jahiliah). Semua kesusahan manusia
muncul akibat kebodohan. Jika seseorang sakit atau ditimpa kemalangan, kemudian
orang lain menjelaskan penyebab penderitaan tersebut, maka orang yang menderita
itu sedikit-banyak terobati. Banyak kesusah-an dirasakan ringan ketika orang
yang bersangkutan mengetahui sebab-sebab terjadinya. Pengetahuan mendatang-kan
keyakinan dan keamanan, dan lebih jauh lagi membuat hati damai.
Tujuan hidup manusia adalah
menghilangkan kebodohan. Pengetahuan telah ada padanya. Pengetahuan berasal
dari sifat Allah al-'Alim, Maha Mengetahui. Sifat ini selalu ada, maka
tugas manusia tinggallah melepaskan kebodohan. Pengetahuan Tuhan (al-'ilm
al-laduni) telah ada pada kita, dan untuk sampai kepadanya, kita harus
mempelajari ilmu syariat dan ilmu akhlaq, yang kesemuanya didasarkan atas
perilaku kenabian Nabi Muhammad.
Cara ibadah Nabi, seperti sujud,
berasal dari sifat dasarnya (fitrah). Dengan mengikuti jejaknya, kita ingin
memusatkan diri pada upaya penyempumaan fitrah untuk memperoleh pengetahuan
Ilahi tersebut, karenanya kita meneladani perilaku lahiriah beliau sedekat
mungkin. Perilaku lahiriah tersebut bukanlah tujuan; ia hanya diperlukan untuk
memperoleh tujuan batiniah, agar manusia dapat disatukan (antara aspek lahiriah
dan aspek batiniahnya). Jadi dari aspek batiniah ia memiliki kehidupan, cahaya,
dan kecinta-an terhadap Nabi Muhammad, sedangkan dari segi lahiriah ia
mengikuti perilaku (sunah) Nabi.
Kaum yang digambarkan dalam ayat
ini, tidak percaya dan akibat kelalaiannya ini mereka gagal memperoleh
pertolongan. Karena pilihan mereka sendiri yang sering tidak hati-hati, mereka
tertutupi oleh kebiasaan mereka sendiri, akibatnya, mereka menjadi bodoh dan
ditimpa malapetaka. Iman, bagaimanapun, memberikan rasa percaya yang positif
yang menjadikan seseorang mampu menyadari bahwa mes-kipun ia sekarang bodoh,
pada akhirnya ia pun akan sampai kepada pengetahuan bahwa yang ada hanya Yang
Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dan meski ia tidak terialu puas dengan keadaan
tertentu, ia pun akan sampai pada titik puncak kebebasan dari semua kegelisahan
dan penderitaan yang dialaminya akibat kebodohan tersebut. Jalan Iman
mengantarkan kepada keyakinan yang selalu bertambah.
إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلَى
الأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ
8. Sesungguhnya kami telah
memasang belenggu di leher mereka hingga ke dagu sehingga kepala mereka
tertengadah
Belenggu kebodohan adalah
pengingkaran terhadap iman dan perangkatnya, dan kelalaian mereka yang
terus-menerus menyebabkan kekafiran. Belenggu diciptakan oleh harapan-harapan
subyektif dan egois yang memerangkap dalam kejumudan, lehemya dibuat tak dapat
bergerak karena belenggu ini. Manusia tidak dapat hidup tanpa harapan-harapan
namun ia dapat mengarahkan harapan-harapannya ini ke jalan Allah, jalan untuk
mencari sifat Yang Maha-wujud, tanpa mengharapkan balasan.
Leher memungkinkan seseorang
menggerakkan kepalanya sehingga ia memperoleh jangkauan pandangan yang jauh.
Jika leher diikat hingga ke dagu dengan belenggu, kemampuan melihat terganggu.
Demikian pula orang-orang yang ingkar terhadap iman dan perangkatnya, yang
dilalaikan oleh kondisi-kondisi mereka yang tidak berubah, tidak dapat melihat
dengan jelas kepada Yang Mahawujud.
Fitrah dan pikiran adalah kunci
belenggu ini. Tiap pemikiran memiliki sifat-sifat kualitatif, arah, dan
kuantitasnya masing-masing. Orang yang rasional selalu meningkatkan kualitas
dan memperjelas arah pemikirannya, seperti kanal yang menjernihkan sungai. Jika
pemikiran berlebihan, maka pemikiran ini akan meluap tak terbendung dan
mengakibatkan kerusakan.
Belenggu harapan dan cinta terbentuk
seiring kehidupan manusia. Semakin terikat harapan dan cinta ini pada kebiasan
buruk seseorang dan semakin terpola mapan, semakin kita tahu orang semacam ini
tidak memiliki kekuatan. Kesombongan menunjukkan rasa sangat tidak aman. Ketika
seseorang terlihat terlalu percaya diri, sebenarnya ia sangat lemah dan
bimbang. Kemungkinan jatuhnya dalam waktu dekat semakin besar. Alquran
mencontohkan tentang tuntutan sombong setan. la menunjukkan kesombongannya
ketika mengklaim bahwa ia terbuat dari api. Ketika Allah menciptakan Adam dari
tanah liat dan air, maka setan menganggap, "Saya lebih baik darinya".
Pendapatnya yang menyombongkan diri sendiri ini menyebabkan kehancurannya.
Contoh paling jelas fenomena ini
pada manusia terlihat pada raja-raja yang lalim. Mereka terlihat begitu kuat
dan sangat berkuasa, namun tiba-tiba mereka meluncur dari apa yang terlihat
"sangat berkuasa" ke "tiada kuasa" sama sekali, semakin
dekat mereka pada kehancurannya, semakin sombong perilaku mereka. Setelah
mereka mengetahui rapuhnya landasan tempat mereka membangun kekuasaan dan
datangnya kesadaran ini semua lambat laun akan habis, semakin berpeganganlah
mereka pada kepercayaan diri yang salah ini dan semakin lalimlah mereka. Muslim
sejati, disii lain bagaikan pohon yang ramping; ia memiliki akar yang dalam
berupa iman dan tawakal kepada Allah, sedangkan aspek lahiriahnya selentur cabang-cabang
pohon yang mengikuti arah angin. Secara batiniah ia yakin, dan secara lahiriah
ia lentur dalam jaringan amal saleh dengan semangat Ilahiyah.
Ketika seorang muslim sejati musti
menyembunyikan keimanannya karena hidup atau harta miliknya dalam bahaya, ia
tidaklah lari dari tanggung jawab, karena hal ini berarti munafik. Malah, ia
bersikap tenang dan siap. Saat datang kesempatan untuk mempertahankan agamanya
melawan kekafiran, ia melaksanakannya dengan baik, dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya. Rintangan hidup dan mendakwahkan Islam ini mengharuskannya untuk
pindah (hijrah). Tak ada gunanya terus tinggal di suatu tempat yang jelas-jelas
menuju ke arah kehancuran. Alquran menegaskan hal ini. Jika seseorang tinggal
bersama kaum yang pada akhirnya diazab karena perbuatan mereka, namun orang
yang bersangkutan tidak dapat menyadarkan mereka, atau setidaknya memberantas
perbuatan-perbuatan tersebut, maka ia harus menjauh dari mereka. Mengapa
akhirnya ia harus menjaga jarak dengan kehancuran mereka? Karena jika ia secara
lalai terus tinggal di sana, berarti ia juga pantas menerima azab tersebut.
Leher menengadah bukanlah postur
manusia normal. Seorang manusia normal yang sehat kepalanya merunduk seperti
dalam sujud, karena ia mengakui penghambaan totalnya kepada Yang Mahawujud.
Sebagai pencinta Allah, rasa cintanya itu terungkap pada ibadah lahiriahnya.
وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ
سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ
9. Dan Kami menempatkan sebuah
dinding di badapan mereka dan sebuah dinding (lainnya) di belakang mereka, lalu
Kami tutupi (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
Melanjutkan penggambaran tentang
kaum yang terbelenggu (aghlal) karena mengikuti tradisi lamanya dan
tidak mau menerima risalah, Allah mengabarkan kepada kita bahwa ada sebuah
dinding di hadapan mereka. Kata untuk dinding, sadd, berasal dari sebuah
kata kerja yang bermakna "menghalangi", sadda, sebagaimana
halnya waduk atau bendungan. Di sini Alquran menegaskan bahwa mereka tidak
bebas dalam perbuatannya, tidak spontan, tetapi terbendung dan terkepung. Jadi
penglihatan mereka terbatas: mereka tidak dapat menghubungkan antara keadaannya
pada saat ini dengan keadaannya di masa depan atau antara perbuatannya dengan
akibat-akibatnya. Kapan-pun, manusia selalu menerima seluruh akibat dari
perbuatan dan pemikiran masa lalunya. Jika sekarang seseorang ditimpa
kemalangan, penyakit atau pemikiran negatif, musibah-musibah tersebut pasti
merupakan akibat dari apa yang dilakukannya di masa lalu. Di dunia ini tak ada
tempat pelarian dari sistem aksi dan reaksi.
"Maka kami tutupi (mata) mereka
sehingga mereka tidak dapat melihat." Sebagai akibat putusnya hubungan
mereka (dengan Allah), yang menimbulkan perbudakan terhadap diri sendiri, maka
sebuah tabir (ghisyawah) terpasang di hadapan mereka. Mereka tfdak dapat
memahami hukum yang mengatur situasi yang dihadapinya, sehingga tidak paham apa
yang sedang terjadi pada mereka. Ketika cahaya pengetahuan tidak bersinar, yang
ada hanyalah gelapnya kebodohan: "Allah adalah cahaya langit dan
bumi" (24:35).
Semakin berat timbangan belenggu
cinta, hasrat dan harapan duniawi, semakin terikat orang tersebut dengan dunia
materi. Jika seseorang sangat mencintai mobil dan, demi cintanya itu, ia harus
menanggung beban, membuat janji-janji dan berbohong, maka ia benar-benar
terbelenggu dan terbudaki. Kesombongan biasanya muncul ketika kita membela
diri, akibat tidak adanya landasan kokoh yang mendasari khayalan kita. Semakin
seseorang bertambah sombong, semakin tidak mampu ia menghubungkan antara niat
dan perbuatan masa kini dengan niat dan perbuatan masa yang akan datang,
sehingga akhirnya ia buta dan terasingkan. Arus yang sedang bergerak tidak
terlihat olehnya. Tangan Allah yang mengatur di balik semua ini tidak
dikenalinya.
Bukti kebutaan mereka ini terlihat
pada: pekerjaan yang membosankan, kegelisahan, kebimbangan, dan keresahan
sosial. Kebutaan selalu menyalahkan segala sesuatu kepada orang atau hal lain;
mereka tidak bisa melihat bahwa manusia memperoleh apa yang layak diterimanya,
bukan apa yang diinginkannya.
Persoalan sesungguhnya adalah
menyangkut tauhid, semakin jauh seseorang menempuh jalan tauhid, semakin tumbuh
kesadarannya tentang saling ketergantungan antar-makhluk. Rintangan-rintangan
hanya berlaku bagi orang-orang yang berperilaku tidak sesuai dengan arah
tauhid. Itulah sebabnya, misalnya, ilmu pengetahuan modem yang bercabang-cabang
itu, pada tingkat tertentu bersifat terbatas. Para ilmuwan yang bemsaha
melakukan pendekatan multi-disipliner lebih berhasil, karena mereka merasakan
suatu rangkaian kesatuan, namun mereka juga mempertimbangkan adanya jurang
pemisah dalam rangkaian kesatuan ini, yang tidak berguna oleh mereka. Pada
kenyataannya tidak ada pemisahan.
Apa pun yang kita lakukan di bumi,
mempengaruhi seluruh alam, meskipun pengaruh ini tidak dapat diukur oleh alat
indra kita. Bahkan oksigen yang kita hirup pun mempengaruhi keseimbangan total
oksigen-karbon dioksida. Seluruh sistem alam baik flsik, mental, maupun
spi-ritual benar-benar saling terjalin, saling mempengaruhi. Tidak ada
pemisahan di dalamnya. Kita tidak dapat berkata, "Saya berhenti di sini.
Ini adalah rumah saya, daerdh saya, saya adalah pulau bagi diri saya."
Jika tetangga kita miskin dan sakit, dengan cara apa pun cepat atau lambat
keadaan ini akan mempengamhi kita.
Ada satu kesatuan alam dan ada satu
kesatuan manusia. Kesadaran ini harus selalu hadir dalam hati kita. Hanya ada
Allah. "Dialah Yang Mahapertama, Maha Penghabisan, Mahanyata, dan Maha
Tersembunyi." Dengan kesadaran dan zikir yang terus-menerus, perilaku kita
akan menjadi lebih suci dan berguna dalam perjalanan hidup ini.
وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ
لاَ يُؤْمِنُونَ
10. Sama saja bagi mereka apakah
kamu memberi peringatan kepada mereka maupun tidak, mereka tidak akan beriman.
Tidak ada bedanya apakah seseorang
memberi peringatan atau tidak kepada mereka yang terperangkap pada keadaan ini,
mereka tidak akan percaya kepada Allah dan tidak menyadari bahwa tujuan hidup
adalah untuk mengenal-Nya. Begitu keras kepala dan kakunya mereka dalam menolak
risalah sehingga tidak pemah menyadari bahwa kebodohan ini ditimbulkan oleh
dirinya sendiri dan hanya dapat dihilangkan dengan tunduk, percaya dan
mengikuti jalan yang membuka pintu ilmu pengetahuan.
Jika kesadaran dan pandangan manusia
seluruhnya tertutup oleh batasan-batasan yang diciptakannya sendiri dan
harapan-harapan yang sempit serta meremehkan apa yang datang kepadanya, maka
pesan yang jelas berupa peringatan bahwa ia berada dalam kesesatan dan melawan
dirinya sendiri tidak akan sampai kepadanya. Peringatan bahwa ia telah
menyekutukan Allah dan telah menyembunyikan kebenaran, tidak akan menyentuh
hatinya. Berhala-berhala dapat dengan mudah dilenyapkan namun berhala-berhala
hati, pikiran, ketidakamanan, reputasi, keangkuhan, jabatan, kesombongan, cinta
kekuasaan, dan lain-lain, lebih sulit dihapuskan.
Ketika seseorang membangun dinding
yang membatasi batinnya dengan panggilan Rasul, maka isyarat tidak akan
menembus kesadarannya untuk menumbuhkan benih iman. Benih ini telah tertanam,
namun harus disiram dan dipupuk agar tumbuh berkembang. Mereka yang tersesat
seperti ini tidak akan pernah beriman, baik diberi peringatan maupun tidak.
Tidak ada sesuatu yang dapat mengubahnya, mereka tetap tidak sadar. Namun nabi
terus berdakwah, sebagaimana seekor burung yang terinspirasi sepenuhnya untuk
terus bernyanyi. Inilah alasan mengapa kebanyakan muslim takut kepada para
ulama, terlebih lagi kepada para rasul dan nabi—semoga Allah memberi
keselamatan kepada mereka semua—karena semua orang yang telah sepenuhnya
memperoleh pengetahuan Kebenaran telah ikhlas dalam tekadnya untuk menyampaikan
risalah, baik diperhatikan maupun tidak, di bawah ancaman kematian sekalipun.
Ayat ini memerintahkan Nabi dan
secara luas semua pengikutnya untuk berdakwah dan memberi peringatan kepada
orang-orang ini tanpa perlu merasa kecewa. Kekecewaan tak akan mempengaruhi
rasul karena ia diangkat oleh Allah. Berdakwahlah di jalan Allah (fi sabil
Allab) tanpa kekerasan atau penyerangan, dengan hati yang lembut, cara yang
baik, tanpa mengharapkan upah apapun. Karena bagaimanapun ini semua untuk kepentingan
dirinya sendiri, karena balasan melekat dalam amal itu sendiri. Balasannya
adalah kebebasan; karena pekerjaan ini berasal dari suatu keadaan berupa
penyerahan diri dan kedamaian. Hanya setelah memperbaiki diri sendiri bamlah
seseorang dapat mulai memperbaiki orang lain.
Ayat 11-20
إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَن
بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
11. Kamu hanya memberi peringatan
kepada orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah walaupun ia tak dapat melihat-Nya, maka berilah ia kabar gembira
berupa ampunan dan pahala yang mulia.
Ayat ini merupakan perintah khusus
kepada Nabi Muhammad, namun ayat ini juga berlaku kepada setiap orang yang
menyeru manusia kepada jalan Allah (dakwah). Orang hanya dapat memperingatkan
orang-orang yang mau meng-ikuti peringatan atau zikir kepada Allah. Seseorang
hanya dapat memberi peringatan kepada mereka yang mengikuti dan memperhatikan,
mengingat apa yang telah ada dalam diri mereka sebelumnya, sebelum adanya
makhluk, serta menyadari makna dan tujuan pencipataan makhluk, yang telah
menyatu dalam diri mereka.
Orang-orang yang berzikir
digambarkan pada bagian lain Alquran sebagai orang-orang yang memikirkan
penciptaan alam ini. Makna dari ciptaan, sebagaimana menjelma secara lahiriah,
terdapat dalam hati manusia; melalui perenungan terhadap alam, maka zikir
sejati terjadi. Zikir berarti pengetahuan sebelumnya terhadap suatu hal; ketika
kita berkata, "Saya ingat dia", berarti kita pernah mengenal orang
tersebut dan sekarang kita mengingatnya kembali. Demikian pula pengetahuan
Allah, ia telah ada dalam hati kita, hanya saja kita tidak mengingatnya.
"Ingat" (,dzikr)
dalam ayat ini bermakna khusus, yaitu Alquran, karena Alquran merupakan manifestasi
dari zikir. Peringatan terdapat di semua kitab samawi, namun peringatan yang
paling menyeluruh dan tak akan pemah diselewengkan hanyalah Alquran. Alquran
merefleksikan kebenaran wahyu sehingga manusia dapat menemukan kebenaran
primordial yang telah terpatri dalam jiwanya. Maka manusia harus memadukan
antara wahyu tersebut dengan amal. la tidak dapat hanya berkata, "la harus
mengikuti peringatan" (tanpa ia sendiri mempraktekkannya). Melalui
peringatan ini, ia mulai sadar, karena zikir yang hanya tertuju kepada Allah
akan mendatangkan ketenteraman, yang memungkinkannya melakukan perenungan.
Perenungan pada gilirannya
memungkinkan gema wahyu Yang Mahawujud terdengar. Rahasia penulis wahyu telah
ada di sana. Untuk menemukannya kembali, seseorang harus memasuki gerbang Islam
dan Iman serta menempuh jalan zikir sambil memadukan antara amal dan niatnya.
Ketika seseorang berusaha mengingat Kebenaran dalam dirinya, berarti ia
berhenti mengingat hal lainnya. Dengan kata lain, siapa pun yang mengingat
hakikat dirinya, tak akan menghadapi dualitas sebagaimana yang kita alami di
dunia ini. Risalah Alquran tidak dapat dipisahkan dari Rasulullah karena
melalui beliau Alquran datang, dan beliau sendirilah yang memberikan contoh
mengamalkan Alquran. Risalah dan rasul menunjukkan kepada kita jalan aman dan
mumi dan menuju Tuhan.
"Dan yang takut kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah walaupun ia tidak melihat-Nya" bermakna ia takut
melang-gar hukum. Khashyah berarti ketakutan positif melakukan sesuatu
tanpa niat yang ikhlas, atau takut berlaku sombong yang akan mengakibatkan
kehancurannya. Khashyah berarti takut kembali ke keadaan mengingat hal
selain Allah. Khashyah berarti pula waspada agar perbuatannya tidak
mengarah kepada sisi negatif dari rahmat Allah yang mencakup segala hal. Makna
rahmat baru dapat dimengerti sepenuhnya setelah mengalami penderitaan.
Setan (syaithan), sumber
penderitaan, dapat juga menjadi seorang kawan. la juga salah satu hamba Allah
yang melaksanakan tugas licik dan menakutkan dengan membuat kesulitan. Namun
hal ini tidak berarti manusia harus menolong setan. Manusia harus selalu
waspada, karena ia tak pernah tahu kapan ajalnya akan tiba. Setan melakukan
tugasnya ini dengan terus menjerumuskan kita. Tujuan semua penderitaan adalah
menanggalkan upaya pengekalan diri di dunia ini sehingga meningkatkan
perkembangan rohani manusia.
Sekarang adalah waktu dan situasi
yang tepat untuk mengambil hikmah dari semua penderitaan ini. Ayat ini
menegaskan bahwa nabi hanya dapat memberi pcringatan kepada mereka yang selalu
berusaha berada dalam kesadar-an, yang telah cukup menderita, yang tahu di mana
dan bagaimana mereka telah melanggar hukum dan, karenanya, diberi musibah,
sehingga mereka takut melanggar larangan-larangan Allah dan terputus dari
keridaan Allah. Nabi Muhammad bersabda, "Apa yang halal telah jelas dan
apa yang haram juga telah jelas. Dan di antara keduanya ada daerah samar, maka
jauhilah yang samar itu!" Jika manusia ragu terhadap suatu hal, maka ia
harus menghindari hal tersebut sebisa mungkin sampai ia yakin mengenai hal
tersebut.
Kata "tidak terlihat" (ghayb)
dalam ayat ini dipahami dengan dua cara. Yang pertama, seseorang tidak
mengetahui dengan jelas larangan-larangan Allah namun ia menerima kebenarannya.
Kedua, gaib berarti alam gaib. Di samping alam fisik yang dapat dirasa oleh
indra kita, terdapat pula alam kehidupan di luar jangkauan penglihatan kita.
Kedua alam ini saling berhubungan.
"Maka berilah ia kabar gembira
berupa ampunan"; setelah diberikan peringatan positif, manusia lalu diberi
kabar gembira. Kata "kabar gembira" (busyra) secara etimologis
berhubungan dengan tiga kata lain yang berarti "menguliti (basyara)",
"lapisan terluar (basyarah)", dan "manusia (basyar)".
Kita dapat menafsirkan bahwa peringatan menguliti lapisan terluar manusia agar
ia mampu membuka rahasia saling hubungan, kesatuan dan kesempurnaan ciptaan.
Dari sudut pandang subyektif kita
mungkin khawatir kalau-kalau kita secara kurang hati-hati keluar dari naungan
perlindungan Yang Maha Pemurah. Kabar gembira ini menegaskan bahwa hanya ada
satu perlindungan Yang Maha Pemurah; hanya ada pahala yang berlimpah bagi yang
beriman dan menerima kebenaran risalah.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
12. Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apayang telab mereka kerjakan dan jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Segala sesuatunya Kami tuliskan dalam Kitab yang nyata.
Alam semesta ini didasarkan atas
hukum kehidupan dan kematian baik jasmani maupun rohani. Banyak orang yang mati
secara batiniah. Secara lahiriah mereka terlihat hidup namun secara batiniah
mereka mati. Di tempat lain, Alquran mengatakan, "Ikutilah Allah dan Rasul
agar kamu memperoleh kehidupan." Meskipun ayat ini ditujukan kepada makna
hidup (lahiriah), namun ia juga menegaskan bahwa seseorang memperoleh kehidupan
yang cerah secara batiniah apabila kesadarannya telah dibangkitkan secara
keseluruhan. Sekali seseorang telah sadar, kecenderungan-kecenderungan
rendahnya akan melemah.
Berkenaan dengan orang-orang yang
mengorbankan dirinya kepada Allah, yang terbunuh di jalan-Nya, la berfirman,
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah (bahwa mereka) itu mati. Bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya" (2: 154).
Nabi bersabda pada sebuah hadis yang
terkenal, "Manusia itu tidur; ketika ia mati, barulah ia bangun." Di
hadis lain, "Matilah sebelum kamu mati." Dari dua hadis ini kita
memahami bahwa kematian, baik secara fisik maupun kiasan, membebaskan seseorang
dari parameter kesadaran duniawi menuju kepada penyingkapan rahasia kehidupan
yang sejati.
Ketika manusia telah menyadari
hakikat kehidupan dan ketika mata Kebenarannya telah terbuka, maka ia akan
mengetahui bahwa yang ada hanya Allah Yang Mahahidup, Mahakekal. Kesadaran
timbul dalam hidup dengan menyadari hidup secara terus-menerus dan benar.
Mereka yang sungguh-sungguh mencari Allah akan memperhatikan pesan risalah
bahwa tujuan hidup ini adalah untuk memperbaiki dan menyucikan jiwa yang
terbatas (nafs) agar mengetahui refleksi Tangan Allah yang tak terbatas
di balik segala sesuatu.
Catatan "terhadap apa yang
telah dikerjakan dan jejak-jejak ditinggalkan" merujuk kepada perbuatan
manusia. Setiap waktu mengandung jejak-jejak masa lampau untuk diproyeksikan ke
masa datang. Perbuatan kita sekarang, baik maupun bumk, akan terus memberikan
pengaruh kepada kita. Pada sisi lain, setiap waktu adalah saat yang baru.
Pelaksanaan yang ikhlas dari wudu, dalam memuji Allah dan mensyukuri rahmat-Nya
yang tak terbatas, menciptakan suatu keadaan yang di dalamnya kita hadir
sebagai saksi pada saat itu. Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi,
"Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada di hati
orang yang beriman."
"Dan jejak-jejak mereka":
segala sesuatu merupakan sebuah jejak. Kita sendiri adalah jejak Yang
Mahawujud. Ke mana pun kita memandang dan apa pun yang kita lihat, ada jejak
atau tanda Allah. Segala sesuatu berasal dari Allah, ditembus oleh Allah, dan
dipelihara oleh Allah. Segala sesuatu dipenuhi oleh zat Tuhan.
Kata Arab yang diterjemahkan sebagai
"jejak" dalam ayat ini adalah atsar yang berarti "apa
yang ditinggalkan". Kata ini berasal dari kata kerja yang berarti
"menyebabkan, mengakibatkan, mempengaruhi". Melalui perbuatan, kita
meninggalkan banyak jejak dalam perjalanan menempuh hidup, sebagian akan
mempermudah perjalanan hidup orang lain. Bagaimanapun, jika kita meninggalkan
jejak yang tidak lurus, maka orang di belakang kita akan mengikuti jejak yang
tidak lurus ini. Satu ciri harnba Allah ialah jika mereka meninggalkan
tempatnya, tak ada yang ditinggalkannya kecuali wangi parfum.
Setiap kita menghasilkan Kitab
catatan masing-masing. Semakin bertambah Iman dan Islam kita, semakin baiklah
perbuatan kita menghasilkan jejak asli batiniah. Perumpamaannya seperti proses
holografi yang menghasilkan fotografi yang disebut hologram. Setiap bagian
hologram akan menyusun kembali gambaran asli. Demikian pula jiwa (nafs) manusia
adalah sebuah "jejak", salah satu bagian dari Yang Mahawujud.
"Kami catat segala sesuatunya
dalam Kitab yang nyata": segala sesuatu dalam hidup kita telah diperhitungkan,
diukur, dan dicatat dalam sebuah buku. Tak ada yang terlupakan, segala sesuatu
memiliki tempat penvujudannya, dicatat dan akan diputar ulang. Tak ada yang
dapat lari; suatu benda mungkin berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, dari
hidup menjadi mati, dari energi menjadi zat, namun tak ada yang hilang dalam
alam ini.
Salah satu dilema ilmuwan zaman
sekarang adalah konsep ruang yang terbatas, di mana dalam ilmu pengetahuan dan
pemahaman manusia tentang alam dan fenomena-nya, ia harus mengasumsikan suatu
keterbatasan tertentu. Permasalahannya: "Jika ruang ini benar-benar
terbatas, apa yang ada di baliknya?" Konsep tentang keterbatasan tak
mungkin ada tanpa alasan yang mendukung atau yang mendasari ketidak-terbatasan!
Apa pun yang kita amati dan alami berada dalam batas-batas keterbatasan, namun
keterbatasan hanya dapat bermakna jika ia dicakup, diliputi, dan diberikan
defmisi oleh ketidak-terbatasan.
Segala sesuatu dipertanggungjawabkan
dalam "sebuah Kitab yang nyata" (fi imam mubin). Kata Kitab
dapat merujuk ke Alquran itu sendiri maupun manusia yang berilmu pengetahuan.
Kata yang dipakai untuk "Kitab" adalah imam, yang berarti
seorang pemimpin. Berkenaan dengan hal ini, Nabi bersabda dalam sebuah hadis,
"Kamu tidak akan merasakan kematian ideal seorang muslim atau seorang
mukmin jika kamu tidak tahu pemimpin (imam) pada zamanmu." Para ulama
berkata, "Jika kamu ddak mempunyai seorang hamba Allah sebagai gurumu,
maka setan akan menjadi gurumu." Penafsiran lain dari "Kitab yang
nyata" juga merujuk kepada 'Ali ibn Abi Thalib, karena dalam sebuah hadis
yang sangat terkenal, Nabi Muhammad bersabda, "Aku adalah kota ilmu dan
Ali adalah gerbangnya."
"Kitab yang nyata" juga
merujuk ke "buku catatan yang terpelihara baik" (al-lawh
al-mahfuzh) yang berisi rencana penciptaan. Makna ini secara sangat jelas
terdapat dalam surah al-Baqarah (Sapi Betina), ketika Adam mengajar para
malaikat nama-nama benda yang telah Allah ajarkan kepadanya. Adam diperintahkan
melakukan ini karena Adam memiliki ilmu tersebut yang mencakup seluruh
pengetahuan. Sedangkan kekuatan malaikat menyerupai balok energi yang
penyalurannya telah jelas dan terbatas. Sebelumnya, Allah telah memberitahu
malaikat bahwa Dia akan menciptakan seorang wakil (khalifah) di bumi. Karena
malaikat mengetahui kekuatan Allah yang terdiri atas kekuatan mencipta dan juga
kekuatan merusak, mereka memprotes bahwa makhluk (manusia) ini akan membuat
malapetaka dan kerusakan sedangkan mereka senantiasa bertasbih kepada-Nya.
Ketika itulah Allah memerintahkan Adam untuk menunjukkan ilmu pengetahuannya,
"Beritahukanlah mereka nama-nama (benda), ajarilah mereka ilmu yang kamu
miliki!" Ketika itu Adam menunjukkan sifat ketuhanan aslinya (fithrah
mathbu'ah), konsep aslinya. Ketika malaikat mengetahui bahwa pengetahuan
ini sebenarnya pengejawantahan pengetahuan Yang Maha Pencipta, maka mereka
bersujud kepada Adam. Pengetahuan Adam mewakili seluruh situasi alam yang
beragam yang mungkin ada dalam seluruh spektrum alam. Pengetahuan sejati adalah
pengetahuan Ilahi dari Allah. Jadi Adam, manusia pertama, sebagai wadah dari
pengetahuan Ilahi ini juga merupakan "Kitab yang nyata" (imam
mubin).
Alam mulanya adalah laut mati (yang
azali), di mana tak ada fenomena apa pun yang nampak. Ketika itu belum ada
Sifat-sifat, yang ada hanyalah Zat. Dari Zat inilah muncul kekuatan dan dari
kekuatan ini muncullah alam, termasuk makhluk-makhluk pengisi alam. Dari
rangkaian penciptaan ini muncullah kemampuan melihat, berbicara, dan kemampuan
indrawi lainnya pada manusia.
Sepanjang hidupnya, manusia menunjukkan
perbuatan-perbuatan yang diawali oleh proses mental lalu diungkapkan dalam
kata-kata. Dalam tradisi Islam dikenal ungkapan, "Kita adalah makhluk yang
melakukan apa yang kita katakan, mengatakan apa yang kita maksud, dan tidak
mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikiran!" Ini berarti bahwa
manusia mengatakan kebenaran dan bertindak sesuai kebe-naran. Aspek lahiriah
amal-perbuatan dituntun dan dibentuk oleh pengetahuan hukum lahiriah (syariat),
sedangkan aspek batiniah amal-perbuatan dituntun dan dibentuk oleh niat
seseorang, yang mempakan kebenaran yang memotivasi dan tak terlihat (haqiqah).
Apa yang sekarang ini sedang kita tulis dalam buku biografi kita dengan pena
amal kita akan tertinggal sebagai jejak, termasuk perkataan kita pun akan
dicatat.
Akhir (kehidupan di dunia) merupakan
permulaan (kehidupan di akhirat). Jiwa manusia akan terus beresonansi sesuai
getaran dari keadaannya. Apa yang dialami jiwa di kehidupan nanti didasarkan
atas kondisi terakhirnya saat kepergian dari tempat fisiknya, badan. Jika jiwa
tersebut berada dalam Islam yang menyeluruh, Islam yang sejati, maka ia akan
merasakan kenikmatan yang sebanding dengan kualitas Islamnya. Namun jika jiwa
tersebut dipenuhi dengan kesombongan dan sifat-sifat negatif, maka keadaan
buruk inilah yang akan terefleksikan. Untuk alasan inilah, kita berkata,
"Katakan hanya Dia (Yang Maha Esa), lihat hanya Dia, dan jadilah (hamba)
Dia!" Syekh 'Abd as-Salam ibn Mashish, seorang ulama besar Maroko,
berkata, "Ya Allah, selamatkanlah aku dari lumpur ilmu pengetahuan tauhid
dan tenggelamkanlah aku dalam sumber samudra tauhid!"
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلاً أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا
الْمُرْسَلُونَ
13. Dan buatlah sebnah perumpamaan
bagi mereka, penduduk suatu negeri, ketikapara utusan datang kepada mereka
Ayat ini merupakan contoh kasih
sayang ketuhanan (rububiyyab) yang abadi dari Dia Yang selalu memberi
peringatan kepada manusia agar menyadari fitrah asalnya sebagai hamba yang
bertugas menyembah Dia Yang Maha-benar. Setelah kaum ini diberi risalah
universal berupa peringatan untuk mencegah perbuatan dosa, yang menyebabkan mereka
terbelenggu kesombongan, selanjutnya Allah berfirman, "Buatlah sebuah
perumpamaan bagi mereka," seakan kalimat ini saja telah cukup menimbulkan
goncangan kesadaran.
"Buatlah untuk mereka sebuah
perumpamaan (matsal) tentang penduduk negeri," merujuk kepada
peristiwa ketika Nabi Isa mengutus beberapa sahabatnya kepada penduduk
Anthakiyah. Ini dilakukan karena cintanya yang teramat sangat kepada kaumnya,
untuk menunjukkan bahwa jalan yang selamat adalah Islam: "Berserah dirilah
(kepada Allah), gerbang menuju Islam. Hai orang-orang yang yang memiliki beban
berat di pundak, berserah dirilah, agar kamu dapat bebas!" Singkirkan
belenggu cinta, harapan, kesombongan, ketakutan, kegelisahan, dan keresahan.
Kenakanlah kalung bunga berupa kebebasan batin dan penyerahan diri dengan cara
mengubah niat jelek menjadi niat baik dan mengarahkan niat baik menjadi niat
benar (ikhlas karena Allah)!
Ketuhanan bersifat abadi. Itulah
mengapa kita katakan Islam akan menang, karena Islam berarti berserah diri
kepada evolusi dan kesadaran batin. Secara biologis, setiap manusia berasal
dari sebuah sel kecil kemudian berkembang menjadi bentuk yang paling kompleks,
berjalan tegak lurus dengan dua kaki dan indra untuk menyadari ling-kungan
sekitar dan tangan-kaki untuk bekerja dan bergerak. Secara keseluruhan, sebagai
sebuah spesies, manusia, sejak kelahirannya, terus tumbuh dan berkembang menuju
kepada kedewasaan; kita tidak tahu pasti bagaimana hal ini terjadi, namun yang
jelas ada penyebabnya, dan penyebabnya ini harus kita kenali.
Jika Allah menghendaki, maka (Dia
hanya berkata) "Jadilah! Maka jadilah" (kun fayakun). Waktu
tak dapat dirasakan tanpa kehadiran lawannya, non-waktu; maka "Jadilah!
Maka jadilah." Layar yang menjadi latar belakang film, tidak bergerak.
Namun sinar yang dipantulkan pada layar justru bergerak. Gerakan tidak dapat
dikenali kecuali ada latar belakang yang diam. Sebaliknya, diam tidak dapat
dirasakan oleh kita kecuali gerakan dilapiskan ke atasnya. Manusia adalah ruang
antara (barzakb) alam nyata dan alam gaib, karena ia mencakup kedua
aspek ini. "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada
di hati orang mukmin."
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا
فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
74. Ketika Kami mengutus kepada
mereka dua orang utusan, mereka menolaknya, kemudian kami kuatkan (mereka)
dengan utusan yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: Sesungguhnya, kami
adalah orang-orang yang diutus kepadamu!
Inilah contoh penderitaan yang
dialami oleh para rasul. Tugas mereka adalah menyeru manusia kepada jalan Allah
melalui Islam dan Iman, memberi peringatan yang jelas tentang akibat-akibat
perbuatan manusia. Namun sering peringatan mereka didengar oleh telinga-telinga
tuli. Para Nabi dari zaman kapan pun tidak banyak pengikutnya.
Karena dua orang utusan tidak cukup
untuk meyakinkan penduduk Anthakiyah, maka Allah menguatkannya dengan utusan
ketiga, seorang yang bertauhid (muwahid) sekaligus sahabat dekat Nabi
Isa, Simon as-Safi. Sebagaimana halnya ketiga utusan ini diutus ke negeri
tertentu, demikian pula kita menerima risalah dari dalam "negeri"
batin kita, karena masing-masing batin kita diliputi hakikat segala sesuatu
yang kita amati, kita ukur, dan kita pahami secara lahiriah.
قَالُوا مَا أَنتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَا أَنزَلَ
الرَّحْمن مِن شَيْءٍإِنْ أَنتُمْ إِلاَّ تَكْذِبُونَ
15. Mereka berkata: Kamu hanyalah
manusia (biasa) seperti kami. Allab Yang Maha Pemurab tidak menurunkan
sesuatupun. Kamu hanyalah pendusta belaka!
Penduduk negeri yang berada dalam
keingkaran ini mengharapkan adanya fenomena ganjil, sesuatu yang aneh,
menggemparkan dan luar biasa, suatu keajaiban (yang mengiringi kedatangan para
rasul). Maka mereka memprotes para utusan ini, dengan mengatakan, "Tapi
kalian hanyalah manusia biasa seperti kami. Bagaimana mungkin kami menganggap
serius kalian, bagaimana kami tahu bahwa kalian utusan Tuhan Yang Maha Pemurah?
Kalian pasti berbohong! Kami melihat kalian hanya manusia biasa, apa
keistimewaan kalian sehingga mengatakan apa yang kalian katakan itu?"
Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa para utusan ini sebenarnya) wakil
Nabi Isa. Risalah Nabi Isa menyeru berserah diri, meninggalkan ambisi duniawi,
cinta kepada sesama. Dan Allah akan memenuhi janji dan perbuatan-Nya, serta
membawa kalian ke dalam rahmat-Nya, jika kalian mengikuti risalah! Inilah
diantara kemurahan dan kebesaran Nabi Isa yang risalahnya sama dengan para Nabi
lainnya.
Nabi Muhammad tidak mengizinkan
manusia menempatkan diri beliau sebagai sesembahan dan tidak membiarkan manusia
menganggap beliau sebagai makhluk gaib. Beliau selalu mengingatkan manusia
bahwa beliau adalah manusia biasa, yang membedakannya adalah niatnya yang
tinggi dan pengetahuannya yang diwahyukan. la juga makan dan dilahirkan oleh
seorang ibu. Semua ini dimaksudkan agar manusia tidak tersesat. la hanyalah
seorang rasul yang membawa dan menyampaikan risalah; makna risalah tidak dapat
dipisahkan dari sumbemya secara keseluruhan. Sekali manusia meraih dan
merasakan risalah, maka ia telah memperolehnya. Laksana bulan sabit yang kecil
namun terlihat jelas; ia muncul samar-samar di langit senja, awalnya tidak
terlihat, namun sekali manusia melihatnya, maka ia akan merasakan keindahannya;
dan sekali ia melihat satu bulan sabit, seolah ia telah melihat semua bulan
sabit. Pengamatan seperti ini membutuhkan kedalaman fokus, bukan keluasan
pandangan.
Jalan menuju ilmu Allah tidak luas,
tapi dalam. Inilah sebabnya kita sering mendengar para ulama berdoa, "Ya
Allah, tunjukilah kami jalan yang dalam, berilah kami pandangan yang mencakup
segala sesuatu!" Seorang muslim sejati benar-benar berfokus pada Allah
dalam pencariannya. la menginginkan hanya Allah dan berusaha mencapai tujuannya
melalui penyerahan diri secara total dan khusyuk. Para pencinta Allah yang
dilanda kerinduan yang mendalam bersedia meninggalkan apa saja untuk tujuan
ini, tanpa peduli pada hal lain. Cara memulai hal ini adalah dengan percaya
kepada Rasul dan risalahnya.
قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ
16. Mereka berkata: Tuhan kami
mengetahui bahwa se-sungguhnya kami adalah utusan yang dikirim kepadamu
Dalam ayat ini, kata Arab Rabb,
yang bermakna "Tuhan", digunakan karena dalam bahasa Arab kata ini
berarti "Zat yang membimbing manusia menuju potensi puncaknya." Jadi,
para utusan ini menyatakan bahwa mereka telah sampai pada tingkat tinggi
(potensi puncak) ini dan memenuhi persyaratan untuk membawa risalah 'Isa.
Mereka mengatakan, "Tuhan (RabK) kami, Pemelihara kami Yang berkat
kekuatan pengetahuan, kami sampai kepada pengetahuan yang tinggi tersebut. Dia,
Yang membimbing setiap manusia ke titik potensi puncaknya, mengetahui bahwa
kami datang kepada kalian sebagai utusan. Kami hanya mengulangi seruan abadi
yang satu."
وَمَا عَلَيْنَا إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
17. Kami tidak memiliki kewajiban
kecuali menyampaikan (risalah) dengan jelas.
Para utusan datang membawa kabar
gembira dan tanda yang jelas. Namun, kaum ini telah berada dalam kesesatan, telah
tertutupi, dan, karena itu, diazab. Perbuatan mereka telah lama membelenggu dan
memutuskan mereka dari Yang Mahawujud sehingga mereka tidak lagi mampu melihat
keadaan diri mereka sendiri secara jelas. Tetapi para utusan yang membawa
risalah kenabian dapat melihat keadaan ini dan kemana keadaan ini akan
menjerumuskan mereka. Ada sebuah aspek kesadaran yang tidak gampang berubah
seiring berlalunya waktu kecuali dengan cara dramatis.
Utusan (Nabi Isa) hanya bertanggung
jawab menyampaikan risalah apa adanya. Namun penduduk Anthakiyah ini
menentangnya karena mereka telah puas dengan keadaan mereka sendiri. Usaha
manusia untuk memapankan apa yang ada di sekitarnya merupakan akibat dari
fitrahnya sebagai makhluk yang bertradisi. Atas dasar inilah, para ulama mendobrak
tradisi. Hamba yang berada di jalan Allah menyadari batasan kapan ia mulai
dibelenggu oleh harapannya berupa pola berulang yang dibiasakannya, dan betapa
ia sebenarnya hanyalah makhluk dan orang yang terpenjara oleh kebiasaannya yang
telah mendarah daging. Secara alamiah, jika orang yang diperbudak kebiasaan
diperintahkan untuk berserah diri kepada Allah, maka mereka merasa terancam dan
bereaksi untuk mempertahankan kebiasaannya.
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِن لَّمْ تَنتَهُوا
لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُم مِّنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ
18. Mereka berkata: Sesungguhnya
kami bernasib malang karena kamu. Jika kamu tidak menghentikan (seruan ini),
kami akan merajam kamu dan kamu akan mendapat siksa yang pedih dari kami
Dikondisikan hidup di daerah dan
lingkungan yang tandus dan sebagian besamya padang pasir, orang-orang Timur
Tengah benar-benar peka terhadap alam sekitar. Kemunculan berbagai binatang,
khususnya burung, sering dianggap sebagai pertanda buruk. Apa yang penduduk
Anthakiyah katakan kepada para rasul ini adalah bahwa kehadiran mereka
merupakan pertanda buruk dan jika mereka terus menyampaikan risalah, maka
mereka akan disiksa.
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِن ذُكِّرْتُم بَلْ أَنتُمْ
قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
19. Mereka berkata: Kemalangan
kalian adalab karena kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan
(kalian bemasib malang)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas
Para utusan menjawab, menyatakan
bahwa mereka, penduduk Anthakiyah, adalah penyebab kemalangan mereka sendiri
akibat ulah perbuatan mereka. Hanya dengan menyadari bahwa pertanda buruk
terjadi sebagai akibat pengingkarannya terhadap kebenaran barulah seseorang
dapat selamat. Apa yang menghalangi manusia menerima risalah adalah karena ia
telah pergi terialu jauh, melebihi batas-batas kebutuhan dan kemanfaatan,
menjadi, apa yang diistilahkan oleh ayat ini, musrif, berlebih-lebihan.
Para utusan menegur penduduk Anthakiyah ini, "Kalian telah melampaui
batas-batas perilaku yang dibolehkan yang kondusif untuk memahami Tuhan Yang
Mahawujud, maka bagaimana mungkin kalian dapat mengingat-Nya? Situasi yang
berakhir dengan kematian ini merupakan akibat kebodohan kalian sendiri yang
berlebihan." Inilah selubung yang di-ciptakan dengan menggantikan hal yang
nyata atau praktis dengan konsep-konsep dan khayalan.
Kaum yang dimaksud ayat ini menolak
kritik sang utusan tersebut karena mereka tidak ingin dibangunkan dari keengganannya
mengikuti risalah. Bagi mereka risalah kenabian menimbulkan kesusahan. Tujuan
risalah adalah membangunkan manusia dari khayalan yang memuaskan diri. Allah
bukanlah pemboros. Dia tak akan mengutus rasul-Nya kepada kaum yang telah
secara ikhlas menyembah-Nya. Seorang nabi atau rasul tidak pemah diutus kecuali
untuk mengingatkan manusia terhadap Yang Maha-wujud. Oleh karena itu, Allah
berfirman, "Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak
mereka belum diberi peringatan."
Salah satu wawasan yang dibukakan
oleh surah Yasin adalah bahwa manusia menyebabkan malapetakanya sendiri. Dengan
pemikiran, niat, dan amal perbuatan, masing-masing kita menentukan masa depan
kita sendiri. Niat seorang muslim sejati diarahkan hanya untuk menundukkan jiwa
rendahnya. Karena ia menyadari hanya dengan cara inilah ia memperoleh
keselamatan. la telah cukup dibingungkan dengan berlari antara Shafa dan
Marwah, dua bukit di Mekkah tempat jamaah haji bersa'i, yang melambangkan watak
asli pencarian ke mana-mana dari satu benda atau peristiwa ke benda atau
peristiwa lain. Berputar mengelilingi Ka'bah membuatnya pusing sehingga ia
mencium Hajar Aswad (Batu Hitam) dan berlebur diri. Setelah itu ia melaksanakan
dua rakaat di makam Ibrahim. Di sinilah ia berserah diri dalam sujud. Setelah
selesai ibadah haji, dan hanya setelahnya, ia sah berbuat (hal-hal yang
dilarang selama ihram/haji) dengan catatan ia tetap bertanggung jawab terhadap
keadaan hidupnya. la adalah pengarang kisah hidupnya sendiri dengan mewujudkan
niatnya ke dalam pemikiran dan perbuatannya.
Alam adalah sistem simbiosis yang
dibangun dengan keseimbangan yang sempuma. Alquran diturunkan kepada manusia
agar memahami kode keadilan dan keseimbangan Ilahi dalam kehidupan, di setiap
peristiwa dan sepanjang masa. Hanya manusia sendirilah yang menentukan apa yang
akan terjadi pada dirinya sesuai niat dan perbuatan yang dihasilkannya.
Meskipun demikian rentang waktu kehidupan yang berdenyut dalam jantungnya
tidaklah berada dalam kekuasaannya. Apa yang manusia usahakan akan dirasakan
segera akibatnya sesuai hukum alam. Jika manusia yakin bahwa semua situasi yang
ada di alam saling berhubungan dan semuanya berjalan sesuai hukum Ilahi, maka
ia akan melihat Nama dan Sifat Allah dalam alam ini. Hal ini akan mengantarkannya
kepada perenungan tentang Allah yang tembus waktu dan ruang.
وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا
قَوْمِ اتَّبِعُواالْمُرْسَلِينَ
20. Dan dari ujung kota datanglab
seorang laki-laki sambil bergegas-gegas ia berkata: Hai kaumku, ikutilah para
utusan ini
Seorang di antara penduduk
Anthakiyah telah menerima kebenaran risalah, karena ia telah mendengar
panggilan batinnya dan menyadari kebenaran dalam dirinya. la datang bergegas
untuk mendukung kebenaran.
Datang "dari ujung kota",
tiba-tiba ada kesediaan untuk. mendengar. Dalam sejarah, orang ini dikenal
sebagai Habib an-Najjar. la datang memohon kaurnnya untuk mengikuti para utusan
dan risalahnya. Tiap kota batin masing-masing kita memiliki Habib, suara hati
yang berkata, "Lihatlah, ini adalah kebenaran!" Suara ini adalah
gaung mendalam, bukan ingatan terhadap apa yang didengamya kemarin, tetapi
mengingat apa yang telah tertulis dalam fitrah. Ibarat gaung-suara atau bunyi
yang digunakan oleh ikan-ikan di dasar laut, suara hati ini mendengarkan hal
yang di luar waktu, sesuatu yang telah melekat dalam diri kita, yaitu
hukum-hukum Allah. "Aku tidak berada di langit maupun di bumi, tetapi Aku
berada dalam hati orang mukmin."
Pintu menuju pengetahuan batin ini
adalah melalui suara intuisi yang terdapat di lubuk hati setiap manusia. Namun
karena banyak puing yang menghambat jalan ke sana, hanya sedikit yang sampai ke
mata air pengetahuan ini.
Ayat 21-30
اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
21. Ikutilah orang yang tiada
minta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
Orang yang telah menerima kebenaran
risalah ini tidak punya pilihan lain kecuali menemui kaumnya dan berusaha
menyampaikan kebenaran tersebut. la berkata, "Ikutilah orang-orang yang
berusaha menunjukimu!" Kemudian ia mendefinisikan siapa saja yang
merupakan rasul sejati. Kriteria pertama seorang rasul yaitu ia tidak meminta
atau mengharapkan balasan maupun imbalan jasa atas pengajarannya. Jika
seseorang meminta balasan, mengharapkan keuntungan atau ketenaran pribadi,
berarti ia masih terbelenggu oleh keinginan duniawi dan image pribadi. Kedua,
seorang rasul sejati menyampaikan petunjuk yang dapat dikenali secara jelas
oleh setiap orang yang ikhlas dari sudut pendirian pribadinya; atau memakai
istilah sebuah hadis, ia berbicara kepada setiap orang dengan cara yang dapat
dimengerti.
Manusia harus sepenuhnya efisien
untuk mengikuti jalan Yang Mahawujud, dan efisiensi hanya dapat terjadi jika
ada kesadaran penuh dan spontan. Ukurannya adalah apakah ia mengajarkan hal
yang benar pada saat yang tepat, dengan cara yang benar, di tempat yang sesuai,
kepada orang yang tepat? Jika tidak, berarti ia boros, tidak efisien, dan boros
adalah kebodohan.
Sepanjang sejarah, pengajaran rohani
yang sejati selalu bebas dari paksaan atau tekanan. Terserah kepada orang-orang
yang menerima pengajaran untuk meluangkan waktu, memberikan pelayanan atau uang
sebagai ungkapan terima kasih kepada guru mereka. Seseorang tidak pemah akan
menemui adanya pamrih pada diri seorang guru rohani sejati karena pengajarannya
itulah yang merupakan balasan. Bahkan ada guru yang mengajar Kebenaran justru
membayar mereka yang datang untuk memperoleh pengajarannya.
Balasan tertinggi menyampaikan
risalah adalah memperoleh risalah itu sendiri, menyampaikan dan
mendakwahkannya. Orang dari ujung kota, dan demikian pula suara dalam hati kita
berkata:
وَمَا لِي لاَ أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
22. Mengapa aku tidak menyembab
Dia Yang telab menciptakanku, dan hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan
Kata Arab yang diterjemahkan
"menciptakan" (fatbara) dalam ayat ini berarti "membuka"
atau "membelah", karenanya juga berarti "menciptakan", dan
berhubungan dengan fitrah. Fitrah manusia ibarat sebuah gaung dalam hatinya
yang berasal dari ledakan penciptaan awal alam, cahaya asal yang berkilat. Alam
selalu terbuka, meledak, dan berkembang dari alam gaib menjadi dunia yang
terlihat. Apa pun yang berkembang pasti pada akhirnya akan runtuh. Dentuman
Besar (Big Bang) akan mencapai batas terluamya dan setelah itu ia akan
kembali pada keadaan semula. Setiap sistem memiliki batas dan kebalikannya,
karena segala sesuatu di alam ini mempunyai takdir. Waktu-ruang berputar
mengelilingi dirinya sendiri.
Beribadah berarti memuja. Ibadah
merupakan perwujudan dari cinta yang mendalam. Sebelum kita diciptakan, kita
tidak tahu bahwa ada penciptaan, tidak tahu bahwa ada dunia. Maka suara itu
berkata, "Bagaimana mungkin aku menghadapkan diriku kepada selain Dia,
padahal Dialah yang menciptakanku?"
Kita adalah akibat dari sebab. Apa
pun yang datang kepada kita, baik ilmu, harta, atau peristiwa, adalah karena
sebab yang terpancar dari sumber yang tak pemah putus,— sebuah arus—sebuah
cahaya dinamis yang termanifestasi dalam waktu dan ruang. Oleh karena itu,
dalam istilah ilmiah, Allah disebut sebagai kekekalan yang tak berdimensi,
karena la melebihi apa pun yang berasal dari-Nya.
Suara itu berkata, "Jika aku
mengambil selain Dia— satu-satunya Yang Mahawujud—sebagai tuhan, maka aku
berada dalam kesesatan yang nyata." Manusia harus percaya pada Ketuhanan (Rububiydh).
Sifat Rububiyah ini bertujuan membawa manusia kepada kesadaran penuh
dengan cara yang benar dan pada saat yang tepat. Manusia harus percaya bahwa
meskipun ia berada dalam kegelapan, hal ini adalah demi kebaikannya juga,
karena jika ia mengetahui sesuatu sebelum waktunya, pengetahuannya tersebut
mungkin akan tidak seimbang dan akan disalahgunakan. Ketika rahmat Allah turun
kepada seseorang dalam penyendirian rohaninya (khalwat), tak ada apa pun
baginya kecuali melihat dan mengetahui hal yang paling jelas. Yang j'elas
menjadi lebih jelas lagi, tak lebih. Tak ada hal lain yang terjadi. Jika
seseorang mengharapkan hal lain, harapan itu sendiri akan menjadi rintangan.
Tak akan ada lagi keinginan lain, jika ia telah berada dalam keadaan berserah
diri. Dengan alasan ini, seorang ulama berkata bahwa orang yang siap untuk
menarik diri dari kehidupan duniawi adalah orang yang sepenuhnya
terkonsentrasikan, orang yang melihat tak ada jalan, orang yang berakhir dengan
hasrat dan ambisi. Ketika ia merasakan kematian, ia dapat memulai kembali
kehidupannya. Akhir kehidupan dunianya merupakan awal kehidupan bamnya,
sebagaimana Allah yang tidak memiliki awal dan akhir—"dan kepada-Nya
kalian akan kembali."
أَأَتَّخِذُ مِن دُونِهِ آلِهَةً إِن يُرِدْنِ الرَّحْمَن
بِضُرٍّ لاَّ تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلاَ يُنقِذُونِ
23. Pantaskah aku menyembah
tuhan-tuhan selain-Nya? Jika CTuhan) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan
terhadapku, (niscaya) tidak akan bennanfaat (sedikit pun) syafaat mereka, dan
tidak pula mereka dapat menyelamatkanku
Menyembah tuhan selain Dia Satu-satunya
Pencipta yang menciptakan dan memelihara manusia dengan cinta-Nya, tidak akan
pemah mendatangkan syafaat, karena batas-batas rahmat Allah telah dilanggar.
Kata kerja syafa'a, yang menumnkan kata syafa'ah, bermakna
"menggandakan, melampirkan, atau menyertakan." Syafaat berarti
pelipur lara dan kenyamanan yang datang karena berada dekat dengan yang memberi
kenyamanan. Mencari syafaat berarti mencari ketenteraman hati dan petunjuk.
Jika larangan-larangan Allah Yang Maha Pemurah dilanggar, bagaimana mungkin
syafaat-Nya diperoleh?
إِنِّي إِذًا لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
24. Jika demikian, aku sungguh
berada dalam kesesatan yang nyata
Jika seseorang menyembah selain Dia
Satu-satunya Pencipta dan Yang memelihara, bagaimanapun menarik dan berkuasanya
tuhan lain tersebut, maka ia sungguh telah salah arah dan berada dalam
kesesatan yang nyata.
إِنِّي آمَنتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ
25. Sesungguhnya aku telab beriman
kepada Tuhanmu; maka dengarkanlab aku
Suara itu, atau fitrah, yang
bergaung dari ujung kota, menggema dari lubuk hati dan berkata, "Aku
beriman, aku telah Jslam, aku telah percaya pada ilmu Tuhanmu. Aku tahu
Tuhanlah yang memeliharaku, membimbingku menuju potensi puncakku pada saat yang
tepat. Maka dengarkanlah aku, dengarkan suara ini!" Suara yang redup dan
jauh ini sangat samar-samar: ia memanggil untuk didengar.
قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي
يَعْلَمُونَ
26. Dikatakan: Masuklah ke taman
(surga). Ia berkata: O, seandainya kaumku mengetahui!
Kata jannah, yang
diterjemahkan "taman", berarti karena rimbunnya taman ini, tanahnya
tidak dapat dilihat. Taman tersebut bersifat rahasia, tersembunyi, dan hening.
Kata ini merujuk pada suatu keadaan. Bahasa Arab, sebagai bahasa wahyu Ilahi
terakhir, adalah bahasa yang penuh dengan kontras dan dualitas yang berasal
dari satu sumber: taman di satu sisi, padang pasir di sisi lain; Islam di satu
sisi, kufur di sisi lain; damai di satu sisi, perang di sisi lain. Satu-satunya
cara masuk ke surga adalah dengan meninggalkan semua penghalang di gerbangnya:
"Masuklah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami
atasmu" (11: 48).
Bagi orang yang diberi petunjuk
kepada jalan Allah, kehidupan akhirat yang kekal itu terasa dekat, dan
penantiannya di alam kubur menyerupai keadaan di surga. Hari Pembalasan muncul
seketika, tatkala orang tersebut melihat balasan yang tak terhingga berupa
kebahagiaan abadi. Suara yang ketika itu menggaungkan pengalaman keadaan kekal
tersebut berkata, "O, seandainya kaumku mengetahui!"
Secara jelas ayat ini menegaskan
bahwa orang yang telah berserah diri kepada Tuhan dijanjikan surga yang kekal,
yaitu keadaan yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan, karena bagaimana mungkin
orang tersebut mengetahui kebenaran Surga kecuali ia telah merasakannya?
"O, seandainya kaumku
mengetahui!" ia berseru mengungkapkan kenikmatan yang tiada tara karena merasakan
pengalaman masuk surga dalam damai, (yaitu) pengetahuan (yang menuntunnya
untuk) tunduk kepada risalah dan menempuh jalan tauhid, pengetahuan bahwa tiada
tuhan selain Allah.
بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ
27. Atas apayang menyebabkan
Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menempatkanku di kalangan orang-orang yang
dimuliakan
Orang kota ini, orang yang hatinya
menerima risalah, mampu mengetahui kemuliaan (karani), penghormatan
besar yang diberikan kepadanya karena kemurahan Allah dan karena keislamannya.
Kata Arab ghafara, pada ayat ini diterjemahkan sebagai
"mengampuni", juga bermakna "menutupi, melindungi,
membentengi". Ampunan berarti memberikan perlindungan dari akibat
perbuatan-perbuatan dosa di masa lalu atau akibat hasrat dan harapan duniawi di
masa depan.
وَمَا أَنزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِن بَعْدِهِ مِنْ جُندٍ
مِّنَ السَّمَاء وَمَا كُنَّا مُنزِلِينَ
28. Dan Kami tidak menurunkan
kepdda kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit, dan tidak
layak Kami menurunkannya
Makna gamblang dari ayat ini yaitu
Allah tidak akan menurunkan "pasukan" setelah kematian orang kota ini
yang menegaskan kebenaran para utusan yang juga sebagai saksi hidup dari
mereka. Pada kasus ini, "pasukan" (jund) berarti
"kekuatan malaikat yang menyertai satu sama lain". Seorang tentara
dalam sebuah pasukan itu terpaksa, karena ia hanya melaksanakan perintah
atasan.
Ayat ini juga menjelaskan makna
pemyataan sang utusan kepada penduduk Anthakiyah: "Pertanda buruk itu
disebabkan oleh dirimu sendiri." Setelah menyampaikan kebenaran, Allah
tidak segera memberi musibah kepada kaum tersebut dengan fenomena gaib,
"dan tidak layak Kami menurunkannya." Jadi seseorang ditimpa
malapetaka, itu semata akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya sendiri.
إِن كَانَتْ إِلاَّ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ
خَامِدُونَ
29. (Tidak ada siksaan atas
mereka) melainkan satu teriakan (snara) saja, maka mereka (tiba-tiba) mati
Ketika akhir (kehidupan) datang,
baik berupa awal dari akhir Dentuman Besar, runtuhnya suatu kebudayaan, atau
kematian seseorang, ia datang sebagai suatu peristiwa tunggal yang menentukan.
Sebagaimana dahulu alam diciptakan, maka ia pun kelak akan dihancurkan.
Dentuman Besar menyebabkan kehancuran besar. Dari sudut pandang alam mikro dan
alam makro, seluruh alam kelak akan dihidupkan kembali. Dan bila ini terjadi,
tak akan ada yang bisa kembali ke dunia.
"Satu teriakan" juga
bermakna goncangan kesadaran, ketika keinginan seorang manusia yang selalu
memotivasinya tiba-tiba mati. Manusia telah diberikan kebebasan untuk memilih
dan bertindak antara ke arah kebebasan batiniah dengan bekal pengetahuan yang
telah ada dalam dirinya sendiri atau ke arah perbudakan batiniah dengan
kekafiran dan kebodohan. Pilihan ini tidak ditentukan oleh takdir. Satu-satunya
kebebasan yang dimiliki manusia adalah pilihannya terhadap takdir apakah
meinilih takdir baik atau takdir buruk. Dengan bersikap Islami, pengetahuan
yang berguna akan datang kepadanya pada saat yang tepat, dan dengan demikian ia
akan selamat. Satu teriakan menandai berakhirnya kesempatan untuk beramal.
Setelah mati, jiwa terus memancarkan keadaan ketika sakaratul maut, seperti
radio yang menerima siaran, apa pun stasiun yang memancarkan.
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِم مِّن رَّسُولٍ
إِلاَّ كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون
30. Alangkah besarnya penyesalan
hamba-hamba itu! Tiada datang seorang rasul kepada mereka melainkan mereka
memperolok-oloknya
Allah memanggil setiap manusia
sebagai hamba ('abd), atau budak. Setiap manusia dengan cara apa pun
pasti diperbudak karena tak seorang pun dapat lari dari kematian atau kenyataan
bahwa ia butuh makan dan bernafas. Masing-masing kita telah merasakan surga dan
neraka; dua kondisi ini telah dirasakan dalam dunia fisik. Tujuan jalan Islam
adalah menunjukkan larangan Allah. Pelanggaran terhadap larangan ini hanya
mendatangkan penderitaan, kesusahan, kesulitan, baik di dunia maupun di
akhirat.
Di banyak surah dalam Alquran kita
mendapati ayat-ayat serupa yang berusaha untuk meningkatkan hasrat (him-mah')
kita terhadap kebenaran. Orang-orang yang menolak pengakuan atas penghambaan
diri mereka secara lahiriah dengan cara meletakkan kepala ke tanah dalam sujud
dan secara batiniah dengan cara mencari hakikat, sebenarnya telah menipu diri
sendiri. Karena setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka menghina
dan memperolok-oloknya (yastahzi'un) baik diri sang rasul maupun risalah
kebenaran yang dibawanya. Memperolok adalah salah satu perilaku terburuk
manusia yang diungkap dalam Alquran. Olok-olok merupakan ungkapan keputusasaan
dan kesombongan dari ego bawah sadar dan bukti bahwa ego itu masih kuat dan
mendominasi.
Allah menegaskan dalam Alquran bahwa
mereka yang memperolok akan menerima penderitaan yang pedih, baik lahir maupun
batin. Jangan memandang rendah kepada sesama makhluk, karena makhluk yang
terkecil sekalipun, kuman dan bakteri, pada akhirnya merupakan musuh manusia
yang paling berbahaya. Batu kecil yang kamu anggap tak berharga dapat
memecahkan tulang tengkorakmu. Manusia tidak perlu menghina apa yang tidak
dimengertinya, lebih baik ia menyalurkan tenaganya untuk digunakan ke arah
positif guna meningkatkan pengetahuannya. Olok-olok hanya menghamburkan tenaga,
sedangkan jalan Islam, jalan yang benar, menyalurkan tenaga untuk meraih
sukses.
Satu-satunya tujuan jalan Islam
adalah mengatasi ego, bayangan tentang "aku". Apabila ego telah
dikalahkan, maka pintu menuju Tuhan, yang telah ada dalam diri manusia, akan
terlihat.
Ayat 31-40
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّنْ الْقُرُونِ
أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لاَ يَرْجِعُونَ
31. Tidakkah mereka memperhatikan
berapa banyak umat-umat sebelum mereka telah Kami binasakan. Sesungguhnya
umat-umat tersebut tidak akan kembali kepada mereka
Kaum-kaum, kota, budaya, atau negara
yang tidak berjalan ke arah pencerahan diri, menyusuri jalan penyerahan diri
kepada Yang Mahawujud yang darinya mereka tak pernah terpisah, akan mntuh
karena jalan yang menyimpang itu. Ayat ini meminta kita untuk merenungi betapa
banyak kaum yang ditimpa kesia-siaan dan kehancuran. Seseorang tidak lagi dapat
berhubungan, atau kembali kepada mereka. Nenek moyangnya atau kebudayaan
sebelumnya telah hilang selamanya, hampir tidak meninggalkan jejak.
Pada dasarnya manusia terbiasa
dengan lingkungannya, ingin memelihara rutinitas dan tradisi lahiriahnya.
Sedangkan alam bersifat dinamis dan selalu bembah. Gaung keabadianlah yang
menimbulkan huru-hara. Gaung ini pula yang menjelaskan mengapa kita tertarik
kepada kelang-gengan rutinitas. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
mengikuti kebiasaan. Bahkan secara biologis semua sel tubuh berusaha untuk
bertahan hidup. Kita ingin hidup abadi. Keinginan kita untuk hidup abadi ini
disebabkan oleh cinta kita kepada Dia Sang Mahahidup.
Semua yang ada di alam ini terikat
oleh hukum Allah. Zat-Nya tidak dapat dipahami oleh makhluk yang mengalir dalam
arus alam dan dipelihara oleh penguasa arus itu sendiri. Bagaimana mungkin daun
bisa memahami sifat sungai yang mengalir di bawahnya? Hanya jika daun itu
gugur, larut dan menyatu dengan arus, baru ia dapat bergema atau merefleksikan
sifat arus sungai tersebut yang membawanya mengikuti perjalanan sang arus
sungai.
وَإِن كُلٌّ لَّمَّا جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ
32. Dan mereka semuanya akan
dikumpulkan lagi di hadapan Kami
Hanya ada Kehadiran Ilahi (al-Hadrab
ar-Rabbaniyyah). Segala sesuatunya telah berada kehadirat Ilahi. Kesadaran
penuh akan hal ini akan memungkinkan kita untuk tidak mencari hal lain kecuali
Tuhan, tak ada apa pun kecuali Dia Yang Maha Pemurah yang selalu hadir dalam
segala sesuatu. Pilihan terserah pada kita.
وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا
وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ
33. Dan suatu tanda bagi mereka
adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya
biji-bijian sehingga mereka dapat memakannya
Inilah satu dari sembilan tanda yang
berbeda-beda yang diletakkan secara berurutan dalam surah ini, satu demi satu,
agar manusia dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang hukum yang
bekerja di alam wujud ini. Ada keteraturan yang menyebabkan hukum-hukum ini
berlaku dan alasan dari keteraturan tersebut. Ayat-ayat Alquran biasanya
dimulai dengan menjelaskan hal-hal yang besar terus berlanjut ke hal-hal yang
lebih kecil.
Segala sesuatu merupakan tanda
kebesaran Allah. Ke mana pun manusia memandang ada tanda-tanda tersebut,
biasanya dijumpai berpasang-pasangan. Salah satu tanda itu adalah bumi yang
dulunya mati kemudian dihidupkan. Irama bumi terus bergulir, dan karena bumilah
para penghuninya bertahan hidup. Keanekaragaman peristiwa-peristiwa ini yang
secara bersama membentuk satu ekosistem, merupakan tanda-tanda yang menunjukkan
adanya Sang Pemelihara di balik semuanya.
Di sini kita diingatkan bahwa
setelah penciptaannya, bumi itu mati. Keadaan yang mencair lama-kelamaan
membeku. Selanjutnya turunlah hujan; sehingga terbentuklah lautan-lautan dan
danau-danau. Dari air, dan juga dari tanah bumi, muncullah bentuk-bentuk
kehidupan. Menurut ilmu bumi, proses ini berlangsung selama beberapa ratus juta
tahun.
Kata Arab habb, yang dalam
ayat ini diterjemahkan sebagai biji, juga memiliki arti benih. Agar potensinya
berkembang menjadi tumbuhan atau pohon, benih ini harus merekah melewati
batas-batasnya sebagai benih, melarut-kan dirinya dalam sebuah proses perubahan
bentuk.
وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ
وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنْ الْعُيُونِ
34. Dan Kami jadikan padanya
taman-taman kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air
"Taman-taman" (jannah)
bisa berarti taman secara lahiriah fisik maupun taman batiniah, Surga yang
gaib. Biasanya, jika Alquran berbicara tentang "surga yang mengalir di
bawahnya mata air" (jannah tajri min tahtiha al-anhar), yang
dimaksud adalah "keadaan" ketika berada di surga, keadaan batin yang
tenteram, damai, puas, bahagia, dan nikmat.
Setelah penciptaan bumi dan proses
penghidupannya, taman-taman kurma dan anggur termasuk di antara beragam jenis
taman yang tercipta. Kurma merupakan jenis tanaman yang paling antik dan
berkembang pesat, berada di per-batasan dunia tumbuhan dan dunia binatang.
Pohon kurma memiliki sebuah jantung. Jika seseorang menenggelamkan pohon kurma,
maka pohon itu akan mati ketika air mencapai ketinggian tertentu, melewati
jantungnya. Orang mengatakan bahwa pohon ini memiliki dasar-dasar kesadaran.
Kebiasaan yang berkembang di perkebunan kurma di dunia timur adalah menebang
pohon betina jika setelah beberapa tahun ia tidak menghasilkan kurma. Pohon
kurma memiliki kelamin; yang betina dibuahi oleh yang jantan, sehingga
menghasilkan buah kurma.
"Dan Kami pancarkan padanya
beberapa mata air." Kata untuk "mata air" ('uyun), bentuk
jamak dari 'ayn, juga berarti sumber. Maka, makna lain ayat ini adalah
bahwa keadaan surga ini mengalir terus dari sumbemya.
لِيَأْكُلُوا مِن ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ
أَفَلَا يَشْكُرُونَ
35. Supaya mereka dapat makan dari
bnahnya, dan tangan mereka tidak dapat menciptakannya secara mandiri. Maka
mengapakah mereka tidak bersyukur?
Banyak ayat Alquran yang dapat
dipahami dengan cara yang berlainan, masing-masing cara memberikan pengertian
yang setara; dan disinilah letak salah satu keagungan Al-quran yang tak
tertandingi. Salah satu makna ayat ini adalah bahwa manusia makan buah-buahan
dan juga "apa yang dihasilkan oleh tangannya" berupa produk-produk yang
dibuat dari buah dan produk sampingannya seperti buah yang dikeringkan, sirup,
dan lain-lain. Makna lainnya adalah bahwa tangan manusia tak dapat secara
mandiri mengerjakan pembuatan makanannya. Maka mengapa ia tidak bersyukur atas
kesuburan taman ini?
Taman-taman di bumi merupakan
pembuka dan pendahuluan dari taman di akhirat, seolah secara bertahap manusia
diperkenalkan kepada taman akhirat meskipun ia masih di dunia. Sama halnya
dengan kondisi seperti neraka yang menakutkan dan situasi-situasi lainnya yang
mirip. Kondisi-kondisi ini juga merupakan persiapan bertahap akan Neraka di
akhirat. Keadaan surga begitu tinggi dan suci sehingga dibutuhkan persiapan
sebelumnya, kalau tidak, keadaan di akhirat yang penuh kebahagiaan ini tak akan
tercapai. Kesadaran timbul sebagai akibat dari perbuatan di masa lalu dan
kesadaran ini pun akan menimbulkan akibat di masa yang akan datang. Satu
langkah menghantarkan kepada langkah berikutnya.
Kenikmatan, kepuasan, dan amal saleh
akan mengantarkan kepada surga, sedangkan kesengsaraan, hasutan dan perbuatan
dosa mengantarkan kepada neraka. Pintu masuk menuju surga adalah dengan
berterima kasih (syukur) yang mengantarkan kepada kebebasan dari belenggu
khayalan dan hasrat duniawi. Syukur juga membuka hati untuk me-nambah iman dan
cahaya ilmu yang dengan ilmu ini manusia dapat melihat perwujudan Allah dalam
alam.
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا
تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
36. Mahasuci Allab yang telah
menciptakan secara berpasang-pasangan semua yang tumbuh di bumi dan juga diri
mereka serta apa yang tidak mereka ketahui
Setelah bersyukur adalah bertasbih
(menyucikan Allah), karena syukur dan penyerahan diri akan mengantarkan
seseorang kepada pengagungan Allah, membebaskannya dari syirik. Segala sesuatu
yang ada di bumi, demikian pula dalam diri manusia, baik lahiriah maupun
batiniah, dijadikan memiliki pasangan-pasangan (azwaj), lawan jenis yang
saling melengkapi. Sedangkan Dia Yang menciptakan semua berpasang-pasangan
tidaklah dinodai oleh dualitas. Dia, Allah, jauh dari membutuhkan, justru semua
makhluk membutuhkan-Nya.
Tasbih ini diucapkan ketika melihat
keajaiban alam. Seluruh benda di planet ini memiliki lawan jenisnya
masing-masing, namun ajaibnya, reproduksi benda-benda ini terjadi melalui
penggabungan dua lawan jenis dalam satu kesatuan.
وَآيَةٌ لَّهُمْ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا
هُم مُّظْلِمُونَ
37. Dan suatu tanda bagi mereka
adalah malam. Kami menanggalkan siang dari malam, maka (tiba-tiba) mereka dalam
kegelapan
Kata Arab yang diterjemahkan sebagai
"menanggalkan" adalah salakha, yang biasanya bermakna
"menguliti". Ini menunjukkan bahwa lapisan terluar berada di
permukaan suatu benda atau badan. Dalam perumpamaan, kegelapan malam bisa
berarti kegelapan kebodohan atau kesesatan. Satu makna yang ditarik dari ayat
ini adalah bahwa apa yang mendasari alam adalah kehampaan, keheningan total,
yaitu non-alam. Menanggalkan siang berarti siang adalah kulit yang menutupi
malam, tubuhnya adalah malam. Proses penciptaan menghentikan kegelapan malam,
ditutupi oleh lapisan cahaya yang terang. Sebenarnya sinar matahari tidak
menembus jauh ke dalam bumi, ia hanya rnenembus permukaan bumi. Segala apa yang
di bawahnya masih dalam kegelapan, pada dasarnya, sifat asli cahaya adalah
senantiasa gelisah akibat energi pancaran atau gelombang, sedangkan kegelapan
adalah keadaan yang sunyi dan hening. Oleh karena itu, malam menggaungkan
keadaan sebelum dihidupkan.
Sebelum kita dapat melihat cahaya
ilmu, kita harus melewati kulit diri kita yaitu kebodohan, kita harus keluar
dari koridor gelap jiwa ego kita dan khayalan-khayalan. Kita bukanlah milik
dunia; kita berada di dalamnya namun kita bukan berasal darinya. Kita merasakan
ego, namun ego bukanlah wujud hakiki kita. Jika cahaya jiwa yang tinggi mulai
dirasakan, berarti kenikmatan kesadaran diri telah dimulai.
Pencari ilmu yang ikhlas haruslah
mempertanyakan Alquran. Apa maksudnya? "Dan sebuah tanda bagi mereka
adalah malam. Kami tanggalkan siang dari malam!" Ini merupakan pemyataan
yang mengejutkan. Jangan takut terhadapnya. Pertanyakan Alquran dengan
kejujuran dan kerendahan hati. Meskipun dalam kegelapan, kelak cahaya Islam
akan bersinar dan menerangi kesadarannya.
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ
الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
38. Dan matahari berjalan di
tempat edamya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.
Segala sesuatu di alam
berpasang-pasangan dan berjalan sesuai aturan. Segala sesuatu bergerak
melintasi dimensi waktu-ruang. Hal ini merupakan ketetapan dari Yang
Mahaperkasa (al-'Aziz) lagi Maha Mengetahui (al-'Alim). Segala
sesuatu ditetapkan sesuai ilmu yang telah diprogram di dalamnya. Aturan ini
berasal dari ilmu Allah yang tercipta karena keperkasaan-Nya. Inilah alam,
tidak kacau, tetapi teratur. Kata Arab 'aziz, yang diterjemahkan
"perkasa", juga bisa bermakna "aneh, berharga, sukar
didatangi".
Ketika suatu ayat berakhir dengan
Nama-Nama Allah, biasanya terdapat hubungan langsung antara Nama-Nama-Nya
tersebut dengan ayat yang bersangkutan. Nama-Nama ini digunakan untuk
menyingkap makna batiniah ayat tersebut. Sebaliknya, peristiwa-peristiwa yang
dilukiskan oleh ayat mengungkapkan makna Nama-Nama-Nya tersebut.
Dalam ayat ini, Nama
"Mahaperkasa" (al-'Aziz) merujuk kepada matahari, dan
"Maha Mengetahui" (al-'Alim) merujuk kepada takdirnya, kepada
perhitungan matahari. Proses peleburan hidrogen menjadi helium yang meledak dan
terus-menerus, yang terjadi di matahari memang sungguh perkasa dan sukar
didatangi. Dan ketetapan yang membuat seluruh sistem ini terus berjalan hanya
dapat diatur oleh Dia Yang Maha Mengetahui.
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ
كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
39. Dan bulan, telah Kami tetapkan
manzilah-manzilab baginya, sehingga ia kembali sebagai bentuk tandan yang tua
Bulan juga telah diprogram dengan
suatu ketetapan untuk berjalan melintasi fase-fasenya yang berbeda-beda. Tanpa
fase-fase ini kehidupan dan keseimbangan ekologi bumi tidak dapat berlanjut.
Bulan dan cahayanya memiliki pengaruh besar terhadap tumbuh-tumbuhan dan siklus
pertumbuhannya, juga terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya, karena adanya
pasang surut yang ditimbulkannya. Siklus bulan—membesar dan
menciut—melambangkan siklus alam dad tumbuh hingga mencapai puncaknya kemudian
menciut dan akhirnya mati. Segala yang ada di alam mengalami siklus perputaran,
termasuk manusia yang berkembang dari posisi lemah ketika bayi menjadi kuat
secara fisik ketika dewasa, dan akhirnya kembali lagi ke posisi lemah ketika
tua sampai akhirnya meninggal.
لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا
اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
40. Tidak mungkin matahari
mendahului bulan dan ma-lam pun tidak dapat mendabului siang. Masing-masing
beredar pada garis edarnya
Setiap benda memiliki perjalanan
hidup yang telah ditakdirkan dan ditetapkan sebelumnya. Tiap planet beredar
pada garis orbit yang melingkar dan berulang, bergerak sesuai aturan sistemnya
tanpa mendahului atau menabrak benda lain. Segala sesuatu di alam bergerak
sesuai rencana, di balik itu semua adalah Allah Yang Mahaabadi yang tak
tertandingi. Keadaan terbaik untuk didiami adalah dengan melarutkan diri dalam
menyucikan Allah (tasbih), mengagumi-Nya dengan perasaan kagum sebelum
menjalani siklus kehidupan, bergerak secara harmonis dalam siklus tersebut
sepanjang waktu.
Ayat 41-50
وَآيَةٌ لَّهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي
الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
41. Dan suatu tanda bagi mereka,
Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penub muatan
Dalam sejarah, ayat ini merujuk
kepada umat Nabi Nuh. Ayat ini juga merujuk kepada janin manusia yang dikandung
dalam rahim. Kecuali dalam dua perbedaan vokal, kata Arab untuk
"kapal" (fulk) hampir identik dengan kata "orbit" (falak)
di ayat sebelumnya di mana Alquran mengatakan bahwa planet-planet secara
harfiah "berenang" di garis edar-nya meskipun kita menerjemahkannya
"masing-masing beredar pada garis edamya". Kapal juga mengapung,
tetapi di air, bukan di atmosfir. Hubungan-hubungan antarperistiwa alam
direfleksikan dalam bahasa pilihan agar terungkap secara tepat.
Kata Arab masyhun, yang diterjemahkan
dalam ayat ini sebagai "penuh muatan", asalnya bermakna
"penuh" atau "terisi", memberi kesan bahwa segala sesuatu
diisi dan bergerak maju menuju tugasnya berupa pengekalan Yang Mahaabadi (al-Baqi).
Inilah makna dari memiliki keturunan (dzurriyyah), yang juga mempakan
pengabadian dari peristiwa Ilahiyah. Hubungan intim seseorang dengan istri atau
suaminya merupakan sebuah ibadah. Karenanya, bila ia memulai hubungan ini, ia
harus selalu membaca basmalah (Bismillah ar-Rahman ar-Rahim). Jadi,
ajaran tentang penyatuan (wahdah) diterapkan secara fisik dan
terus-menerus. Dengan demikian, konsep wahdah ini tidak hanya ada secara
batiniah, tapi juga mewujud secara lahiriah pada anak-anak kita.
وَخَلَقْنَا لَهُم مِّن مِّثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ
42. Dan Kami ciptakan untuk mereka
yang serupa dengan kapal untuk mereka kendarai
Segala sesuatu di alam ini berada
dalam orbit yang melingkar atau "naik" di atas sesuatu. Tujuan
ayat-ayat serupa ini adalah untuk mendorong akal manusia agar ia merenungkan
kesatuan dalam keragaman yang luar biasa ini, agar ia terbangun kesadarannya
menuju ke keadaan yang lebih tinggi berupa pengagungan dan pensucian Allah yang
terus-menerus, sehingga berada dalam kesadaran penuh. Secara lahiriah ia
berpindah-pindah dengan naik mobil, kereta, kapal laut atau kapal udara,
sedangkan secara batiniah ia berpindah-pindah dengan naik kendaraan zikir
Nama-Nama Allah menuju alam batiniah.
وَإِن نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ
يُنقَذُونَ
43. Dan jika Kami menghendaki,
niscaya Kami tengge-lamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan
tidakpula mereka diselamatkan
Jika keseimbangan yang mengatur
kehidupan ini terganggu, maka semua akan ditenggelamkan sesuai ketetapan Allah.
Kehendaknya terwujud dalam hukum-hukum yang mengatur segala sesuatu, baik yang
terlihat maupun tidak terlihat: jika manusia melanggar hukum-hukum tersebut,
maka mereka akan menjadi tak berdaya, didaurulang dan dikembalikan ke
Sumbernya. Hal yang sama terjadi terhadap batin kita. Kita dapat menggelepar-gelepar
dalam lautan jiwa-ego kita (nafsu rendah) karena tidak mengikuti hukum-hukum
batiniah berupa akhlak yang terpuji. Perjalanan lahiriah di laut mempunyai
aturan-aturan tersendiri— seseorang harus yakin bahwa kapal tersebut laik
melaut. Perjalanan menuju kesucian dan kesadaran batin membutuhkan perlindungan
dan pertahanan, bila tidak, seseorang akan tenggelam dalam badai kebimbangan,
keputus-asaan dan khayalan.
Namun waktunya akan tiba tatkala
keseimbangan tidak dapat dipertahankan kecuali dengan sebuah peristiwa yang
bersifat perubahan besar. Ketika Nabi Nuh datang kepada kaumnya dengan tugas
menyampaikan risalah Kebenaran, ia memerintahkan kaumnya untuk berputar haluan
sebelum teriambat. la memperingatkan mereka bahwa perbuatan-perbuatan mereka
akan mengakibatkan reaksi yang berbahaya. Setelah itu ia mengadu kepada Allah
seraya berkata, "Aku telah berdakwah kepada mereka siang-malam, tetapi
mereka tidak memperhatikan dan keras kepala." Jawaban yang diperoleh Nuh
adalah jika ia tidak dapat menyelamatkan kaumnya, maka ia harus menyelamatkan
hidupnya sendiri dan para pengikutnya. Gelombang kelaliman yang dibangkitkan
oleh perbuatan kaum Nabi Nuh telah mencapai puncaknya, dan gelombang itu
sekarang akan menggulung mereka.
Ketika seseorang berada dalam kapal berupa
Kitab Yang Mahawujud, Alquran, yang diarahkan oleh tradisi (sunah) Nabi
Muhammad, Rasul dan Risalahnya, berarti ia meyakini risalah yang benar.
إِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
44. Kecuali karena rahmat dari
Kami, dan sebagai kese-nangan hidup sampai kepada suatu ketika
Tak ada yang akan meyelamatkan siapa
pun kecuali rahmat Allah. Diterjemahkan sebagai "kesenangan hidup", mata',
yang berarti perbekalan yang harus dibawa dalam suatu perjalanan, menunjukkan
bahwa perbekalan itu hanya cukup untuk satu periode tertentu. Kata ini juga
berarti "bagasi", karena orang hanya menamh ke dalam bagasinya apa
yang dibutuhkan untuk suatu perjalanan tertentu. Ayat ini menegaskan bahwa jika
bukan karena rahmat langsung dari Allah dan karena perbekalan untuk perjalanan
hidup ini, semua manusia telah tenggelam dalam lautan kebodohan. Pada
kenyataannya, kesenangan hidup ini hanya sebentar.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّقُوا مَا بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَمَا
خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
45. Dan apabila dikatakan kepada
mereka: Lindungilah diri kamu dengan ketaqwaan terhadap apa yang ada di
hadapanmu dan di belakangmu, agar kamu memperoleh rahmat
Inilah peringatan agar manusia
secara waspada menyadari terhadap amal perbuatan yang dilakukannya, terhadap
apa yang dilakukan oleh tangannya sendiri, dan terhadap niat-niat di belakang
amal perbuatan tersebut, karena segala sesuatu pada saat sekarang ini merupakan
perwujudan masa ialu. Apa yang terbentang di hadapan seseorang merupakan imbas
masa lalu sekaligus akan menjadi masa depannya. Jadi manusia harus sepenuhnya
menyadari motif-motif perbuatannya, karena inilah yang akan menentukan apakah
dirinya selamat atau justru diazab, setiap saat masing-masing kita sibuk
menghasilkan perbuatan. Burung pertanda baik atau pertanda buruk kita, penyebab
penderitaan atau keselamatan kita, terdapat dalam diri kita sendiri, ditulis
oleh niat-niat kita dalam buku catatan amal kita.
Manusia harus terus menyadari hal
ini agar merasakan kepuasan batin dan memahami rahmat Allah secara langsung
dalam hidup ini, karena "Dia telah menetapkan atas dirinya rahmat/kasih
sayang" (6: 12). Jika seseorang selalu menyadari apa yang ia lakukan di
masa sekarang dan di masa lalu, berarti ia mulai memahami hukum-hukum alam
melalui kesadarannya tentang hukum sebab akibat.
وَمَا تَأْتِيهِم مِّنْ آيَةٍ مِّنْ آيَاتِ رَبِّهِمْ إِلَّا
كَانُوا عَنْهَا مُعْرِضِينَ
46. Dan tiadalab datang kepada mereka
suatu tanda dari tanda-tanda Tuhan, melainkan mereka selalu berpaling darinya
Sebagaimana keadaan penduduk
Anthakiyah, demikian pula keadaan kaum yang didatangi Nabi Muhammad, dan juga
kebanyakan umat-umat lain di sepanjang waktu, termasuk zaman kita sekarang.
Tiap tanda yang datang kepada kita, yang menunjukkan jalan kehidupan yang
benar, ditolak. Kita tidak mengizinkan risalah sampai kepada kita dan mengubah
gaya hidup kita. Ayat ini berhubungan dengan ayat 11, "Kamu hanya dapat
memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan." Tak
peduli tanda apa pun yang mereka terima dari Tuhan, mereka berpaling, karena
satu-satunya realitas yang ingin mereka hadapi hanyalah tradisi yang telah
mereka biasakan sejak dahulu kala, apa yang telah mereka bangun dalam khayalan
mereka.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمْ اللَّهُ
قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَن لَّوْ يَشَاءُ
اللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
47. Dan apabila dikatakan kepada
mereka, "Nafkahkanlab sebagian rezeki yang telah Allah berikan
kepadamu." Mereka yang menolak dan mengingkari Yang Mahawujud berkata
kepada orang-orang yang menerima dan percaya (risalah), "Apakah kami akan
memberi makan orang, yang jika Allah menghendaki, tentulah Dia akan memberinya
makan? Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata."
Alquran selanjutnya memerintahkan
untuk berderma dan bersedekah. Alquran tidak pemah mengatakan,
"Am-billah!" atau, "Mintalah!" Tak ada ayat dalam Alquran
yang memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi dengan tujuan memburu
rezeki atau menumpuk kekayaan, maupun yang menyerupainya. Alquran menentang
penumpukan harta. Kitab Allah Yang Mahawujud, jalan menuju kepada-Nya,
bergantung pada penyerahan diri, bukan pada penggandaan hasrdt dan cinta. Manusia
harus menafkahkan rezeki yang dianugerahkan kepadanya, agar rezeki tersebut
berkembang. Kepedulian ditunjukkan dengan saling beibagi dan saling
memperhatikan, dan makna sedekah terletak pada memberikan apa yang seseorang
cintai dan apa yang ingin ia simpan. Melalui sedekah, manusia melakukan kontak
dengan sifat Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih yang meliputi semua makhluk.
Rezeki (rizq) berarti
berbagai jenis santapan, baik rezeki tingkat tinggi berupa pengetahuan batin
maupun rezeki tingkat rendah berupa makanan dan kesehatan. Rezeki tertinggi
adalah apa yang datang langsung kepada seseorang yaitu dengan menyerahkan diri
kepada Allah dan meninggalkan semua keinginan dan harapan duniawi, serta
mengingat bahwa ia dilahirkan tanpa apa pun dan akan meninggalkan dunia tanpa
apa pun juga. Rezeki tertinggi adalah rezeki berupa penyerahan diri yang
sesungguhnya, Islam sejati, penyerahan diri tanpa batasan, tanpa pemisah.
Inilah pengetahuan dari Tuhan.
"Nafkahkanlah" tidak hanya
bermakna memberi derma. la juga bermakna "menjadi saluran rahmat
Allah", membersihkan (saluran tersebut) agar selalu dapat diisi kembali.
Mereka yang mengingkari Allah Yang Mahawujud (kafirun) berusaha
mempersiapkan diri mereka dengan hartanya karena mereka hidup dalam
keterpisahan; mereka melihat diri mereka terpisah dari Allah. Mereka melihat
diri mereka seolah jauh dari Allah karena segala sesuatu dianggap berada dalam
dualitas, sehingga mereka mengatakan, "Mengapa Allah tidak melakukan itu
sendiri?" Karena melupakan makna kehidupan, mereka tidak dapat melihat
bagaimana Allah berbuat kepada alam-Nya, kepada makhluk-makhluk-Nya. Kita
tidaklah terpisah dari Yang Mahawujud yang tidak berawal dan tidak pula
berakhir. Allah lebih dekat kepada kita dari pada urat nadi kita sendiri. Tubuh
kitalah yang justru berawal dan berakhir, namun karena kebodohan kita sendiri,
kita secara salah mengukur segala sesutu termasuk Tuhan dengan ukuran tubuh
fisik kita. Inilah definisi peng-ingkaran, inilah kufur.
Mereka yang ingkar berada dalam
kesesatan yang tidak memungkinkan risalah tauhid sampai kepada mereka. Se-gala
sesuatu mereka lihat dari aspek lahiriah, tidak bisa merenungkan amal-amal
batin yang tidak kentara. Allah telah menetapkan hukum-hukum alam. Mereka yang
mengikuti hukum-hukum-Nya dihubungkan dengan Tauhid, sedangkan mereka yang
tidak berada dalam kesesatan dan oleh karenanya mengalami penderitaan meskipun
secara lahiriah mereka memiliki kekayaan materi yang banyak.
وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
48. Dan mereka berkata: Kapan
janji ini datang, jika kamu orang-orang yang benar?
Orang-orang kafir dibodohi oleh
khayalan waktu. Mereka tidak menyadari bahwa pandangan statis tentang waktu
adalah pemberian Allah kepada manusia agar ia mampu merasakan tiadanya waktu.
Oleh karena itu, mereka berada dalam keadaan sesat bahkan mereka lupa bahwa
pada akhir kehidupannya, mereka akan terkubur di kedalaman enam kaki dari
permukaan tanah. Orang-orang seperti ini tidak menyadari bahwa hidup manusia
tergantung pada sebuah tarikan nafas.
مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ
يَخِصِّمُونَ
49. Mereka menunggu hanya satu
teriakan saja yang akan membinasakan mereka padabal ketika itu mereka sedang
bertengkar
Semua urusan mengenai waktu ini
hanya omong kosong! Allah menerangkan kepada kita bahwa waktu bersifat relatif
dan menyesatkan. Manusia akan merasakan kiamat tatkala mereka merasakan satu
teriakan, sekali, namun pengaruhnya mengerikan. Teriakan ini menandai perubahan
menyeluruh dalam sistem. Satu teriakan (shayhah wahidah) menghentikan
sistem kehidupan dan sistem waktu.
Satu teriakan yang tiba-tiba ini
merupakan panggilan pertama yang menandai akhir kehidupan individu. Panggilan
kedua, yang disebutkan dalam ayat selanjutnya, merupakan "panggilan hari
kebangkitan" yang memberi isyarat kepada kita untuk menghadap Tuhan dan
mempertanggung-jawabkan seluruh amal dan niat kita. Pada saat itu kita
merasakan akibat perbuatan kita di dunia. Jika kita menghasilkan untuk diri
kita hal-hal yang mengarah kepada rahmat-Nya, maka kita akan merasakan rahmat
itu. Namun jika kita berbuat menonjolkan yang kotor-kotor dan bersifat materi,
maka kita dalam kemgian besar di kehidupan baru ini.
فَلَا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً وَلَا إِلَى أَهْلِهِمْ
يَرْجِعُونَ
50. Lalu mereka tidak kuasa
membuat suatu wasiat pun dan tidakpula mereka dapat kembali ke kelnarganya
Aturan-aturan yang telah mereka buat
dalam hidup mereka, alur-alur dan rencana-rencana mereka yang banyak, seketika
itu terputus. Terlambat sudah untuk kembali. Mereka tidak dapat lagi berwasiat.
Mareka akan terhenti di tengah perjalanan, tanpa bantuan sama sekali.
"Tidak pula mereka dapat
kembali kepada keluarganya": tidak dapat kembali kepada keluarganya
berarti tidak dapat kembali kepada kebiasaannya. Dunia mereka telah berakhir,
tak ada lagi kemungkinan untuk beramal, dan mereka tidak dapat mencari siapa
pun untuk dimintai bantuan.
Dalam bahasa Arab, kematian disebut
dengan wafah, dari akar kata kerja wafa' yang juga berarti setia.
Dengan mati, seseorang setia kepada kenyataan alamiah. Waktunya akan tiba
ketika jiwa berpisah dari badan. Jiwa (roh) kembali ke asalnya, kepada Allah,
dan badan kita kembali ke asalnya, ke tanah. Dengan demikian, ciptaan selalu
setia kepada asalnya.
Ayat 51-60
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُم مِّنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى
رَبِّهِمْ يَنسِلُونَ
51. Dan sangkakala akan ditiup,
dan tiba-tiba dari kubur, mereka keluar menuju kepada Tuhan mereka
Inilah panggilan kedua, panggilan
hari Kebangkitan, panggilan untuk pertanggungjawaban. Tiupan pertama adalah
kematian masing-masing individu atau akhir kehidupan dunia seseorang. Jiwa
masih berada di alarn barzakh hingga fase berikutnya, ketika Seluruh alam
berhenti bergerak dan energi-energi menjadi tidak aktif, jiwa-jiwa (arwah)
tiba-tiba dihidupkan dan dibangkitkan.
Tanda ini dilambangkan dengan tiupan
terompet yang memekakkan atau "sangkakala" (shur), karena
tiba-tiba semuanya dibangkitkan dari tempatnya sehingga seluruhnya terlihat
jelas. Tak ada lagi yang masih tersembunyi dalam dada seseorang atau dalam
kubumya. Bunyi sangkakala tanda awal hari Kebangkitan menandai penyatuan alam
nyata dan alam gaib. Tidak ada lagi pemisahan antara yang rahasia dan yang
nyata, tidak ada lagi kemungkinan dualitas, kemungkinan lari dari Allah seperti
di alam ruang dan waktu. Hanya cahaya mutlak dari Yang Mahabenar yang bersinar.
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَن بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا هَذَا
مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
52. Mereka akan berkata: Aduhai
celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat peristirahatan
kami? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pengasih, dan para rasul telah
mengatakan kebenaran!
Tempat peristirahatan (marqad)
dapat berarti keadaan damai dan sentosa yang mengiringi kematian. Ketika
keadaan tidur ini dihentikan oleh sangkakala, mereka yang tidur dibangunkan
kepada suatu kesadaran tinggi, suatu keadaan pasca-kematian. Marqad juga
berarti tidur-bodohnya orang-orang kafir dengan seluruh keadaan fisik mereka.
Jawaban terhadap pertanyaan,
"Siapakah yang membangunkan kami dari tidur?" adalah: "Tuhan
Yang Maha Pemurah sebagaimana telah la janjikan dan la buktikan melalui
rasul-rasul-Nya." Tentang siapa yang memberikan jawaban ini, timbul tiga
pendapat. Beberapa mufasir berpendapat ini jawaban malaikat, menurut sebagian
lain adalah jawaban orang-orang mukmin dan muslim, sedangkan mufasir lain lagi
berpendapat ini adalah jawaban dari kebenaran yang dulunya tersembunyi dan kini
terpancar dari diri orang-orang kaflr yang tidur tersebut.
إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيعٌ
لَّدَيْنَامُحْضَرُونَ
53. Hanya satu teriakan saja, maka
tiba-tiba mereka semua dikumpulkan di hadapan Kami
Teriakan pertama menandai akhir
kehidupan seseorang di dunia, teriakan kedua menandai masuknya Seluruh manusia
dari alam kematian menuju Hari Kebangkitan, dan teriakan ketiga menandai
dikumpulkannya manusia ke hadirat Ilahi. Tiap peristiwa ditandai dengan satu
tiupan. Karena hanya satu panggilan, satu tiupan ini berarti bahwa cukup dengan
sebuah tindakan saja, seketika itu juga semuanya hadir di hadapan Dia
satu-satunya Yang Mahawujud, semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Pada saat itu
mereka tidak melihat apa pun kecuali Zat-Nya. Peristiwa ini digambarkan dalam
tiga bagian yang berbeda-beda, seperti sebuah gaung, sepanjang Allah
menghendaki, seluruh urusan tinggal menunggu perintah Tuhan yang seketika itu
juga, "Jadilah! Maka Jadilah!" Perintah ini diselesaikan tanpa selang
waktu, sedangkan bagi makhluk untuk menyelesaikan perintah ini dibutuhkan
beberapa tahapan.
Waktu diciptakan oleh Allah untuk
kepentingan kita agar kita berkembang seiring bergulimya waktu. Kita telah
dicerahkan dengan waktu ini, sehingga sebagian di antara kita yang muslim dapat
mengapung dalam lautan tasbih. Sedangkan mereka yang masih tersangkut di batu
nafsu duniawi tenggelam karena arus dan jatuh.
Semua jiwa (roh) akan hadir, karena
semuanya berasal dari satu ledakan cahaya. Pada saat itu tidak mungkin lagi
merasakan keterpisahan, semuanya akan dikumpulkan lagi dalam satu kesatuan yang
padat sebagaimana sebelum Dentuman Besar.
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ
إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
54. Pada hari itu tak ada seorang
pun yang dirugikan sedikitpun, dan kamu tak akan dibalas kecuali sesuai dengan
apa yang telah kamu lakukan
Kata yang digunakan dalam ayat ini
untuk "hari" adalah yaumi, yang juga berarti
"waktu", "periode", atau "era". Dalam konteks
ini, kata yawm berarti keadaan di kemudian hari, di mana pengalaman
dualitas tidak mungkin lagi terjadi, karena dalam dimensi tanpa ruang dan waktu
yang ada hanyalah hakikat.
"Dan kamu tidak akan dibalas
kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu lakukan." Setelah Seluruh amal
dan niat kita di dunia ditaruh di timbangan, maka kita akan melihat balasannya (faza').
Kita akan memperoleh pahala dan siksa masing-masing. Di akhirat, niat-niat kita
akan terbongkar dengan sendirinya secara penuh dan seluas-luasnya sehingga tak
seorang pun yang dapat berbuat curang, termasuk kepada dirinya sendiri, karena
alam amal dunia telah berakhir dan seluruh kegelapan serta kebodohan telah
dihilangkan.
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ
55. Sesungguhnya penghuni surga
pada hari itu disibukkan dengan kesenangan
Dalam kehidupan fisik, jiwa juga
merasakan kebahagiaan, kesadaran dan bisa mencapai suasana pensucian akhir
tersebut. Suasana surga diperoleh ketika noda yang melekat di hati dibersihkan
dan disucikan.
هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ
مُتَّكِؤُونَ
56. Mereka dan istri-istri mereka
berada dalam perlindungan, berbaring di atas ranjang yang tinggi
Jiwa mereka dalam kedamaian karena
dipasangkan dengan apa yang menetralkan dan menenteramkannya. Pasangan (zawj)
bersatu dengan lawan jenisnya.
"Dalam perlindungan, berbaring
di atas ranjang yang tinggi": penderitaan yang timbul karena dualitas
digantikan dengan netralitas penuh dan ketenangan mutlak. Mereka sekarang
berada dalam perlindungan (zhill) Tuhan Yang Mahawujud, segar dalam
kesejukan Yang Esa, tempat perlindungan akhir.
Bagi mereka yang baru pertama kali
mendengar Alqur-an, ayat-ayat semacam ini memberi makna khusus, karena
lingkungan Arab, tempat awal perkembangan Islam, merupakan padang pasir yang
panas dan gersang. Perlindungan yang sejuk, oleh karenanya, dianggap
mendatangkan kebahagiaan, ketenangan, dan kesenangan.
لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَ
57. Di surga mereka memperoleh
buah-buahan dan apa pun yang mereka minta
Dalam keadaan bebas dan bahagia ini,
apa pun yang mereka minta, terkabul. Hasrat apa pun yang timbul dipenuhi oleh
benda yang diinginkan tersebut. Ini berarti tidak ada lagi hasrat atau
keinginan terhadap kekayaan.
سَلَامٌ قَوْلًا مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ
58. Salam! Ucapan dari Tuhan Yang
Maha Penyayang
Keselamatan (salam), sapaan
dan sambutan dari Tuhan Esa Yang Maha Penyayang, semuanya dirasakan oleh
mereka. Sambutan tersebut berasal dari Hal Tuhan (yaitu Zat Tuhan yang bersatu
dengan Sifat Tuhan), yang berbeda dengan Zat tanpa Sifat.
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ
59. Dan berpisahlah pcida hari
ini, hai orang-orang yang berbuat jahat!
Karena keingkaran dan kukuhnya
khayalan mereka dengan terus berada dalam bangunan yang mereka dirikan di dunia
materi ini, dengan tidak mempertanyakan kesementaraan dan ketidakkekalannya
yang telah nyata, mereka melakukan perbuatan dosa. Semakin perasaan-perasaan
ini dipuaskan dan dibiasakan, semakin bertambah perasaan-perasaan ini minta
dipenuhi. Semakin kita memuaskan hasrat-hasrat kita, semakin besar hasrat kita
menuntut dipuaskan. Ibarat api: semakin dikobarkan, semakin panas ia mengamuk,
hingga habis terbakar tak terkendali. Lawannya adalah air sejuk kedamaian (salam),
dan inilah sesungguhnya makna dan tujuan Islam.
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا
تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
60. Bukankah Aku telah
memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan?
Sesunggubnya setan itu mnsubyang nyata bagi kamu
Lagi-lagi suara Kebenaran
menenteramkan hati dengan bertanya, "Bukankah Aku telah menyumpahmu?
Bukankah Aku telah mengikatmu dengan perjanjian, hai Bani Adam, untuk tidak
mengikuti energi yang menghancurkan tersebut, yang memberimu khayalan dan yang
tidak nyata? la adalah musuhmu yang nyata dalam dirirnu!" Keadaan energi
inilah yang dalam Alquran disebut sebagai syaitban, namun diterjemahkan
dan dipahami secara salah sebagai satan dalam bahasa Inggris. Syaithan
akan selalu muncul. Godaannya menguji keimanan seseorang, untuk melihat apakah
fitrahnya telah siap untuk kebahagiaan batin tersebut atau tidak. Ciptan Allah
itu tidak sia-sia, dan Allah tidak menempatkan sesuatu di tempat yang salah. la
tidak menghadapkan seseorang ke hadirat-Nya kecuali orang tersebut benar-benar
telah siap untuk itu dengan kesadaran batin dan menjauhi tingkah-tingkah syaithan.
Kita memiliki dua pilihan: terlena
dan tertarik ke jalan yang seolah-olah mudah, atau menyerahkan urusan ke tangan
Yang Maha Pemurah, percaya bahwa apa pun yang datang kepada kita adalah untuk
kebaikan kita juga, yakin bahwa pengetahuan batiniah dan lahiriah akan menyatu.
Ayat 61-70
وَأَنْ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
61. Dan hendaklah Kamu
menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus
Inilah jalur langsung, garis lurus,
jarak terdekat antara dua titik, antara apa yang terlihat yaitu
"kita" dengan Allah. Inilah jalan Islam, jalan penyerahan diri yang
sejati. Diambil dari bahasa Arab, kata kerja 'abada, yang diterjemahkan
dalam ayat ini sebagai "menyembah", jika diterapkan untuk jalan,
berubah menjadi mu'abbad, yang berarti mulus dan laik pakai. Ketika
seseorang beribadah ('ibadah, dari akar kata yang sama), dalam pemujaan
yang sesungguhnya, maka tak akan ada lagi aral rintangan dan jalan menuju Allah
menjadi mulus dan mudah. Jadi jalan ini tidak terlihat layaknya sebuah garis
meskipun kedua titiknya berhubungan. Kita baru bisa melihat garis ini jika kita
menapaki jalan sampingannya, tetapi jika jalan itu sejajar dengan penglihatan
mata kita, maka garis itu tidak lagi terlihat lurus. Hanya satu titik yang
terlihat, titik itu adalah huruf 'ba' pada bismillah (dengan Nama
Allah) karena kita telah percaya kepada Nama Allah, dan Nama itu merupakan
tanda panah ke arah tujuan tunggal.
وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا أَفَلَمْ
تَكُونُوا تَعْقِلُونَ
62. Sesungguhnya setan itu telah
menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak dapat
memahami?
Sejumlah besar negara dan
penduduknya telah, sedang, dan akan terus berada dalam kesesatan. Tidakkah
manusia melihat, menimbang, dan belajar dari sejarah dan pengalaman hidupnya
sendiri? Rahmat Allah itu sama seperti pohon yang meskipun menghasilkan banyak
benih, namun sebagian besar benih itu tidak tumbuh. Kebanyakan manusia seperti
ini, tanpa menggunakan akal, lepas kendali, dan tidak mampu berpikir dan
merenungi apa yang terjadi pada mereka atau tidak mampu merenungi tanda-tanda
yang datang kepada mereka dari horison lahiriah maupun batiniah.
هَذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
63. Inilah Neraka Jahanam yang
dijanjikan kepadamu (jika kamu mengikuti setan)
اصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
64. Bakarlah dirimu di dalamnya
pada hari ini karena kamu dahulu mengingkari
Kata Arab untuk "neraka"
adalah jahannam yang berarti "kawah yang sangat dalam", yang
di sana tak ada suasana kedamaian sesaat pun, sebuah jurang (hawiyah)
yang penghuninya terus jatuh menuju dasarnya, seperti sebuah parasut dalam
terjun bebas namun buminya tak pemah terlihat dan parasutnya tak pemah terbuka.
Inilah keadaan alam kemudian, kawah
yang sangat dalam, tak ada yang betah di dalamnya. Manusia ditakdirkan untuk
mencari kemapanan dalam segala hal, dalam hubungan dengan sesama, dalam
berbagai situasi, juga dalam ilmu. Pada dasarnya ia selalu mencari yang
bersifat permanen dan bertahan. Keadaan neraka tidak demikian, neraka
benar-benar kacau dan terus-menerus bergejolak. Inilah neraka kekal yang
dijanjikan bagi orang-orang yang mengingkari kebenaran dan mengingkari dirinya
sendiri terhadap cahaya ilmu, dan yang mencegah kesadaran alamiah dan
pencerahan diri.
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا
أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
65. Pada hari ini akan Kami tutup
mulut mereka, dan tangan mereka akan berbicara kepada Kami, dan kaki mereka
akan memberi kesaksian terhadap apa yang telah mereka usahakan.
Lidah dibungkam tetapi kaki dan
tangan memberi kesaksian apa yang telah mereka lakukan. Apa pun hasilnya, ainal
seseorang akan melekat dalam jiwanya. Keadaan kita ketika itu mencerminkan
tidak hanya amal fisik lahiriah namun juga keadaan batin.
Dalam ilmu kedokteran kita
mengetahui bahwa jika kita mengambil satu sel saja dari satu bagian tubuh kita,
tangan misalnya, maka kita dapat mengungkap keadaan fisiologi tubuh kita
keseluruhan. Dari satu sel tangan, atau bahkan dari kuku tangan, dimungkinkan
untuk mengungkapkan apakah, misalnya, ada sebuah ketidakseimbangan atau
kekurangan dalam kondisi keseluruhan tubuh orang yang bersangkutan dan apakah
ia terjangkit suatu penyakit tertentu. Lebih lanjut, struktur genetik tiap sel dapat
merekonstruksi seluruh sistem yang menyatu dalam tubuh, ibaratnya semacam
holograf biologis.
Karena setiap sel dalam tubuh memuat
seluruh keadaan seseorang, maka sel itu menjadi saksi terhadap keadaan dirinya
secara keseluruhan. Kaki dan tangan akan memberi kesaksian terhadap niat
seseorang, mengapa ia, di mana ia, dan mengapa ia melakukan apa yang
dikerjakannya. Amal seseorang ditentukan oleh niatnya. Setelah mati, seluruh
kekuatan fisik hilang. Apa yang tertinggal dalam sel-sel tubuh fisik juga memberikan
pengaruh kepada jiwa yang sekarang berada di alam tanpa waktu dan mang,
seluruhnya bergaung dengan realitas yang diperolehnya. Bahkan tak ada
perantaraan kata-kata lisan, yang menjadi sasaran kebohongan dan oleh karenanya
lisan hanya berlaku di alam dualitas (waktu dan ruang). Hanya kenyataan yang
sebenarnya dari apa yang telah diperoleh seseorang yang diakui dan dialami.
وَلَوْ نَشَاءُ لَطَمَسْنَا عَلَى أَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا
الصِّرَاطَ فَأَنَّى يُبْصِرُونَ
66. Dan jika Kami menghendaki,
pastilah Kami bilangkan (penglihatan) mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba
mencari jalan, namun bagaimana mungkin mereka dapat melihat?
Jika realitas telah dibalikkan, tak
akan ada lagi pengli-hatan baik mata lahiriah maupun mata batiniah. Kegunaan
mata adalah sebagai alat untuk melihat objek-objek yang dapat diindra. Dan dari
mata lahiriah muncullah intuisi, indra batin. Indra lahiriah menjadi alat yang
melayani indra batin.
وَلَوْ نَشَاءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلَى مَكَانَتِهِمْ فَمَا
اسْتَطَاعُوا مُضِيًّا وَلَا يَرْجِعُونَ
67. Dan jika Kami menghendaki,
pastilah Kami ubah rupa mereka di tempat mereka (berada); Maka mereka tidak
sanggup berjalan lagi atau kembali
Ayat ini menjelaskan tentang rahmat
dan kekuasaan Allah yang tak putus-putusnya. Jika Dia menghendaki, Dia dapat
mengubah rupa manusia dengan serta merta untuk menyingkap watak asli mereka.
Bagaimanapun, Dia mengizinkan mereka terus berkembang.
Dalam diri manusia terkandung semua
kemungkinan alam, baik tinggi maupun rendah. Manusia adalah alam kecil. Dalam
dirinya terdapat semua karakter yang membentuk seluruh hirarki dari tiap jenis
makhluk hidup. Ketika manusia tidak berperilaku baik dan hidup mencapai
potensinya sebagai manusia, maka ia akan terjatuh kepada keadaan yang rendah
berupa kecenderungan-kecenderungan hewani dalam hierarki alam, karena tak ada
sesuatu yang statis. la pasti berkembang atau maju.
Binatang telah digambar dan
dipatungkan di beberapa kebudayaan dunia pada berbagai zaman, dalam bentuk
piramid di Mesir, di kalangan orang-orang Zoroaster, orang-orang Budha di
China, dr India, dan lain-lain. Orang yang bijaksana atau orang yang
berpengetahuan sering digambarkan naik kereta pertempuran yang ditarik oleh seekor
anjing atau babi, melambangkan keunggulan dirinya melawan
kecenderungan-kecenderungan jiwa yang rendah.
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا
يَعْقِلُونَ
68. Dan siapa saja yang Kami
panjangkan umumya, niscaya Kami kurangi dia dalam kejadiannya. Apakah mereka
tidak memikirkan?
Kata Arab 'ammara', yang
diterjemahkan dalam ayat ini sebagai "memanjangkan umur", asalnya
berarti "membangun, mendirikan, memunculkan". Nakkasa yang
diterjemahkan sebagai "mengurangi" asalnya berati "memutar, mengurangi,
menarik dan kembali ke keadaan semula". Pengertiannya hanyalah "apa
yang naik, suatu saat harus turun". Ayat ini menyinggung hukum alam bempa
fitrah siklus dari setiap individu dan setiap sistem alam.
"Apakah mereka tidak memikirkan
(afala ya 'qilun)? Apakah manusia hanya sedikit merenung dan
mampukah mereka melihat bahwa di samping ada bangunan yang menjulang ada pula
bangunan yang runtuh, bahwa setiap pertumbuhan mengandung di dalamnya proses
kebalikannya, penuaan? Dengan menggunakan kemampuan akal, tidaklah sulit
memahami bahwa alam fisik dan dualitas harus memiliki alam tandingannya yaitu
nonflsik dan nondualitas, yaitu suatu alam setelah kematian tubuh fisik.
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ
إِلَّا ذِكْرٌوَقُرْآنٌ مُّبِينٌ
69. Dan Kami tidak mengajarkan
syair kepadanya, dan bersyair tidaklah layak baginya. Alquran ini tidak lain
banyalah sebuah peringatan dan bacaanyang jelas.
Meskipun ayat ini berkenaan dengan
Nabi Muhammad dan Alquran namun ayat ini juga berkenaan dengan kita, berkenaan
dengan orang-orang yang sering menerima pandangan berupa anugerah mulia yaitu
kesadaran diri yang dengannya mereka dapat melihat realitas yang lebih tinggi.
Kata Arab untuk "syair" adalah syi'r, dari akar kata kerja (sya'ara)
yang juga berarti "merasakan". Ayat ini menegaskan bahwa risalah Nabi
Muhammad bukanlah syair, tidak bersifat emosional atau sentimental. Syair tidak
layak bagi seorang nabi. Nabi adalah seorang yang memberi kabar (naba')
kepada orang lain dari alam abadi tentang kesadaran lain. Nabi adalah seorang
pembawa peringatan (dzikr) tentang pengetahuan yang telah ada dalam diri
kita dan seorang yang menyingkirkan tabir kebodohan dan kegelapan. Kata yang
diterjemahkan sebagai "bacaan" adalah Alquran, yang dibaca sebagai
sebuah penngatan. Alquran adalah sebuah peringatan yang memoles bagian dalam
hati sehingga apa yang ada di dalamnya—realitas diri—terpantulkan secara jelas.
Alquran tak tertandingi bahkan oleh
syair terbaik seka-lipun. Alquran adalah wahyu langsung dari Sumber Ilahi,
melalui Malaikat Jibril, kepada Rasulullah yang terpercaya (al-amin).
لِيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى
الْكَافِرِينَ
70. Agar (Nabi) memberi peringatan
kepada orang-orang yang hidup, dan untuk membuktikan kebenaran kata-kata kepdda
orang-orang kafir
Ayat ini memberi pengertian bahwa
apa yang biasanya dianggap hidup belum tentu "hidup". Aktivitas badan
fisik yang otomatis bukanlah keadaan atau kondisi yang sepenuhnya hidup. Ukuran
ini hanya bersandar pada tingkat hidup yang terendah. Seseorang mungkin secara
lahiriah bernafas, jantungnya berdetak, namun sebenarnya secara batiniah mati.
Ada sebuah kisah seorang gum sufi yang sedang berjalan dengan muridnya. Sang
guru mulai menunjuk kepada orang-orang, satu demi satu, seraya berkata,
"Tak ada orang di mmah, tak ada orang di rumah." Akhirnya murid yang
bingung tersebut bertanya kepada gurunya apa yang ia maksud. Sang guru
menjawab, "Mereka secara lahiriah kosong, secara batiniah mati."
Peringatan hanya datang kepada mereka yang sadar terhadap apa yang terjadi di
sekelilingnya dan dalam diri mereka sendiri, kepada orang-orang yang dapat
mendengar dan memiliki hati yang mumi.
Alquran menegaskan hal ini, "Sesungguhnya
Alquran ini adalah bacaan jelas yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara.
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan" (56:
77-79). "Mereka yang disucikan" tidak hanya berarti mereka yang dalam
keadaan berwudu yang merupakan syarat untuk menyentuh Alquran secara fisik.
Syarat ini penting, namun, lebih jauh dari itu, ayat ini merujuk kepada mereka
yang terfokus perhatiannya pada realitas dan sepenuhnya hadir dan sadar akan
apa yang sedang terjadi pada saat ini. Ketika pikiran seseorang berada di
tempat lain, tidak sepenuhnya berkonsentrasi terhadap apa yang ada, ia
menggantungkan hidupnya kepada khayalan dan mati terhadap realitas yang
benar-benar ada; ketika pikiran terus khawatir terhadap kemarin atau esok, maka
ia tidak hadir melainkan terjebak dalam khayalan. Jadi, di manakah kita?
Orang yang lebih senang mengikuti
buku biografinya sendiri daripada "Kitab" adalah orang yang salah
memahami Realitas yang terbuka baginya setiap saat. Karena itu, seorang rasul
hanya dapat memberikan peringatan dan kabar gembira kepada mereka yang hidup (hayaf)
yang bersemangat dalam hidupnya. Arti Islam adalah "berserah diri".
Jika seseorang berada dalam keadaan berserah diri sepenuhnya, berarti ia tidak
takut atau dibayangi rasa gelisah tetapi benar-benar hadir, dan berarti
benar-benar hidup.
Ayat ini menegaskan kembali ayat 11,
dan dengan cara ini, Alquran mengulang-ulang untuk menjelaskan lebih lanjut
makna, "Kamu hanya memberi peringatan kepada mereka yang mau mengikuti
peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih walaupun ia tidak
dapat melihat-Nya."
"Dan untuk membuktikan
kebenaran ucapan kepada orang-orang kafir": ucapan, kebenaran, akan
dibuktikan kepada orang-orang kafir. Istilah kafir dalam Alquran mengacu
kepada manusia yang menutupi hatinya dengan cara tertentu. Menutupi berarti
menambah tuhan lain atau menambah tujuan ibadah, siapa pun atau apaun
bentuknya, baik keluarga, negara, kekayaan dan harta milik, maupun reputasi,
dan tidak mengizinkan batinnya menyatu dengan lahimya. Kufur adalah
pengingkaran terhadap tauhid. Ciri yang terlihat jelas dari kekafiran adalah
munculnya kecenderungan-kecenderungan hewani. Peringatan tentang azab akhirat
ditujukan kepada orang-orang kafir. Mereka sendiri akan diingkari, selamanya terikat
oleh belenggu kekufuran karena batasan-batasan yang mereka coba paksakan kepada
Yang Mahawujud. Sekali kesempatan untuk bembah telah hilang karena kematian,
berarti kemungkinan bagi mereka untuk keluar dari penjara ini pun hilang.
Ayat 71-83
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ
أَيْدِينَا أَنْعَامًافَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ
71. Apakah mereka tidak melihat
bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan bagi mereka—dari apa yang Kami
ciptakan dengan kekuasaan Kami—binatang temak, lalu mereka menguasainya
Kata untuk "binatang
temak", an'am, berhubungan dengan kata kerja yang berarti
"hidup dalam kenyamanan dan kemudahan" (na'ama) dan kata benda
ni'mah, yang berati "berkah atau karunia". An'am secara
khusus mengacu kepada lembu, domba, unta, dan kambing. Sesuai tradisi budaya
Islam masa awal dan sunah Nabi, jumlah binatang yang dapat kita pergunakan dan
dapat kita makan terbatas. Sama halnya dengan ikan. Jika tidak demikian, perut
kita akan menjadi kuburan semua jenis makhluk.
Allah berfirman dalam ayat ini bahwa
binatang-binatang ini diciptakan dari "Tangan Kami" di sini berarti
"dari tindakan menciptakan". Tidakkah manusia memperhatikan
binatang-binatang ini, yang demikian bermanfaat baginya dan dengan mudahnya ditundukkan
di bawah kekuasaannya, sebagai suatu tanda kasih sayang dan kebijakan Allah?
Perenungan akan hal ini akan menunjukkan bahwa Tangan Tuhan Yang Mahawujud ada
di balik semua anugerah yang diberikan kepada manusia untuk kepentingannya.
وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا
يَأْكُلُونَ
72. Dan Kami tundukkan
binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya mereka tunggangi dan
sebagiannya mereka makan
Menurut pendapat manusia, manusialah
raja dari kerajaan binatang. Manusia telah dimuliakan meskipun ia makhluk
jasmaniah, karena ia makhluk termulia, sedangkan binatang ditundukkan (dzallala)
di bawah kekuasaannya. Seluruh binatang yang berada di bawah kekuasaannya harus
digunakan dengan cara-cara tertentu, masing-masing dalam batas-batas tertentu
yang saling melengkapi, dalam rangka memberdayakan manusia untuk hidup dalam
kondisi yang memadai. Manusia diberi makanan, perlindungan, pakaian, dan
mobilitas sehingga ia dapat bertasbih kepada Yang Maha Pencipta seluruh alam ini,
mengakui seraya memuji bahwa semua berasal dari-Nya.
وَلَهُمْ فِيهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُ أَفَلَا يَشْكُرُونَ
73. Dan dari binatang-binatang
tersebut mereka memperoleh manfaat-mafaat lain dan juga mereka memperoleh susu
untuk diminum. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
Manusia memperoleh manfaat dari
karunia alam ini dengan berbagai cara. Semuanya, mulai dari kulit sapi sampai
susunya dapat dimanfaatkan. Secara jelas ayat-ayat menunjukkan bahwa seluruh
alam akan tunduk kepada manusia sebagai makhluk paling sempurna, asalkan
manusia meninggikan martabatnya dengan mengembangkan potensi dalam dirinya agar
menjadi khalifah Allah di muka bumi. la mempunyai pilihan antara merendahkan
martabatnya hingga ke tingkat makhluk di bawahnya yang memalukan ataukah
meninggikan martabatnya setingkat di atas malaikat. Jalan terbaik untuk sampai
ke tingkat yang lebih tinggi tersebut yaitu dengan cara mengenali perwujudan
Allah dalam segala sesuatu dan dengan tidak melupakan kewajiban kita kepada
Allah untuk bersyukur atas apa yang telah Dia sediakan, baik dalam kesusahan
maupun dalam kelapangan.
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لَعَلَّهُمْ
يُنصَرُونَ
74. Dan mereka mengambil
tuhan-tuban (lain) selain Allab (dengan harapan) agar mereka mendapat
pertolongan
Tuhan-tuhan (alihah) ini
mengacu kepada sesuatu, nyata maupun tidak, yang dipuja, atau sesuatu yang
membuat seseorang terpesona atau berhubungan dengan benda tersebut dengan
cara-cara yang lebih dari biasanya. Kita mungkin senang tidur, namun kita tidak
selalu berpikir tentangnya. Ayat ini mengacu kepada situasi atau sesuatu yang
diagungkan oleh seseorang, yang dinilai lebih tinggi bahkan dengan nilai
takhayul.
Orang-orang yang menuhankan
"tuhan-tuhan selain Allah" berada dalam kesesatan, dan keadaan ini
dialami sebagian besar manusia. Hal ini merupakan sesuatu yang cenderung kita
lakukan. Mereka yang berada dalam kesesatan berharap tuhan-tuhan itu akan
memberikan kepada mereka kebahagiaan dan penyelesaian yang memuaskan.
Ketika berdiri untuk ibadah salat,
kita mengucapkan Allahu Akbar yang berarti "Allah Mahabesar".
Lafal takbir ini menegaskan bahwa kita telah mencari ke mana-mana sesuatu
terbesar dalam kehidupan ini dan telah menemukan hanya Allahlah Sang Pencipta
yang layak disembah. Allahu Akbar berarti pula Allah lebih besar dari
apa pun yang dapat kita bayangkan.
لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَهُمْ وَهُمْ لَهُمْ جُندٌ
مُّحْضَرُونَ
75. Berhala-berhala itu tidak
memiliki kekuasaan untuk menolong mereka; padahal mereka dipersiapkan untuk
menjadi tentara
Semua hal ini yang kita pikir akan
menyelamatkan atau membantu kita—keluarga, kekayaan, jabatan, negara, atau apa
pun hanyalah obat sementara. Kita berasal dari rahim dan tubuh kita berada
dalam perjalanan menuju makam. Di antara dua tempat tersebut, kita hendaknya
terjaga dan sadar akan satu kesatuan yang meliputi perjalanan ini. Inilah jalan
dan rencana Allah, dan jika seseorang berpikir bahwa ia selamat dari rencana
Allah, berarti ia berada dalam kesesatan, "Orang-orang kafir itu membuat
rencana dan Allah pun membuat rencana, dan Allahlah sebaik-baik pembuat rencana"
(3: 54).
Tuhan-tuhan yang kita anggap
demikian penting tidak akan pemah mampu menyelamatkan kita, sekalipun mereka
diberi kekuatan, tentara atau energi yang luar biasa. Kekuatan apa pun yang
kita sandarkan kepada mereka masih kalah dalam dunia yang penuh keterbatasan
ini (dibandingkan kekuatan Allah), karena dunia ini berada dalam penguasaan
Sang Sumber segala kekuatan. Di dunia ini saja mereka tak dapat menyelamatkan
kita, lalu bagaimana mungkin mereka menyelamatkan kita di kehidupan kemudian?
فَلَا يَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ
وَمَا يُعْلِنُونَ
76. Maka janganlah ucapan mereka
menyedihkan kamu (hai Muhammad). Sesungguhnya, Kami mengetahui apa yang mereka
rahasiakan dan apa yang mereka wujudkan secara nyata
Jangan sedih jika mereka
memperolok-olokmu. Jangan pedulikan pendustaan mereka. Selama masa-masa awal
kenabiannya, tak lebih dari dua belas, atau paling banyak dua puluh pengikut
Nabi di Mekkah. Pada waktu itu usia Nabi empat puluh lebih, namun bukanlah
jumlah pengikut atau umur Nabi yang dijadikan patokan.
Manusia cenderung berpegang teguh
kepada cara-cara dan kebiasaan yang salah untuk menyembunyikan ketakutan dan
kebodohannya, sering pula ia menyerang orang lain sebagai cara menyembunyikan
hal ini, sebagaimana orang-orang yang dimaksud dalam ayat 30 yang menyerang
dengan olok-olok karena ancaman terhadap khayalan dan kebiasaan mereka. Tetapi
Allah berkata, "Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang
mereka wujudkan secara nyata."
Allah mengetahui bahwa orang-orang
ini menyembunyikan dalam diri mereka penderitaan akibat keterasingan mereka
(dari-Nya) dan mengetahui pula bahwa apa yang mereka katakan justru menegaskan
adanya keganjilan dalam fitrah mereka. Mereka terpisah dari fitrah mereka,
perhatikanlah kesempurnaan cara Allah menegaskan: mereka disatukan dengan
pengingkaran dan kekafiran mereka. Salah seorang filosof besar muslim Haydar
'Amuli berkata, "Seluruh alam ini terjadi karena tauhid. Tauhid adalah
sum-ber jalan Islam dan alat untuk mencapai baik surga maupun neraka."
Orang kafir memamerkan nasibnya sendiri.
"Tak ada kontroversi maupun
perselisihan tentang Islam," tegas sebuah hadis. Baik seseorang dalam
Islam maupun di luar Islam. Muslim sejati tidak memasuki kontroversi tersebut.
la hanya memenuhi panggilan jiwanya. Jika panggilan itu terdengar, itu karena
yang bersangkutan memiliki alat pendengaran yang baik untuk mendengarkan seruan
tersebut. Jika orang tidak memiliki alat pendengaran tersebut, yang menandai
kehidupan sejati, maka ia tidak akan mampu mendengarkan seruan jiwanya.
Orang-orang yang menyeru orang lain kepada jalan Allah (dakwah) tidak pernah
merasa kecewa. Mereka berkata, "Ini urusan Allah, bukan urusan kami."
Orang seperti ini telah menyerahkan dirinya kepada panggilan jiwanya.
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِن نُّطْفَةٍ
فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ
77. Apakah manusia tidak
memperbatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani? Namun lihatlah,
(akhirnya) ia menjadi musuh yang nyata!
Akar kata kerja dari insan,
kata yang digunakan dalam ayat ini untuk merujuk kepada manusia, berarti
"menjadi pertemanan, akrab, intim". Manusia pada dasarnya
menginginkan keakraban dan keintiman, yang berarti mencari kepuasan pribadi dan
sosial serta saling berhubungan dengan makhluk lainnya, maupun dengan seluruh
alam. Oleh karena itu, ia secara naluriah menjauhkan diri dari apa yang tak
diketahuinya, dari ketidakakraban. Dorongan utama untuk bersatu terlihat dari
keinginannya untuk mewujudkan niat-niatnya dalam perbuatan.
Allah bertanya, "Tidakkah
manusia menyadari penciptaan dirinya yang berasal dari air mani, sesuatu yang
hina, namun dalam tubuh fisik ini ada program genetik, huruf-huruf kimiawi yang
melaluinya pesan-pesan penciptaan disandikan?" Risalah kenabian Alquran
menjelaskan sebab-sebab biologis asal-muasal manusia jauh sebelum ilmu
pengetahuan mengungkapnya. Ketika itu dunia rasional, yang mengantarkan kepada
dunia ilmiah sekarang, masih dipenuhi dengan takhayul. Kata air mani, nuthfah,
berarti sebuah sel hidup.
Namun bukannya berpikir tentang
penciptaanya dirinya oleh Allah dengan perintah-Nya, manusia justru cenderung
untuk berdalih dan berselisih. Permusuhan (khushumah') adalah fenomena
awal dari jiwa rendah manusia. Kondisi permusuhan ini datang secara alamiah
kepada Setiap orang karena tak ada seorang pun yang suka dibingungkan,
dibimbangkan, atau tergantung kepada orang lain. Maka ia menentang kekuasaan
yang memberinya makan. la ingin mandiri, karena dalam batinnya ada gaung sifat
Allah Yang Mahasempurna, Mahakaya. Allah adalah Yang Maha Pemberi, Tuhan segala
sesuatu, bukan ayah atau ibu seseorang.
Budaya tradisional Arab mengenal
aspek kemandirian manusia, yang merupakan sifat positif jika diarahkan, karena
kemandirian membuahkan kekuatan, keberanian, dan sumber daya. Untuk
mengembangkan sifat ini secara positif, penduduk kota membawa anak laki-laki
mereka jauh dari ibunya sejak usia dini dan menitipkannya di tempat khusus
penitipan yaitu pada keluarga-keluarga pedalaman. Tempat yang lebih sehat untuk
anak adalah lingkungan di mana pengaruh sosial dari kehidupan kota yang negatif
dapat dihapuskan dan kasih sayang ibu yang berlebihan dapat diminimalisir.
Anak-anak ini terus pulang-pergi dari rumahnya ke kampung tempat penitipannya
hingga umumya sekitar tujuh tahun. Dengan cara ini, nalurinya untuk mandiri
dikembangkan dengan cara yang positif dan bertahap.
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي
الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
78. Dan ia membuat perumpamaan
bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya. la berkata: Siapakah yang akan
menghidupkan tulang belulang yang telah hancur lebur?
Orang pembantah ini bertanya,
"Siapakah yang akan menghidupkan kembali tulang belulang yang telah hancur
luluh?" "la melupakan kejadiannya!" tegas Allah. Apakah
penghidupan kembali manusia setelah matinya lebih mencengangkan dan lebih sulit
dari penciptaan awalnya? Seluruh unsur planet ini mengandung telur subur yang
darinya manusia tercipta. Meskipun ilmu pengetahuan sekarang telah mampu
menjelaskan proses kejadian manusia dalam rahim, namun yang masih belum
terjawab adalah pertanyaan bagaimana makhluk yang disebut manusia ini tercipta
dari sebuah telur yang dibuahi! Siapa yang memiliki kekuasaan untuk menciptanya
pertama kali tentu dapat menghidupkannya lagi di lain waktu.
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ
بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
79. Katakanlah: Yang akan
menghidupkan mereka adalah Yang menciptakan mereka pertama kali, dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk
Bayi dalam rahim berada dalam
keadaan aman, mengarah kepada kehidupan yang nyaman, karenanya ia tidak ingin
keluar. Namun, pertumbuhannya yang terus-menerus menyebabkan ia lahir disertai
tangisan, karena sistem pendukungnya telah berubah. Mulut yang tadinya tak
berfungsi selama sembilan bulan di rahim tiba-tiba diperlukan. Te-linga yang
tadinya tak pemah mendengar apa pun sebelumnya kecuali debar jantung yang terus
berdetak karena berzikir kepada Allah, diaktifkan untuk membedakan beraneka
ragam suara. Mata mulai terbuka dan mulai terbiasa dengan cahaya. Maka ayat ini
menegaskan "Tuhan Yang Maha Mengetahui Yang Menciptakan pertama kali akan
menghidupkan lagi dalam bentuk yang Dia kehendaki!"
Dia Yang menciptakan secara serentak
dan menjadikannya pertama kali, memiliki ilmu tentang seluruh alam, baik
lahiriah maupun batiniah. Dia mengetahui semua kebimbangan dan keraguan
orang-orang kafir. Dia memiliki rencana untuk setiap unit alam. Dialah Yang
Maha Mengetahui (al-'Alim). Untuk setiap pola alam Dia mengetahui semua
program dan dapat menciptakannya kembali seperti sedia kala, lalu mengapa kita
tetap pada anggapan kita bahwa hidup di dunia ini hanya makan, tidur, dan mati?
الَّذِي جَعَلَ لَكُم مِّنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا
فَإِذَا أَنتُم مِّنْهُ تُوقِدُونَ
80. Dialah (Tuhan) Yang menjadikan
untukmu api dari kayu hijau, dan lihatlab! Kamu nyalakan (api) darinya
Sekali lagi Allah meminta manusia
memperhatikan siklus penciptaan benda lain yang akrab dengan manusia dan
darinya manusia memperoleh manfaat langsung. Kayu hijau diubah bentuk sehingga
dapat dinyalakan dengan api. Dengan contoh ini kita diajarkan untuk
mernperhatikan tentang hal-hal yang berlawanan. Dari air muncullah api: kayu
hijau yang basah, yang unsur pokoknya adalah air, jika mengering, memasuki fase
berikutnya yang memunculkan sifat panas dan keringnya api. Jadi air dan api
memiliki hubungan erat, meskipun keduanya memiliki sifat yang berlawanan. Sifat
keduanya yang berlawanan biasanya menyebabkan satu sama lain berusaha saling
menguasai. Baik air yang dapat memadamkan api, atau api yang mendidihkan air
hingga air tersebut hilang sebagai uap. Sifat alam sungguh indah bahkan
benda-benda yang sangat bertentangan sekalipun, melalui fase perubahan bentuk,
dapat secara bersama-sama muncul dalam sebuah proses yang berguna bagi manusia.
Ayat ini merupakan sebuah
perumpamaan bagi pensucian jiwa oleh dirinya sendiri; yaitu kayu hijau yang
karena kematiannya berubah menjadi suatu alat perantara yang cocok untuk
menyalakan api cinta Ilahi. Ayat ini juga dapat menjadi perumpamaan bagi mereka
yang mengingkari adanya Neraka di akhirat. Tak dapatkah Dia Yang menciptakan
kayu hijau, dan dari kayu hijau yang telah mati itu Dia menjadikan kayu menyala
yang cocok untuk api, melakukan hal yang sama kepada manusia?
أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُم بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ
81. Dan tidakkah Tuban Yang
menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu?
Ya, tentu saja! Dan Dialah Maha Pencipta (seluruh alam), Maha Mengetahui
Dari membuktikan keberadaan manusia,
Allah berpindah ke horison langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya, "Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di (segenap)
ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran
itu adalah Benar" (41:53). Pertanyaan dalam ayat ini merupakan pertanyaan
historis: Dia Yang menciptakan bumi dan ruang angkasa, tak dapatkah menciptakan
lagi hal yang serupa? Energi itu, situasi itu, yang terjadi karena
perintah-Nya, tak dapatkah diulangi semudah seperti sebelumnya? Suara yang
sangat bergema dari Yang Mahawujud menjawab, "Tentu, karena Dialah Yang
Maha Pencipta, Maha Mengetahui!"
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ
كُنْ فَيَكُونُ
82. Perintahnya, jika Dia
menghendaki sesuatu, hanyalah dengan Dia berkata kepadanya,
"Jadilah!" Maka jadilah ia
Perintah-Nya, perintah untuk
penciptaan dari Zat Yang Mahawujud adalah, "Jadilah!" Dengan hanya
berkehendak, maka terciptalah makhluk yang dikehendaki-Nya tersebut. Kehendak
Tuhan merupakan awal sekaligus akhir. Dari kehendak tersebut, memancarlah
Seluruh alam. Jika di laut, energi ombak memungkinkan timbulnya ombak baru,
segala sesuatu bergerak secara spontan menuju ke ombak baru tersebut sehingga
ombak baru tersebut bertambah besar. Unsur pentingnya adalah kehendak atau
keinginan, yang merupakan dasar bagi perubahan dan gerak, dan kekuasaan yang
merupakan sifat-Nya akan menyelesaikan tindakan mencipta tersebut.
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
83. Maka Mahasuci Dia Yang di
Tangan-Nyalah (terletak) kekucisaan atas segala sesuatu, dan kepada-Nya kamu
dikembalikan
Bagaimana mungkin kita tidak
bertasbih kepada-Nya? Tak ada jalan lain kecuali bertasbih kepada-Nya yang di
Tangan dan Kekuasaan-Nya terletak kontrol dan pemilikan segala sesuatu.
Dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali. Kita tak memiliki tugas apa
pun kecuali secara sadar menyucikan-Nya. Kata Arab untuk menyucikan, tasbih,
juga merupakan nama yang dipakai untuk untaian tasbih yang digunakan oleh
orang-orang mukmin untuk membantu kekhusyukan dalam berzikir kepada Allah.
Tasbih-tasbih ini hanyalah alat untuk membantu kekhusyukan dalam berzikir apa
pun lafal zikir yang dibaca atau apa pun Nama Allah yang disebut. Zikir yang
teratur pada akhirnya akan membiasakan seseorang untuk selalu zikir kepada-Nya
di setiap waktu. Tasbih kita harus terus, karena kemana pun kita memandang,
suka maupun tidak, segalanya berasal dari Allah. Tak hanya hal yang kita sukai
berasal dari Allah, hal yang tidak kita sukai pun berasal dari Allah. Jika
sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi di hadapan kita, itu lantaran kita
secara bodoh melanggar dan melintasi larangan-larangan yang seharusnya tidak
kita langgar. Oleh karena itu, kita mengalami pemulihan atau pembetulan dari
penyimpangan tersebut. Setiap sistem alam membuat reaksi serupa yang
berlawanan. Kita selalu memperoleh apa yang berhak kita teriina. Cinta Allah
menyentak kita untuk sadar tatkala kita telah menyimpang dari jalan yang benar.
Itulah cinta Allah yang memperingatkan kita agar tidak terus berada di jalan
yang berbahaya, agar kita kembali ke jalan yang selamat.
Tak ada yang perlu dilakukakan
kecuali berada dalam keadaan atau senantiasa menyucikan-Nya (tasbih) untuk
berenang di laut kehidupan Islam. Akar kata kerja dari tasbih adalah sababa
yang berarti "berenang". Islam berarti penyerahan diri secara
sungguh-sungguh, secara waspada, secara cerdas, dan secara sadar, bukan
penyerahan diri yang apatis. Berserah dirilah secara cerdas lalu lihatlah
tanda-tanda kekuasaan Allah. Semua tanda-tanda ini menunjukkan cinta Allah
kepada kita. Kita tak dapat membalasnya dengan apa pun kecuali dengan bertasbih
dan bersyukur. Jika kita tidak bertasbih dan bersyukur, kita berada dalam
kerugian dan tak ada yang perlu disalahkan kecuali kebodohan dan keingkaran
kita.
Mahasuci Dia! Kebimbangan adalah
takdir kita. Dengan memperhatikan panorama alam yang membingungkan dan
mencengangkan ini, kita tersesat dalam kebimbangan. Kita hanya dapat bertasbih
dan benar-benar bingung dalam kehampaan yang tak dapat dimengerti ini, baik
terlihat maupun tidak. Kita benar-benar bingung dalam lautan situasi yang
menakjubkan, terus hidup dalam genggaman Tangan-Nya yang memiliki kekuasaan
sempurna atas segala sesuatu. Inilah alam yang berada dalam keseimbangan
sempurna di setiap saat, ia bukanlah huru-hara. Kita semua akan kembali
kepada-Nya, Sang Pencipta kita. Dari-Nya kita berasal, dengan kemurahan-Nya
kita dipelihara dan kepada-Nya kita kembali. Inilah kabar gembira. Kita tidak
terpisah dari-Nya. Kita tercipta karena Allah, dari-Nya kita berasal, dan
kepada-Nya kita kembali: hanya ada satu Allah, Yang Maha Esa dan satu-satunya
Yang Mahawujud. Pintu menuju kepada-Nya adalah melalui penyerahan diri secara
total, terlepas dari semua selubung, konsep, hubungan atau perlindungan duniawi
dari seseorang yang dianggap penting dan nyata, termasuk diri kita sendiri.[]
IKHTISAR
Surah Yasin: Tempat Perlindungan
Yang Aman bagi Hari Kebangkitan
Kita tahu bahwa Alquran merupakan
buku pedoman hidup tertinggi di dunia ini, dan dengan itu ia sekaligus
mempersiapkan kita untuk alam akhirat, alam tanpa batas waktu dan ukuran. Orang
yang buta di dunia ini, yang tak mampu melihat hukum-hukum yang mengatur
kehidupan di alam ini, tak akan pemah mampu melihat ke alam-alam yang lebih
halus, yang meskipun kurang nyata, namun membantu mengatur dunia ini.
Surah Yasin memberi kita pengajaran
yang jelas mengenai jalan-jalan Allah. Surah ini mengandung gambaran yang
menyeluruh tentang tauhid, tentang sifat Yang Maha-wujud, tentang hukum-hukum
yang mengatur kehidupan dan tentang tingkat kebebasan manusia sebagai makhluk
jasmani-rohani.
Surah ini diawali dengan seruan
kepada Nabi, meng-gunakan huruf-huruf sebagai lambang yang darinya bahasa
dibangun sehingga memungkinkan manusia berkomunikasi. Bahasa membedakan
kesadaran manusia dari kesadaran kreatif, dan huruf-huruf berfungsi sebagai
tembok yang membangun bahasa, demikian pula atom-atom berfungsi sebagai zat
penyusun bangunan molekul benda-benda fisik. Huruf dan atom membentuk pola saling
hubungan yang melekat pada hukum "ejaan" dan "tata bahasa",
dengan hukum ini Seluruh makhluk tidak saling tabrakan, dalam makna maupun
bentuknya. Unsur-unsur harfiyah sejajar dan melambangkan kehadiran kimiawi
huruf dan bersifat aktif dalam materi genetik yang membentuk menjadi bermakna.
Perumusan nasib manusia dijelaskan
kepada kita dengan adanya pertanda baik maupun pertanda bumk, sebagaimana
utusan yang dikirim ke Anthakiyah berkata, "Malapetaka ditimpakan kepadamu
akibat perbuatanmu sendiri!" Dinanti maupun tidak, manusia menentukan
nasibnya sendiri. Kita adalah alam bagi diri kita sendiri sekaligus pelaku
dalam alam tersebut. Kita masing-masing adalah pusat alam karena setiap makhluk
di dunia nyata ini berhubungan dengan kita. Dunia kita sesuai dengan apa yang
pantas kita terima. Tak semua orang mampu memahami hal ini, tak semua orang
dapat menerima risalah ini. Oleh karena itu, jika telah menerimanya, selamilah
kedalamannya. Rintangan-rintangan menuju pandangan yang menyeluruh sesuai
keadaan seseorang; ketebalan, kekuatan, kedalaman rintangan itu sesuai dengan
besar-kecilnya harapan, kehendak, ketakutan, dan kegelisahan orang yang
bersangkutan. Dengan kata lain, rintangan itu berbanding terbalik dengan
kemurnian penyerahan diri kita kepada Tuhan Yang Maha-wujud.
Kita juga telah melihat dalam surah
ini bahwa persyaratan seseorang untuk dapat menyampaikan pengetahuan yang benar
yaitu ia tidak boleh mengharap balasan dari siapa pun. la juga harus memiliki
pengetahuan mengenai faktor-faktor dasar yang melandasi realitas dalam
kehidupan ini. la haruslah seorang yang telah dicerahkan dan telah sadar diri.
Seiring kita melangkah, kita tahu
bahwa rasa takut (khasy-yah) merupakan akibat dari kebimbangan,
ketidak-tahuan batas-batas perilaku. Dengan mengamalkan Islam, rasa takut dapat
diubah menjadi tingkatan "iman" yang lebih tinggi, yaitu
"yakin" tentang hakikat Yang Mahawujud. Dari keyakinan ini lahirlah
"takwa", karena sekali seseorang merasa yakin maka ia tidak akan
pemah ingin melangkah keluar dari batasan-batasan tersebut. Orang yang telah
mengikuti jalan risalah kenabian dan dari hal yang kasar ke yang halus;
pertama-tama muncul kesehatan badan, lalu pikiran, kemudian akal dan akhirnya
jiwa.
Dalam surah Yasin juga ditegaskan
bahwa kitalah yang menentukan nasib kita sendiri. Yang Mahawujud berkata,
"Dan Kami tidak menurunkan kekuatan atau malaikat yang tidak terlihat dari
langit dan tidak layak Kami menurunkannya." Surah ini menegaskan bahwa
niat dan amal kitalah yang menentukan hasil akhir kita. Jika amal kita jelek,
karena amal tersebut tidak mengikuti arus hukum alam yang berlaku, berarti kita
telah mengundang malapetaka atas diri kita sendiri.
Alam ini luas dan mengagumkan. Kita
semua adalah gaung Dentuman Besar. Seluruh alam meledak menjadi besar, jadi
jika kita sendiri tidak tumbuh dalam kenikmatan batiniah, kita akan jatuh
sakit, karena kita tidak mengikuti ketetapan alam. Jika kita tidak membuyarkan
khayalan kita, maka kita tidak akan bisa larut dalam kebahagiaan yang luas,
abadi, dan besar.
"Mata air yang dari padanya
hamba-hamba Allah mi-num, sambil mengalirkannya sepuas-puasnya" (76:6).
Inilah makanan sesungguhnya untuk hati. Jika kita tidak meng-gaungkan proses
perkembangan alam dalam diri kita, maka kita akan tertindas dan tertekan, kita
akan tersesat dan hancur di jalan yang salah. Contoh jelas adalah kehancuran
kaum di kota Nabi Luth. Mereka homoseks, rusak moral, menuruti nafsu a-susila
dan melakukan perbuatan yang tidak wajar. Karena cara alam adalah membesar, ini
untuk mengatakan, keteraturan alam disebabkan karena perkembangannya, maka
energi kaum Luth yang bertentangan (dengan alam) dan meresahkan itu
mempengaruhi kondisi di sekeliling mereka yang pada akhirnya menyebabkan
kehancuran mereka. Pola perilaku yang mereka pilih bertentangan dengan alam,
dan energi itu sendiri menyebabkan bencana alam yang akhirnya membinasakan
mereka. Alam hanya menegaskan kelaliman mereka atas diri mereka sendiri sejajar
dengan keterasingan batiniah. Ini bukan takhayul; ini adalah tauhid. Kita tidak
terpisah dari alam; perbuatan kita mempengaruhi seluruh alam karena kita
berinteraksi dengannya. Rahasia seluruh amal kita terletak dalam niat kita.
Dalam Alquran kita mendapatkan bahwa
amal baik yang dilakukan dengan niat ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa,
akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Amal jelek, sebaliknya,
menghasilkan balasan yang nilainya setimpal. Sungai amal yang kita alami
seiring bergulimya waktu, mengalir menuju arah tertentu. Apa pun yang jatuh ke
dalam arus tersebut mengalir selaras dengan arah arus dan semakin lama menjadi
semakin besar. Jika kita berbicara searah dengan arah angin, misalnya, suara
kita akan bertambah nyaring. Sebaliknya jika kita berbicara berlawanan dengan
arah angin, maka suara kita akan lenyap. Angin takdir membawa beraneka ragam
berkah Allah. Apa pun yang bergerak searah angin sepoi-sepoi ini berada dalam
satu berkah bersama dengan ketetapan dan akan tumbuh serta bertahan.
Hukum-hukum yang mengatur kehidupan,
cepat atau lambat, akan menimpa kita jika kita melanggarnya baik karena
kecerobohan kita atau karena kebodohan kita, baik sadar maupun tidak; tugas
kita adalah mengetahui hukum-hukum tersebut, mengetahui di mana seharusnya kita
menarik garis dan mengatahui bagaimana caranya kembali ke jalan yang lurus.
Dikatakan bahwa jalan lurus (ash-shirath al-mustaqim) lebih tajam dari
mata pedang Damaskus. Yang dimaksud dengan ketajaman di sini adalah kesadaran,
kesadaran yang terus, abadi, bersinar untuk kepentingannya sendiri, bukan
kesadaran terhadap keadaan yang diciptakan secara khusus. Untuk memulainya,
seseorang harus sadar tentang satu hal atau hal lainnya, namun kesadaran
tentang sesuatu, pada dasarnya, merupakan kelalaian, karena kesadaran terhadap
sesuatu mungkin menyebabkan terlupakannya hal lainnya. Bagaimanapun, jika seseorang
selalu sadar diri, berarti ia terbuka dan tersedia. Pada keadaan ini, ilmu yang
ia perlukan pada situasi apa pun akan secara otomatis terwujud.
Sebagai makhluk yang berperilaku di
dunia ini, kita berusaha untuk bersatu secara batiniah untuk mernperoleh jalan
masuk ke ilmu yang bermanfaat, ilmu yang berasal dari kesadaran spontan, ilmu
yang membantu kita di medan amal, sehingga kita dapat terus bergerak menuju
keselamatan. Meskipun kita terlahir bebas, tidak rrunta untuk hidup, dan kita
mati tanpa mengetahui sebelumnya, di mana, kapan, atau dalam situasi bagaimana,
namun, di antara dua peristiwa besar ini, kita mendapatkan diri kita terikat
oleh belenggu harapan dan hasrat. Semakin kita terbelenggu secara lahiriah,
semakin kita memperlihatkan kesombongan lahiriah untuk mempertahankan bangunan
rapuh yang telah kita bangun. Sebenarnya tujuan perjalanan hidup ini adalah
berserah diri (Islam) dan melarutkan diri dalam satu kesadaran penuh. Ketika
seseorang melepaskan kesadaran gerak dan gaya hidup rendahnya menuju kesadaran
yang lebih tinggi, maka kesadaran tinggi itu akan segera muncul.
Dengan cara yang sama, kita bergerak
dalam waktu, kita juga bergerak dalam pemahaman, dari satu pemahaman menuju
pemahaman lebih baik, dalam satu rangkaian yang abadi, yang selalu bertambah.
Jika cukup peka, kita akan mendapatkan hikmah di setiap nafas dan di setiap
peristiwa yang terjadi di hadapan kita. Tetapi, umumnya, kita tidak peka. Jika
kita tidak menangkap hikmah tersebut ketika peristiwa teijadi, maka hikmah
tersebut akan berlalu dan kita membiarkannya begitu saja. Di setiap saat, di
setiap desahan nafas, Allah menganugerahkan hikmah kepada kita untuk
menunjukkan keseimbangan seluruh ekologi dalam satu kesatuan hidup ini.
Ekologi tak sebatas hak milik kita,
tak sebatas perbatasan suatu negara, atau sebatas pemukaan kulit tubuh kita.
Ekologi bersifat multidimensional dan universal. Tiap-tiap kita mempengaruhi
ekologi alam dan dunia secara keseluruhan, demikian pula sebaliknya, saling
pengaruh-mempengaruhi. Tidak ada pemisahan. Pemisahan hanya ada dalam kaca mata
biologi perorangan, karena sel-sel tertentu dilindungi oleh kulit. Kulit pun
tetap bernafas dan hidup. la dipengaruhi oleh atmosfir yang mengelilinginya,
sebagai-mana suatu benda dipengaruhi oleh benda yang mengelilinginya. Dunia
adalah transaksi ekologi total yang di dalamnya dibangun sistem batasan-batasan
alam berdasarkan realitas yang tak ada batasnya. Batasan bermakna karena adanya
ketiada-batasan. Kekayaan alarn hanya dapat dinikmati jika kita membatasi diri
dalam penggunaannya.
Cara untuk membuka tabir makna
kehidupan untuk menangkap hakikat hidup adalah seperti kita menguliti bawang.
Makna kehidupan dikodekan dalam gen-gen kita, namun untuk membaca kode genetik
ini, kita harus melihat permukaan yang berlapis-lapis dari kehidupan ini. Tiap
lapis merupakan dunia tersendiri. Dunia-dunia ini adalah apa yang telah kita
berikan realitas obyektif dan makna kepadanya. Ketika kita mengupas kulit
terluar sebutir bawang, terlihatlah lapisan kedua, lalu lapisan selanjutnya,
dan seterusnya hingga ketika kita sampai pada hati bawang tersebut dan membuka
lapisan terakhir, yang tersisa hanya-lah ruangan kosong. Ruang ini juga apa
yang ada di luar bawang, dan pada saat yang sama, bawang tersebut ditembus oleh
ruang, sama seperti kita, diternbus oleh Yang Mahawujud. Di sana yang ada
hanyalah Yang Mahawujud.
Benda memiliki perwujudan material
hanya karena adanya kemampuan imajinasi dari akal yang memungkinkan kita untuk
memadatkan objek-objek. Pada kenyataannya, dunia adalah ruangan, namun ia lebih
dinamis dan berubah-ubah. Tentu saja, dunia sehari-hari kita yang berupa
benda-benda padat benar-benar ada. Bagaimanapun, kehidupan ini hanyalah
kehidupan sekunder. la hanyalah bayangan atau dokumen tulisan tangan dari
kehidupan yang hakiki.
Dalam diri kita terkandung makna
kehampaan, ketiada-batasan sekaligus pula makna keberwujudan dan keterbatasan.
Biasanya kita lebih banyak memperlihatkan keterbatasan dan ketergantungan, yang
menyulitkan kita. Inilah penyakit manusia di alam ini. Tujuan kita hadir dalam
dunia ini adalah untuk keluar dari kesulitan ini, dengan mengakui Yang Maha
Esa-Mahawujud. Kehidupan juga ddaklah berakhir dengan hancumya dunia. Semua
Nabi berusaha menyampaikan kepada manusia bahwa Tuhan ada pada saat sekarang, dulu,
dan akan terus ada, dan bahwa karena kita berasal dari Tuhan, dalam diri kita
terkandung potensi untuk menyadari makna ketiada-terbatasan Allah, kemuliaan
yang tak ada bandingannya. Jika kita memusatkan perhatian kita pada akhir yang
lebih tinggi, kita akan melihat hubungan diri kita dengan tauhid. Dari
tauhidlah kita berasal dan dengan tauhid pula kita menyatukan lahir dan batin
kita secara sadar. Kita adalah ruang antara (barzakh) yang tinggi dan
yang rendah, dunia yang fana ini dan akhirat yang kekal. Dengan beralih ke yang
tinggi, maka yang rendah disucikan dan diubah.
Sebaliknya, dengan beralih ke yang
rendah, maka yang rendah itu diperbesar dan yang tinggi menjadi kabur,
"Orang-orang yang tidak memberi persaksian palsu, dan apabila mereka
berpampasan dengan hal yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan tetap
menjaga kehormatan dirinya" (25:72).
Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang kesadarannya terbentang di antara dua dimensi. Kebimbangan muncul dalam
hidup ini karena adanya paradoks yang nyata yaitu di satu sisi kita terbatas
dan terus mendekati kubur seiring desahan nafas kita, di sisi lain kita ingin
kekal. Pada saat kita mencari kekayaan, cinta, ilmu, atau kebahagiaan,
sebenamya kita mencari kualitas keabadian, karena kita menggaungkan keabadian
dalam diri kita.
Alquran menegaskan bahwa Allah Maha
Meliputi se-gala sesuatu. Ini berarti bahwa segala sesuatu diserap dalam
ke-Ilahian. Karena alam didasarkan dan diseimbangkan oleh hal-hal yang
berlawanan, maka kita tidak akan mampu menyadari batasan-batasan pelanggaran
dan tak akan mengerti ke-Ilahian yang meliputi segala hal, tanpa kehadiran
perbuatan salah dan dosa. Manusia menimbulkan akibat dalam situasi tertentu
sesuai perbuatan yang dilakukannya dalam konteks situasi tersebut. Perbuatan manusia
menyediakan pasak yang memaku seluruh urusan menjadi satu.
Jika kita tidak memiliki harapan dan
hasrat, maka kita akan lebih bebas dibandingkan burung. Kebanyakan orang
biasanya bereaksi. Karena kita memiliki serangkaian keinginan masing-masing,
maka setiap kita bereaksi sesuai dengan kekuatan-kekuatan yang mendorong kita
dan sesuai dengan rangsangan yang datang dari luar, yang pada gilirannya
menghasilkan akibat karena interaksi kekuatan dan rangsangan itu dengan
kepribadian khusus kita. Jika tidak ada kepribadian, sebagaimana dilambangkan
dalam posisi sujud (sajdah) dalam salat, yang jika dilaksanakan dengan
konsentrasi penuh mengakibatkan lenyapnya hawa nafsu, berarti seseorang berada
di jalan kebebasan. Tentu ini tidak berarti bahwa kita tidak membedakan antara
hal yang baik dengan hal yang buruk dalam dunia lahiriah ini.
"Dan sesungguhnya kamu akan
memperoleh pahala yang tidak putus-putusnya" (68:3). Jika hati kita hidup
dan suci, dengan ikhlas kita menjadikan hidup sebagai sebuah perjuangan di jalan
Allah, maka seluruh hidup kita adalah kebahagiaan. Kita akan dikelilingi oleh
orang-orang yang berpandangan serupa yang menggaungkan pandangan ini. Namun,
jika kita egois dan takut, kita akan berteman dengan orang-orang dari gaung
yang sama. Orang-orang yang memiliki persamaan dalam suatu hal biasanya
berkumpul bersama; hal ini merupakan hukum alam, ini merupakan sunatullah yang
tak pernah berubah dalam alam ini dan kita tidak dapat lari darinya.
Kebebasan tak akan ada dalam
kehidupan ini tanpa disertai kendala. Kesehatan tidak dapat dirasakan tanpa
adanya penyakit. Kebebasan dalam arti abstrak tidak ada. Ungkapan
"kepercayaan mengikat orang-orang yang merdeka" (ats-tsiqah witsaq
al-ahrar) berarti adab dan batasan-batasan lahiriah menjamin adanya
kebebasan dan keselamatan batiniah.
Jika kita mencari kebebasan, carilah
sampai ke akar-akarnya yang terletak pada lawannya, yaitu dalam penghambaan
diri (kepada Allah). Hukum tentang hal-hal yang beriawanan selalu berlaku. Kita
harus percaya bahwa meskipun kita tidak memahami hukum-hukum tersebut sekarang,
kita kelak akan mengetahuinya juga. Ini merupakan satu aspek dari iman.
Allah memanifestasikan dirinya dalam
hukum-hukum alam, karena hukum-hukum ini mempakan hukum yang seragam, berlaku
kepada semua makhluk. Jika seseorang mengklaim diri sebagai bijak ('arif),
atau tercerahkan, kita beranggapan berarti orang tersebut mengetahui
hukum-hukum alam. Namun, hukum-hukum alam ini berasal dari luar alam dan lebih
berkuasa dari alam itu sendiri, kalau tidak tentu alam tidak bisa diikat oleh
hukum-hukum ini. Makna sebenarnya dari ‘arif adalah penyerahan diri
secara total. Orang arif, dengan pengetahuan dirinya, mengetahui apa yang perlu
diketahuinya pada saat ia membutuhkannya. Jiwa ego atau nafs orang arif
ini tidak mengubah kapasitasnya untuk menerima hidayah. Dia benar-benar
berserah diri. Jadi, secara otomatis dan secara sempurna ia diperbaiki.
Pada surah ini, makna surga (jannah)
diperjelas. Surga adalah keadaan yang rahasia dan tersembunyi, tempat di mana
hati merasa tenteram, sebagai balasan dari penyerahan diri yang sejati. Namun
penyerahan diri ini tidak berarti penyerahan diri secara fisik, dengan
membiarkan keluarganya miskin-melarat atau tak memperdulikan pakaian atau
perilakunya kepada sesama manusia. Bahkan jika seseorang pergi ke sebuah gua di
gunung, ia akan mendapatkan bahwa pikirannya masih diganggu. Penyerahan diri
sejati datang secara bertahap dengan menghadapi tanggung jawab secara berani,
dengan melakukan yang terbaik dan tidak terjerat cinta lahiriah serta tidak
berhasrat akan balasan amalnya. Semua dilakukan di jalan Allah (fi sabil
Allah). Dari sudut pandang ini, suatu amal seperti pernikahan hanya
bermanfaat dalam perjalanan hidup ini jika masing-masing pasangan berniat dalam
hati membantu pasangannya untuk menyadari kebebasan dan kepuasan batiniah.
Pernikahan adalah ibadah, demikian pula seharusnya perbuatan lainnya. Tak ada
yang salah sama sekali dengan kegelisahan dan nafsu. Tanpa nafsu dalam hidup
ini, tak akan ada hasrat. Namun nafsu seseorang haruslah untuk ilmu, untuk
Allah, karena hidup seluruh manusia bergantung pada Allah Yang Maha Mandiri.
Alihkan cinta terhadap makhluk kepada cinta terhadap Sang Pencipta.
Kesesuaian yang sesungguhnya terjadi
kira-kira ketika seorang pria dan seorang wanita dengan tulus ingin bekerja
sama dan saling melayani satu sama lain untuk memperoleh kebenaran,
pengetahuan, dan kebebasan batiniah. Kebebasan batiniah tidak dapat diraih
tanpa adab dan penghonnatan lahiriah. Kita tidak dapat tumbuh secara batiniah
kecuali kalau kita membatasi diri kita secara lahiriah. Jika seseorang
menginginkan kebebasan batiniah, ia harus menjalani batasan lahiriah. Tidak
benar jika dikatakan kebebasan lahiriah itu berubah-ubah. Kebebasan lahiriah
hanya menyebabkan kekacauan, baik lahir maupun batin. Maka semakin dekat
seorang pencari ilmu kepada ilmu Allah, semakin lebih terbatas perbuatannya.
Harapannya adalah bertindak dalam batas-batas yang diperbolehkan. Hatinya
membawa kepada tujuan, namun agar hati sampai kepada keadaan yang layak, hati
butuh dihubungkan dengan hal yang selaras.
Segala sesuatu dalam alam diatur
menurut hukum alam, dan Sang Pemberi hukum itu adalah Allah. Pintu menuju Allah
adalah dengan memahami dan mengikuti hukum-hukum-Nya baik secara lahiriah
maupun batiniah. Orientasi lahiriah saja tidak cukup. Pola luar hanya
menyediakan petunjuk-petunjuk dan informasi, bukan ilmunya itu sendiri. Seorang
guru sufi bertugas membuka kulit kebodohan yang menutupi diri sang murid. Sang
guru hanya membersihkan karat-karat yang telah menutupi sumber cahaya yang
terdapat dalam hati sang murid. Guru sufi tak memberi apa pun; ia hanya
melepaskan sesuatu. Allah berfirman dalam hadis qudsi, "Aku tidak berada
di langit maupun di bumi, tetapi Aku berada di hati orang yang beriman."
Jadi inilah obat yang kita peroleh
dari surah Yasin. Mereka yang belum mendapatkannya dalam hidup ini pada
akhirnya pun akan mendapatkannya ketika mati. Itulah mengapa surah ini dibaca
ketika seorang muslim meninggal, dengan harapan jiwa (ruh)nya ingat atau
bergaung dengan realitas asalnya serta berzikir terhadap apa yang telah
mendarah daging dengannya.
Hidup yang singkat ini hanya sebuah
mata rantai dari rantai kehidupan. Sebelum kehidupan dunia ini, ada suatu pola
kehidupan; setelah kehidupan dunia ini pun, ada pola kehidupan lain. Periode
sembilan bulan dalam kandungan menghubungkan kita dengan alam ini. Tidur
setelah mati, yang dilukiskan oleh ayat, "Siapakah yang membangunkan kami
dari tempat tidur kami" (36:52), menghubungkan kita dengan alam kemudian.
Apakah orang ingat jelas pengalam-an ketika dalam kandungan? Demikian pula,
kita tidak dapat membayangkan keadaan yang belum dialami ini yang akan menjadi
tempat kembali kita.
Ketidakmampuan mengingat apa yang
telah terjadi (di alam rahim) atau mengetahui keadaan hidup setelah mati
membuat orang yang suka merenung menjadi kagum karena setiap orang dengan
akalnya selalu bertanya apa sebenarnya makna hidup dan mati. "Mengapa saya
tidak bahagia? Mengapa saya tidak puas? Mengapa saya tidak bebas secara
batiniah?" Membuat kita gelisah adalah juga bagian dari rahmat Allah.
Adalah kehendak Allah bahwa kita harus mengenali-Nya yang menggangu kita dan
oleh karenanya mengeluarkan kita dari kelesuan fisik dan hewani kita. Setiap
problem yang kita hadapi adalah benar-benar pemberian dari Allah kepada kita.
Hamba Allah berdoa kepada Tuhannya,
"Berilah aku tanggung jawab sehingga aku maju dan dewasa dalam
hidup!" Ketika problem ditangani secara lahiriah dengan sikap positif,
maka terjadilah gerak rohani. Seluruh hidup ini hanyalah drama pertunjukan, dan
semua makhluk adalah pemeran-pemerannya. Cara menghentikan drama ini adalah
dengan berhenti berakting, apa pun peran yang ia pikir menjadi tugasnya serta
dengan melakukan tindakan yang pantas dan dengan memikul tanggung jawab demi kepen-tingan
Allah (fi sabil Allah) tanpa motif pribadi apa pun. Dengan cara ini, ia
terhindar dari semakin menebalnya lapisan-lapisan khayalan. Cara terbaik
mengatasi khayalan dan anggapan serta selubung serupa lainnya adalah dengan
menghadapi situasi-situasi di jalan Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun.
Peristiwa-peristiwa dalam hidup terjadi laksana pahat-pahat yang membuka
lapisan-lapisan kayu. Pada akhirnya, ia mengetahui bahwa apa yang ada di
tengah-tengahnya telah berada di sana selamanya.
Sebenarnya kita hanya memiliki
kewajiban-kewajiban dalam hidup ini, tanpa memiliki hak. Kita hanya mempunyai
tugas-tugas. Kita menghabiskan oksigen dalam jumlah besar. Setiap beberapa
tahun masing-masing kita mengkonsumsi berton-ton oksigen. Pertanyaannya adalah:
Sudahkan kita mengkonsumsinya dalam rangka memadamkan harapan-harapan dan
nafsu-nafsu kita, dan dalam rangka menemukan jalan menuju kebebasan batiniah?
Jika belum, berarti kita hanya menghabiskan pemberian alam ini dengan sia-sia.
Demikian pula dengan berton-ton makanan yang kita konsumsi. Apakah kita memberi
makan kepada tubuh kita agar memperoleh kekuatan untuk mengetahui Realitas
Tuhan di setiap keadaan dan manifestasi?
Pemberantasan kebodohan mempakan
syarat awal bagi pencerahan. Jika tabir ini tidak dihilangkan dalam hidup ini,
ia akan dihilangkan pada saat kematian. Pada hari kebangkitan "tak ada
seorang pun yang dirugikan" karena beramal tak mungkin lagi dan setiap
kita akan bertanggung-jawab terhadap amalannya masing-masing. Waktu dan gerak
akan dibekukan dan jiwa akan merefleksikan apa yang telah diperbuatnya. Pada
saat itu, jiwa akan mengungkap apa yang telah dilukis di atasnya ketika di
dunia. Tak ada yang dapat ditambahkan atau dikurangi. Jika seseorang telah
menggaungkan suara hati yang mumi, di kehidupan nanti suara ini akan selalu
terdengar di surga Allah. Sebaliknya jika jiwa ini serupa disket rusak, penuh
dengan kesombongan, kebodohan, dan kebimbangan, suara itu akan terdengar sesuai
mutu yang jelek ini. Di Akhirat, jiwa mendengungkan tingkat prestasinya ketika
hidup di dunia.
Kunci untuk membersihkan hati dari
kebodohan adalah kesadaran spontan terhadap niat. Dengan cara ini niat
seseorang selaras dengan amalnya. Ini mempakan stasiun kebebasan melalui
penyerahan diri dan kehadiran hati. Inilah tauhid dan ikhlas.
Milikilah keinginan untuk mati, maka
kamu akan hi-dup! Milikilah keinginan untuk bersedekah, maka kamu akan
mendapatkan apa yang kamu ingin sedekahkan itu. Di balik semua keragaman ini,
ada satu kesatuan. Setiap orang mengandung kesan kromosom yang di dalamnya
terdapat hukum-hukum yang mengatur Seluruh alam. Inilah "aku" yang
sesungguhnya. Alquran ada dalam diri kita, namun untuk mendapatkannya kita
harus menceburkan diri dan larut di dalamnya hingga kita menyadari bahwa segala
sesuatu telah ditetapkan, bukan diselesaikan, karena sebenamya memang tidak ada
masalah yang harus diselesaikan. Tak ada tuhan selain Allah! Ketahuilah hakikat
hidup maka kamu akan mendapatkan kebebasan. Sebenarnya kita sendirilah yang
membuat sangkar-sangkar kita, jadi hanya kita yang dapat membukakan sepenuhnya,
dengan cara mengubah amal-amal kita kepada amal yang ikhlas dan bebas, tanpa
rasa takut dan dengan penuh keberanian.
Apabila seseorang memahami
sepenuhnya suatu ayat Alquran, maka berarti ia telah memahami seluruh Alquran.
Seluruh perumpamaan (amtsal) dalam Alquran mendengungkan kebenaran, maka
mengapa tidak menceburkan diri dalam Kebenaran? Kita dan tempat bercebur kita
tidaklah terpisah. Surah Yasin menekankan bahwa mereka yang telah memperoleh
surga disibukkan oleh sebuah urusan yang murni. Mereka tidak memiliki urusan
kecuali pemuasan diri sendiri. Dalam Alquran, perumpamaan digunakan untuk
menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilukiskan, karena bahasa bergerak dalam
alam dualitas, alam sebab-akibat, alam isi dan wadah. Perumpamaan secara
mengesankan dapat membawa seseorang berkeliling menaiki perahu hikmah ke tepian
perenungan, di mana ia harus melemparkan semua kekangan dan melakukan
langkah-langkah seperlunya menuju lautan tak bertepi.
Di antara perumpamaan yang sering
digunakan berulang-ulang terhadap Surga yang tinggi adalah pasangan-pasangan,
buah, ranjang, dan naungan. Segala sesuatu di alam terjadi karena
berpasang-pasangan. Penyatuan baru dapat terjadi jika ada pasangan, yang
merupakan alasan simbolik untuk pemikahan. Naungan dianggap sebagai sebuah
aspek alam yang sangat diinginkan, khususnya di lingkungan padang pasir, karena
ia menawarkan kelapangan hati dan tempat perlindungan diri yang aman. Kapan pun
kita menemukan ayat-ayat tentang berbaring di atas ranjang atau bantal, maka
makna jenis duduk semacam ini dapat disimpulkan. Bantal tidak memiliki makna
dalam dirinya, namun duduk di atas bantal atau berbaring di atas ranjang di
bawah naungan, bermakna bahwa seseorang berada dalam keadaan santai. Badan
dilupakan hingga tingkat tertentu, sehingga kesadarannya memiliki kesempatan
untuk tidak terlalu berodentasi kepada fisik, sehingga ia dapat pergi ke alam
makna. Kita menetralkan hal-hal material dan fisik untuk mencapai makna
batiniah.
Apa pun yang kita hasratkan hanya
isapan jempol dari khayalan kita. Dengan membuat jaringan kita sendiri, kita
telah mencurahkan waktu dan energi kita dalam jaring tersebut: "Dan
sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah jaring laba-laba jika saja mereka mengetahui!"
(29:41). Jika seorang pencari ilmu yang ikhlas mampu meraih apa pun yang ia
inginkan dalam hidup ini, apa pun bentuknya, pada akhirnya ia akan sampai ke
sebuah titik di mana ia sudah tidak menginginkan apapun, karena apa pun yang ia
inginkan telah tersedia. Setelah perenungan yang sesungguhnya ia akan sampai ke
titik tanpa keinginan. la tahu apa pun yang ia inginkan telah disediakan
untuknya, semua buah-buahan yang membuatnya merasa lapar, telah ada di sana,
dan akibatnya ia tidak memiliki keinginan apa pun lagi. Inilah makna gambaran
tentang kepuasan di Taman Surga.
Perintah-Nya sangat sederhana. Hanya
jadilah (kun), maka seluruh alam akan terwujud (fa yakun). Ilmu
dan kepuasan terkandung di dalamnya. Dalam lahir maupun batin yang ada hanyalah
rahmat dan keberkahan. Jika seseorang mencari keharmonisan dan keberkahan lain,
hal ini karena pandangannya yang menyimpang, karena jaringnya yang telah
memisahkan dirinya dari daya jangkau jaringnya,, Keadaan Surga yang tinggi ini
damai, tenteram, bahagia dart' puas terus-menems, kedamsstian yang telah
dijanjikan oleh Tuhan Maha Pemurah. Dan Allah Maha Mengetahui.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar