Pendahuluan
Ayat
1-10
Surah Makkiyah ini menggambarkan
kebangkitan besar ketika segala sesuatu bakal ditampakkan dan keadilan sempurna
akan ditegakkan.
Surah ini mengemukakan bukti
eksistensial yang memungkinkan manusia mempertanyakan kembali keberadaannya dan
juga memungkinkannya menyadari adanya satu Pencipta, satu-satunya Zat yang
layak disembah dan diibadahi.
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan
Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Segala sesuatu dimulai dengan nama
Allah. Kata bismillah (dengan nama Allah) adalah bagian dari setiap
surah Alquran, kecuali surah at-Tawbah. Bismillâhirrahmânirrahim
mempunyai makna harfiah yang selalu sama, tetapi pesannya berbeda sesuai dengan
makna surah yang diawalinya. Orang-orang yang beriman, dan yang imannya telah
diuji dengan beragam kesadaran dan pengalaman pribadi, akan melihat satu tangan
di balik segala sesuatu yang maujud dan juga tidak maujud. Mereka melihat yang
lembut di balik yang kasar. Segala sesuatu mempunyai label Tuhan Yang Mahabenar
di dalamnya. Entah suka atau tidak, segala sifat atau tindakan selalu ditandai
oleh penyebabnya.
Bismillah adalah pintu gerbang yang, bila
dibuka dengan benar, akan mengantarkan Anda menuju taman surah ini. Kalimat ini
adalah bagian dari setiap surah dan, dengan sendirinya, mesti dibaca dalam
salat karena merupakan bagian darinya. Dalam salat, seseorang harus memilih satu
surah terlebih dahulu, lalu mengucapkan bismillâh, dengan nama Allah
yang telah memberi Anda kemampuan untuk menyatakan tauhid dengan membiarkannya
mengalir dalam surah itu selama teriintas dalam benaknya.
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
1. Apabila telah terjadi
hari kiamat.
لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ
2. Tidak seorang pun dapat
mendustakan kejadiannya.
خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ
3. (Kejodian itu) merendahkan
(satu golongan) dan meninggikan (golongan lainnya).
"Apabila telah terjadi hari
kiamat." Kata waqa’a berarti tiba, menimpa, terjadi. Peristiwa yang
menyibukkan manusia adalah hari kebangkitan, yawm al-qiyâmah, hari awal
dari tahap berikutnya pengalaman manusia. Hari inilah titik acuan utama dan
sangat penting artinya. Apa pun yang ada dalam siklus penciptaan
berikutnya—yang tidak didasarkan pada dualitas di mana ada kekacauan antara
jiwa dan raga—tidaklah tunduk pada waktu. Apa pun yang ada atau yang dapat
dialami sejak terjadinya peristiwa besar itu dan sesudahnya sesungguhnya
memiliki refleksinya dalam kehidupan ini. Umpamanya saja, dalam Alquran, api
yang dijanjikan dalam kehidupan akhirat disebut sebagai api neraka Jahannam (nâr
al-jahannam) atau api besar (an-nâr al-kubra), yang menyiratkan
bahwa apa yang Anda alami dalam kehidupan ini adalah api kecil dalam bentuk
amarah, kekecewaan, hasutan, dan berbagai hasrat atau keinginan yang tak
terpenuhi. Pengalaman tentang surga secara potensial juga ada dalam kehidupan
manusia di dunia ini. Demikian pula, pengalaman tentang peristiwa itu, hari
perhitungan, bisa digemakan dan direfleksikan dalam diri manusia sekarang dan
di dunia ini.
Ketika sebuah peristiwa penting
terjadi dalam diri seseorang, hal itu bisa membuatnya mulai tersadar atau
memberikan kesaksian. Peristiwa seperti ini memudahkan jalan menuju eksistensi.
Manusia bergerak dalam sebuah terowongan yang didorong oleh kekuatan alam,
dibimbing atau disesatkan oleh kebiasaan-kebiasaan masa lalu, keadaan-keadaan
masa kini, dan berbagai proyeksi masa depan. Ia berada dalam kepompong. Jika
kemudian ada guncangan tiba-tiba atau keretakan itu mulai melebar, maka itulah
peristiwa besar (waqi'ah) bagi orang yang telah mengalaminya. Akan
tetapi, ketika terjadi peristiwa besar (yawm al-qiyâmah), tidak ada
seorang pun bisa mengingkarinya. Setiap orang tunduk kepada kekuatannya.
Peristiwa ini mengangkat dan menjatuhkan, meledakkan planet, bintang, atau
aspek-aspek alam semesta, dan menghancurkan bagian-bagian lainnya. Sebuah
ciptaan berakhir dan ciptaan lainnya pun dimulai. Entitas-entitas kosmis
dipaksa untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Akan terjadilah situasi
perendahan dan peningkatan.
Inilah waktunya ketika hati-hati
yang telah tercerahkan diangkat dan dilapangkan dari beban-bebannya, sementara
hati-hati yang temoda dan penuh dengan beban dihancurkan. Seorang mukmin
ditinggikan dan seorang kafir atau seorang munafik pun dihinakan. Hari
perhitungan adalah hari pemilahan, hari pemisahan ke dalam berbagai kelompok (yawm
al-fashl). Tidak ada daerah abu-abu atau kabur. Keadaan Anda akan bahagia
atau sengsara, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan Anda dan apa yang telah
Anda peroleh dalam kehidupan singkat dunia ini. Orang-orang yang telah
mengangkat diri mereka dengan menempuh jalan kebenaran bakal ditinggikan
setinggi-tingginya di akhirat, dan orang-orang yang sudah merendahkan diri
mereka sendiri bakal direndahkan serendah-rendahnya. Kesadaran di akhirat
adalah abadi dan, karena itu, bersifat permanen. Inilah sebabnya akhirat itu
disebut tempat tinggal terakhir, karena di dalamnya tidak ada lagi pergerakan.
إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا
4. Apabila bumi diguncangkan
sedahsyat-dahsyatnya.
وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا
5. Dan gunung-gunung
dihancurleburkan sehancur-hancurnya.
فَكَانَتْ هَبَاءً مُّنبَثًّا
6. Lalu gunung-gunung itu pun
berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan.
"Apabila bumi diguncangkan
sedahsyat-dahsyatnya." Bumi adalah segala sesuatu yang berfungsi sebagai
fondasi, seperti tanah misalnya. Kata rajja berarti mengguncangkan.
Setiap orang menginginkan stabilitas atau kemapanan, entah dalam rumah,
pergaulan dan hubungan, atau dalam perekonomian. Akan tetapi, orang-orang yang
mencari stabilitas mutlak mengetahui bahwa yang demikian itu hanya dijumpai
bila ada keimanan dan ketawakalan kepada Allah. Segala jenis stabilitas lainnya
bersifat relatif. Sekalipun hal itu mungkin berlangsung selama hayatnya masih
dikandung badan, sang pencari kebenaran pun mengetahui bahwa dunia dan alam
semesta sesungguhnya tengah menempuh perjalanan, dan bahwa fondasi yang dijadikannya
untuk membangun keamanan relatifnya bisa saja terguncang dan dicabut dari
dirinya. Sewaktu mengalami guncangan, fondasi relatif yang rapuh, setelah
memenuhi tujuannya dalam siklus penciptaan ini, sudah berakhir. Bagi seseorang
yang tengah menempuh jalan itu, kesengsaraan seperti itu dipandang sebagai
bukti langsung cinta Tuhan Yang Mahabenar kepada dirinya. Karena itu, ia pun
mencari fondasi yang lebih baik hingga ia menemukan fondasi sejati dari segala
fondasi.
Massa yang padat, yang mencapai
keseimbangan sesudah bumi menjadi dingin, dengan memberinya stabilitas relatif,
akan hancur beterbangan dan berhamburan menjadi debu. Orang beruntung yang
memiliki intelek mulai menyadari bahwa apa yang dipahaminya sebagai ketangguhan
fondasinya hanya ada dalam benaknya saja. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang
abadi, entah kesehatan, kekayaan, maupun anak-anak. Sesudah hal itu diketahui,
kesadaran, kesegeraan, dan urgensi pencarian kebenaran menjadi kesibukan utama
dalam kehidupannya, dan seluruh aspek lainnya menjadi sekunder dan, karenanya,
bisa diterima kefanaannya. Setelah fondasinya diguncang dan dihancurkan,
terbangunlah sebuah fondasi yang baru dan lebih kuat.
Ukuran hal-hal duniawi berpijak pada
faktor-faktor waktu spesifik yang sangat berbeda bila ada keberpalingan hati,
yang menimbulkan perubahan situasi seseorang. Ini adalah masalah sikap.
Dihalaunya hati dari dunia ini memang benar-benar sebuah peristiwa besar. Ini
adalah pengantar menuju pengalaman tentang kehidupan sesudah mati. Maka, hati
pun tercerabut sepenuhnya dan memasuki keadaan melampaui kebebasan. Sebab,
kebebasan hanya bermakna karena ada belenggu. Manusia mampu memahami keadaan
ini secara intelektual dan eksperiensial hingga berbagai tingkatan kejelasan.
Misalnya saja, berbagai realitas kasatmata yang paling solid dalam kehidupan
ini adalah gunung-gunung yang melabuhkan jubah bumi. Jika entitas-entitas yang
dipandang paling solid ini bisa dibebaskan, maka perhatikan hal-hal yang sama
rapuhnya dengan segenap pergaulan atau pemikiran.
"Lalu gunung-gunung itu pun
berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan." Ketika peristiwa akhir
itu terjadi, ada aliran-aliran pasti yang ke dalamnya setiap orang dipisahkan.
Dalam dunia ini, aliran-aliran itu tidak diuraikan dengan jelas karena kita
mempersepsikan segala sesuatu dalam berbagai tingkatan relatif, dan relativitas
itu mengaburkan berbagai uraian itu.
وَكُنتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً
7. Dan kamu menjadi tiga golongan.
فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ
8. (Pertama) golongan yang
berbahagia. Alangkah mulianya golongan yang berbahagia itu.
Manusia bisa dibagi menjadi tiga
jenis. Pada peristiwa terakhir itu, akan ada proses penyaringan persis sama
sebagaimana terjadi dalam kehidupan ini. Dalam satu kelompok, ada orang-orang
beriman, yang keimanannya bisa berasal baik dari penalaran intelektual maupun
melalui pewarisannya dari sebuah keluarga yang beriman kepada Tuhan Yang
Mahabenar, kepada Islam. Dalam kelompok lainnya, ada orang-orang yang merugi,
yang kebingungan dan sombong. Mereka adalah orang-orang yang egonya demikian
membatu sehingga Tuhan Yang Mahabenar pun mereka ingkari sepenuhnya. Akan
tetapi, jenis-jenis ini tidak selalu terikat dengan kelompok-kelompok mereka.
Ada saat-saat di mana seseorang meninggalkan golongan orang-orang yang merugi
dan berada dalam kebingungan untuk kemudian bergabung dengan golongan
orang-orang yang memiliki keimanan, keimanan tak tergoyahkan, yang bertumpu
pada pengetahuan tentang satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar.
Orang-orang golongan kanan adalah
orang-orang yang memiliki keimanan sejati. Mereka beriman kepada Allah dan juga
kepada rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. Mereka pun berkeyakinan bahwa tujuan
penciptaan adalah mengenal sang Pencipta dan mampu menyerahkan kehendak mereka
kepada kehendak sang Pencipta. Iman dimulai dengan ketundukan lahiriah, dan
berakhir dengan pengakuan langsung bahwa kehendak seseorang dan ketentuan Allah
adalah satu: keduanya memancar dari Yang Mahaesa, didukung oleh-Nya dan akan
kembali kepada-Nya. Pada tahapan ini, manusia menyadari sumber kebahagiaan
batiniah, karena sudah tidak ada lagi perlawanan apa pun.
Orang-orang golongan kanan telah
bertindak secara positif dan langsung. Tangan kanan dalam kebudayaan Arab, dan
juga dalam berbagai kebudayaan lainnya, adalah tangan yang digunakan dalarn
transaksi yang sah dan halal. Sementara itu, tangan kiri adalah tangan untuk
menyerahkan dan membuang, tangan pengingkaran.
وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ
9. (Kedua) golongan celaka.
Alangkah sengsaranya golongan celaka itu.
Kata masy'amah (tangan kiri)
berasal dari kata sya'ama, dan berarti mengetahui pertanda buruk,
meramalkan suatu bencana atau ketidakberuntungan. Orang-orang golongan kiri
adalah orang-orang buangan yang telah mengutuk diri karena kebodohan dan
kerugian mereka sendiri. Manusia tidak bisa menggugat sang Pencipta. Ia sudah
diberi gambaran tentang Tuhan Yang Mahabenar, suatu referensi kepada yawm
al-qiyâmah yang tidak bisa dicampurinya. Dalam kehidupannya, ia mungkin
saja merasa bahwa ia mengalami kerugian, marah, tidak bahagia, dan kebingungan.
Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa masih ada kemungkinan munculnya kesadaran
yang dapat memasukkannya ke dalam golongan kanan. Karena itu, ia harus terus
berusaha.
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
10. (Ketiga adalah) orang-orang
yang paling dahulu beriman.
Ayat
11-20
أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ
11. Mereka itulah orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah).
"Dan orang-orang yang paling
dahulu beriman." Kata sabaqa berarti mendahului. Dalam kehidupan
ini, setiap orang itu bisa dipimpin atau memimpin. Di sini, Allah
menyebut-nyebut keadaan keberhasilan puncak, yakni keberhasilan seseorang yang
telah berpindah ke zone di luar waktu, alam berikutnya. Menurut beberapa hadis,
kata sâbiqun berarti orang-orang yang beriman terlebih dahulu. Para Imam
mengidentifikasi sebagian orang mukmin awal yang masuk surga adalah anak Adam
yang dibunuh, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum Fir'aun, Habib
an-Najar yang mengikuti 'Isa a.s., dan Ali bin Abi Thalib a.s.
Kata as-sâbiqun secara umum
merujuk pada orang-orang yang akan masuk surga tanpa dihisab, karena sudah
berada dalam keadaan demikian dalam kehidupan dunia ini.
فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
12. Berada dalam surga-surga
kenikmatan.
ثُلَّةٌ مِّنَ الْأَوَّلِينَ
13. Segolongan besar dari
orang-orang terdahulu.
وَقَلِيلٌ مِّنَ الْآخِرِينَ
14. Dan segolongan kecil dari
orang-orang terkemudian.
Mereka berada dalam "surga-surga
kenikmatan." Kata na'îm berasal dari kata na'ama, yang
berarti hidup tenang dan nyaman. Kata ni'mah adalah berkah dan
kenikmatan, segala sesuatu yang ingin lebih banyak lagi dimiliki oleh
seseorang. "Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu" (QS 2:216). Seringkali seseorang tidak dapat mengambil hikmah dari
berbagai peristiwa yang dialaminya. Jika manusia mampu apa yang menimpa dirinya
sebagai terjadi atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (bismillâhirrahmânirrahîm),
maka ia akan mampu melihat rahmat Allah di balik setiap peristiwa dan situasi.
Bila tidak, ia hanya akan menilai berdasarkan pandangan pribadinya. Orang
mukmin hanya melihat kebaikan, tanpa mempedulikan apa kata orang lain. Jika ia
betul-betul beriman, jika ia meyakini bahwa pengendali makhluk ini adalah Tuhan
Yang Maha Pengasih, maka ia akan berusaha melihat rahmat Allah di balik setiap
peristiwa. Karena alasan itu, hati seorang mukrnin tidak pernah terguncang atau
merasa gelisah. Seorang mukmin bertindak sebaik mungkin menurut kemampuannya,
karena ia adalah aktor dan sekaligus objek tindakan. Secara lahiriah, ia akan
menanggapi suatu keadaan darurat. Sementara itu, secara batiniah, ia akan
merasa tenang, karena mengetahui bahwa hal itu berasal dari Tuhan Yang
Mahabenar. Jika ia tidak menyukai apa yang menimpa dirinya, yang demikian itu
karena ia menilainya secara salah dan serampangan.
Penilaian didasarkan pada tingkat
kejahilan dan pengetahuan. "Boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia
itu bumk bagimu" (QS 2:216). Seorang anak sangat suka bila ada banyak
coklat di sekelilingnya, sementara seorang dewasa yang berilmu bisa mengetahui
bahaya coklat itu bagi kesehatan. Seorang anak muda yang bertanggung jawab baru
mengerti dan memahami arti jerih payah dan tanggung jawab dalam hubungannya
dengan harta kekayaan setelah ia memperolehnya dengan keringatnya sendiri.
Hanya dengan cara seperti ini sajalah ia akan mengetahui kesulitan dalam
memperoleh, menjaga, dan membelanjakannya dengan baik. Akan tetapi, seorang
yang tidak bertanggungjawab biasanya memiliki hasrat atau keinginan romantis
pada segala sesuatu tanpa mengetahui bahaya yang terkandung di dalamnya.
Sekelompok orang yang sudah lebih
dahulu memiliki pengetahuan tentang Tuhan Yang Mahabenar juga lebih dahulu
memasuki surga keimanan. Mereka dikatakan terdahulu dalam pengertian bahwa
mereka sudah masuk ke surga sebelum kematian karena telah meraih kebahagiaan
dan ketenangan dalam kehidupan ini. Mereka sudah mengetahui makna kenikmatan
dan memiliki pengetahuan langsung tentang tauhid di dunia ini. Orang-orang yang
belum meraih pengetahuan langsung hanya bisa membenahi dan memperbaiki salat
dan doa mereka dengan harapan bahwa mereka bisa memperolehnya sewaktu nyawa dan
dunia pun direnggut oleh kematian. Tidak peduli sudah sejauh mana tauhid dan
keimanan seseorang, tetap saja masih ada tarikan tubuh. Tubuh adalah salah satu
instrumen yang digunakan Allah dalam memberikan peringatan bahwa seseorang
masih dikuasai oleh belenggu alam kehidupan dunia ini. Tidak peduli sejauh mana
seseorang berada dalam kepasrahan, tetap saja masih diketahui ada dualitas dan
kerugian.
Ketidakadilan manusia ada karena
tidak ada ketinggian puncak dalam evolusi spiritual, yakni peristiwa historis
atau duniawi berupa munculnya Imam Mahdi (secara harfiah bermakna orang yang
terbimbing lurus; beliau adalah Imam kedua belas yang sedang gaib). Pada waktu
itu, bumi akan diwarisi oleh orang-orang rendah hati yang bertindak benar.
Keadilan Allah pun akan terwujud penuh dalam kehidupan ini.
Jika seseorang peduli pada waktu,
maka ia juga harus peduli pada kronologi peristiwa. Jika cahaya intelek
memungkinkan seseorang untuk pergi menembus waktu untuk sesaat, maka kata
"terdahulu" mengimplikasikan orang-orang yang memperoleh risalah, tak
peduli kapan waktunya. Orang-orang yang kepedulian utamanya adalah menjalani
kehidupan tauhid cenderung kurang mementingkan waktu. Manusia yang mencari
tauhid akan berusaha memperoleh pengetahuan Ibrahim a.s. la bersahabat dengan
Nabi Muhammad saw., dan menginginkan bimbingan, nasihat, dan persahabatan
dengan para Imam dan sahabat-sahabat terpilih. Ia ingin mendekati keadaan
mereka. Sia-sia dan percuma saja menginginkan kedekatan dengan mereka secara
fisik, tanpa ingin mengambil teladan mereka. Dan jika seseorang ingin mendekati
keadaan mereka, maka yang demikian itu dapat terjadi kapan saja. Sebab, keadaan
mereka dipaparkan kepada manusia melalui Al-quran, Sunah Nabi, dan hadis.
Seseorang bisa dikatakan telah hadir bersama mereka bila ia sudah mampu
mencapai derajat yang sama dengan mereka.
عَلَى سُرُرٍ مَّوْضُونَةٍ
15. Mereka berada di atas dipan
bertahtakan emas dan permata.
مُتَّكِئِينَ عَلَيْهَا مُتَقَابِلِينَ
16. Seraya bertelekan di atasnya
berhadap-hadapan.
Akar kata surur (tahta)
adalah dari sarra, yang berarti membuat bahagia, mempercayakan rahasia,
menyembunyikan sesuatu. Darinya muncul banyak kata yang membentuk pola makna
menarik. Kata surur bermakna kebahagiaan, yang menyiratkan bahwa sumber
kebahagiaan adalah suatu rahasia yang hanya bisa dibisikkan kepada diri
sendiri. Itulah rahasia dari segala rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Jika
seseorang bahagia, maka kebahagiaan itu sendiri adalah penjelasan tentang
keadaan tersebut. Akan tetapi, orang tidak bisa memberikan sumber itu kepada
orang lain. Ini berkaitan dengan tingkat kesadaran lainnya.
Kesenangan adalah sesuatu yang dapat
dibagi dan dibeli. Kesenangan berkaitan dengan berbagai keterikatan dan juga
merupakan sesuatu yang bersifat duniawi, sementara surur, kebahagiaan,
hanyalah demi kepentingannya sendiri. Burung bernyanyi, karena sifat alamiahnya
memang bemyanyi, tak peduli apakah ada pemburu yang sedang mengintainya atau
apakah tetangganya memberinya makanan tambahan. Kesenangan adalah hasil dari
sesuatu yang telah terjadi. Ada seseorang kesepian dan kemudian ia menemukan
seorang sahabat yang bersedia mendengar dan menanggapi apa yang
diyakininya—inilah kesenangan. Ada seseorang lapar; perutnya kosong, dan
kemudian ada makanan—itulah kesenangan. Kesenangan bagaikan netralisasi: kutub
positif dan negatif bertemu sehingga dan kemudian dinetralisasi.
Kegembiraan adalah sesuatu yang lain
lagi; ia adalah penangkal dari kutub negatif. Kegembiraan terjadi ketika apa
yang dianggap menyenangkan sudah diketahui sebagai ilusi (wahm).
Penangkal kutub negatif adalah kutub positif, dan inilah keadaan normal
manusia. Karena alasan inilah manusia secara inheren mencari kebahagiaan. Ia
mengetahui kesenangan; ia tahu bahwa kebahagiaan dapat dibeli, tetapi ia tidak
mengetahui cara menuju kebahagiaan itu. Manusia mencari kebahagiaan karena
memang itulah sifat alamiahnya. la tidak bahagia karena ia berkali-kali
mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia memerlukan sesuatu agar bisa
bahagia. Ia selalu memburunya. Akan tetapi, begitu ia sudah memperolehnya, ia
pun menginginkan sesuatu yang lain.
Pintu menuju rumah kebahagiaan
adalah pengetahuan tentang bagaimana menguraikan ikatan yang telah dibuat
seseorang. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sumber kebahagiaan itu adalah
rahasia dari segala rahasia. Sesuatu yang diinginkan dengan sendirinya adalah
sebuah wahm. Pengetahuan tentang wahm menjadi penangkal baginya.
Dan jika penangkalnya itu memang murni, maka akar kebahagiaan itu dipupuk dari
dalam. Itulah tanah subur tempat pohon kepuasan akan tumbuh. Kepuasan adalah
sebuah pohon yang tidak bisa ditanamkan pada orang lain. Seseorang harus
memupuk dan menumbuhkannya dengan segenap usaha dan jerih payahnya sendiri.
Sebenarnya sudah ada kepuasan yang
inheren dalam dalam diri makhluk seperti burung. Akan tetapi, manusia memiliki
kesadaran tentang kepuasan itu. Selanjutnya, manusia memiliki cahaya kesadaran
dari kesadaran. Ini mengukuhkan manusia sebagai makhluk paling luhur dan
termulia. Manusia sadar akan kesadaran tentang kebahagian. Manusia juga sadar
akan kesadaran tentang ketidakbahagiannya.
Surur tidak bisa diwariskan, tetapi harus
diperoleh dengan usaha dan jerih payah. Jika seseorang telah mengetahui cara
untuk mendapatkannya, maka ia akan terus mencarinya sepanjang hayat masih
dikandung badan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan waktu atau tempat.
Sering kali seseorang yang bodoh kembali ke danau atau puncak gunung tempat ia
berlibur atau mengalami masa indah, seraya berpikir bahwa ia akan mampu
menghadirkan kembali perasaan bahagia dalam hatinya. Ia merindukan kebahagiaan.
Pencarian menyimpang ini dijumpai dalam jiwa orang-orang seperti artis atau
komponis. Dalam riwayat hidup orang-orang gila ini, seseorang akan menemukan
bahwa mereka sering kali kembali ke gunung yang sama dengan maksud untuk
menjalani sisa hidup mereka dalam suatu ilusi romantis agar mereka bisa
menghadirkan kembali momen-momen kreatif mereka. Akan tetapi, momen-momen
kreatif adalah momen-momen keterputusan dari dunia ini. Ini terjadi begitu saja
bahwa ia berada di puncak gunung itu. la merindukan momen kebahagiaan yang
telah dialaminya tetapi tak bisa dihadirkan kembali. la mengira bahwa
kebahagiaan itu bisa digambarkan, padahal tidaklah demikian halnya. "Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau
murkai, dan bukan jalan orang-orang yang sesat" (QS 1:7). Perhatikan apa
saja yang menyusahkan Anda dan menjauhkan Anda dari kebahagiaan: keterikatan,
harapan, nafsu, dan rasa takut—waspadalah terhadap semuanya ini dan Anda akan
berada dalam surga.
Akar kata surur juga berkaitan
dengan kata yang bermakna pemotongan ari-ari bayi yang baru lahir. Hal ini
menjadi kebahagiaan, karena sang anak sudah tidak bergantung lagi pada
"rahim." Pemotongan ari-ari itu mengawali kemandirian lahiriahnya dan
mengantarkannya menuju kemungkinan untuk memahami bahwa ia bergantung hanya
kepada Allah. Inilah awal dari sebuah perjalanan kebahagiaan yang di dalamnya
sang anak mulai mengetahui bahwa ia adalah "anak" dari Zat Yang
Mahabenar dan Yang Mahahakiki dan bahwa ia lahir karena rahmat Allah, sementara
sang ibu hanyalah alat tempat ia dititipkan sebelum lahir. Potensialitas
kehidupannya sebelum pembuahan ada dalam pengetahuan Allah dan menjadi suatu
ekspresi, suatu manifestasi.
Sarîr (tahta, ranjang, bentuk tunggal
dari surur) adalah simbol kelegaan atau keterlepasan dari segala
gangguan luar dan juga sarana menuju kebahagiaan. Ini memungkinkan seseorang
untuk bersantai dan merasakan kebahagiaan, suatu keadaan yang tenang.
"Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan." Sambil bersandar di
tempat duduk itu, orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) itu tidak merasa
gelisah. Mereka merasa rileks atau santai. Kata mutaqâbilîn
(berhadap-hadapan) berasal dari kata taqâbala yang bermakna bertemu,
saling berhadapan. Mereka pun saling melihat bayangan mereka satu sama lain.
Mereka melihat orang lain yang juga seperti diri mereka sendiri. Mereka melihat
penampilan yang berulang-ulang, yakni hologram. Akar katanya adalah qabala,
yang berarti menerima; kata qiblah, yang berasal dari akar kata yang
sama, berarti arah yang dituju seseorang; qâbilah adalah seorang ibu
rumah tangga, orang yang menghadapi dan merawat sang bayi.
يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُونَ
17. Mereka dikelilingi oleh
pelayan-pelayan yang tetap muda.
بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيقَ وَكَأْسٍ مِّن مَّعِينٍ
18. Dengan membawa gelas (piala),
cerek, dan minuman yang diambil dari air mengalir.
لَا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلَا يُنزِفُونَ
19. Mereka tidak merasa pening
karenanya dan tidak pula mabuk.
وَفَاكِهَةٍ مِّمَّا يَتَخَيَّرُونَ
20. Dan buah-buahan dari apa yang
mereka pilih.
Ayat
21-30
وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُونَ
21. Dan daging burung dari apa
yang mereka inginkan.
Dunia pengalaman ini, jannah
(surga), bersifat abadi. Manusia hanya dapat memahaminya dari sudut pandang
eksistensinya sekarang yang berpijak pada kebutuhan eksistensial, dengan yang
satu melayani yang lain. Metafora (mitsâl) berupa pelayan-pelayan yang
selalu muda menyiratkan bahwa, dalam daerah nir-waktu, manusia tidak lagi
mengalami proses penuaan.
Penyebutan daging di surga sangatlah
penting. Daging menduduki posisi penting dalam kehidupan ini, karena ia
dianggap sebagai aspek penting dari program diet. Daging mengandung zat-zat
yang dibutuhkan manusia seperti asam amino, berbagai mineral, dan vitamin.
Secara tradisional, praktik-praktik Islam menganjurkan kaum muslim untuk
memakan daging satu atau dua kali seminggu. Dewasa ini, para ahli diet modern
menyarankan agar daging hanya boleh dimakan dua kali, sedangkan ikan satu kali,
dalam seminggu. Sisa dietnya selebihnya terdiri atas gandum dan sayuran. Secara
tradisional, orang hanya memakan daging hewan yang dapat ditangkap secara
domestik pada musim tertentu. Sekarang ini, orang memakan sejumlah besar daging
dan lemak di tempat-tempat seperti jazirah Arab yang panas. Menyantap makanan
yang tidak sesuai dengan musim dan tempatnya hanya akan menimbulkan penyakit.
Ayat yang menggambarkan tersedianya daging di surga adalah sebuah mitsâl
dan tidak berarti bahwa akan ada pesta berburu di surga. Maksud sebenarnya
ada-lah bahwa gizi di surga adalah gizi yang terbaik dan terbagus.
وَحُورٌ عِينٌ
22. Dan (di dalam surga itu) ada
bidadari-bidadari yang bermata jeli.
كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ
23. Laksana mutiara yang tersimpan
baik.
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
24. Sebagai balasan atas apa yang
telah mereka kerjakan.
Hur (perawan-perawan di surga atau
bidadari-bidadari) digambarkan seperti mutiara yang tersembunyi, tersimpan (maknun),
dan sangat dihargai. Kata maknun berasal dari kata kanna, yang
bermakna menyembunyikan, melindungi. Mereka—bidadari-bidadari itu—selamanya dijaga
dalam keadaan murni.
Keadaan dalam surga laksana bayangan
cermin, refleksi, dari sifat tindakan seseorang di dunia ini. "Sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan": balasan seseorang adalah
tindakannya itu sendiri. Balasan itu tidak datang kemudian, karena dalam Tuhan
Yang Mahabenar tidak ada waktu. Setiap tindakan pun memiliki balasannya sendiri
dalam zona waktu ini. Dalam kehidupan akhirat, ketika tidak ada lagi waktu,
tindakan pun mewujud kembali dalam makna, dalam keadaan di mana jiwa mampu
melihat dirinya sendiri.
Manusia memahami bahwa, dengan
berbuat baik kepada seseorang, ia akan dibalas kembali suatu saat. Orang-orang
yang memiliki pandangan batiniah memperoleh kebahagiaan sewaktu tindakan atau
amal perbuatan itu dilakukan. Mereka tidak mempedulikan hasil nyata, yang hanya
benar-benar bersifat sekunder. Kita dapat mengumpamakan seperti seorang ahli
berkebun yang, sewaktu melihat tanamannya tumbuh, mampu menggambarkan
keseluruhan siklus pertumbuhan dan pembusukan. Hanya orang-orang serakah dan
kelaparan sajalah yang sekadar menunggu buahnya. Seorang ahli berkebun yang
betul-betul menikmati proses berkebun sudah menggambarkan buah yang bakal
dipetik dan bahkan lebih dari itu. Hanya hewan sajalah yang menunggu sesuatu
agar ada lebih dahulu untuk kemudian dinikmati. Dari sudut pandang orang
berilmu, manusia yang telah memasrahkan dirinya berarti bahwa tindakannya
secara otomatis akan mengandung balasan. Akan tetapi, tetap saja ada buah yang
tampak secara material. Hanya saja, kemunculannya berada dalam dimensi waktu,
sementara sang pencari ingin mengetahui dimensi non-waktu. Inilah makhluk
cerdas yang mampu mengenali bahwa tindakan atau amalnya adalah balasan itu
sendiri. Kualitas balasannya itu berbanding lurus dengan sumber tindakannya, yakni
niatnya. Makhluk yang memiliki kewaspadaan sempurna akan mampu melihat
bagaimana balasan dan amal perbuatan tidak dapat dipisahkan.
لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا تَأْثِيمًا
25. Mereka tidak mendengar di
dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa.
إِلَّا قِيلًا سَلَامًا سَلَامًا
26. Akan tetapi, mereka hanya
mendengar ucapan salam.
Laghw (perkataan yang sia-sia) adalah
kata-kata yang sama sekali tidak bermakna. Akar katanya adalah laghâ, yang
berarti berbicara omong kosong, melakukan kesalahan; dalam bentuk lain, kata
ini bisa berarti mementahkan, membatalkan, menghilangkan. Dari laghâ
muncul kata lughah, bahasa. Lughawi adalah seorang ahli bahasa,
dan laghwî memiliki arti seseorang yang banyak omong dan berbicara banyak
omong kosong. Perhatikan bahwa seorang ahli bahasa dan seorang yang berbicara
omong kosong hampir memiliki kata yang sama.
"Mereka tidak mendengar di
dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan
dosa." Tidak ada ta'tsîm, dosa. Yang ada hanyalah persamaan
sempurna. Tidak ada yang namanya kezaliman. Keadilan di akhirat akan disaksikan
oleh semua orang, karena tidak ada sesuatu atau seseorang pun bisa
mengganggu-gugatnya. Di dunia ini, seseorang bisa saja melihat banyak sekali penyimpangan
keadilan. Jika seseorang melihat dengan mata batiniah, maka yang dilihatnya
hanyalah keadilan. Sebagai suatu makhluk lahiriah, karena memiliki orientasi
lahiriah, seseorang harus terus-menerus berusaha sebaik mungkin untuk
mewujudkan keadilan lahiriah, meskipun secara batiniah mungkin ia melihat bahwa
segala sesuatunya sudah sempurna. Karena tidak ada carnpur tangan manusia,
kehidupan akhirat benar-benar adil dan bermakna. Dalam kehidupan ini, karena
manusia bertindak serampangan atau melampaui batas, maka ia mengetahui apa yang
tampak tidak adil. Dengan melihat melalui pandangan Tuhan Yang Mahabenar,
bahkan apa yang tampak tidak adil sesungguhnya adalah adil.
Manusia diberi pilihan untuk
bertindak atau tidak bertindak. Bertindak salah akan melahirkan situasi yang
tidak diinginkan. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa ada ketidakadilan. la
telah bertindak tidak sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Secara lahiriah,
seseorang berusaha mewujudkan keadilan lahiriah; sementara secara batiniah, ia
menerima apa yang ditetapkan sebagai bagian dari pendidikan (tarbiyyah)
dan ketuhanan (rububiyyah). Secara lahiriah, seseorang bertindak sebagai
tangan Allah, kaki Allah, mata Allah, karena manusia adalah wakil Allah. Itulah
tauhid. Karena tersesat dan kebingungan, manusia biasanya bertindak
bertentangan dengan ini lantaran ia takut diuji.
Jika, dalam menegakkan keadilan,
seseorang merasa bahwa ia terlanda suatu ketidakadilan, maka ia tetap akan
berusaha sebaik mungkin menegakkannya, sekalipun kezalirnan itu mungkin akan
menelannya. Ia menyadari bahwa kezaliman disebabkan oleh kesewenang-wenangan
orang lain, tetapi tetap saja ia juga harus menanggung akibatnya dengan orang
lain. Imam Husayn a.s. tidak menghindari kezaliman yang terjadi selama dua
puluh tahun. Kezaliman itu telah meminta darahnya dan juga darah tujuh puluh
dua orang anggota keluarganya. Beliau sama sekali tidak menghindarinya. Dalam
kebangkitannya, gelombang tirani akan memangsa orang-orang baik dan orang-orang
jahat. Akan tetapi, jika manusia tetap teguh dalam kepasrahannya, maka ia akan
menyadari bahwa inilah keadilan Allah. Ia tidak lagi mengedepankan kediaannya
sendiri. Ia adalah bagian dari dunia ini juga.
Sebaliknya, peperangan yang
dilakukan Imam Hasan adalah menghasilkan perjanjian perdamaian. Beliau
mengetahui bahwa empat puluh ribu prajurit yang ada dalam tangannya akan
berbalik melawan dirinya pada hari peperangan. Beliau juga melihat bahwa tidak
ada alasan lagi untuk menumpahkan darah. Sewaktu beliau menandatangani
perjanjian, masih saja ada beberapa orang mengkhianatinya. Ke mana pun
seseorang bertindak, ia tidak bisa mengalahkan keadilan manusia. Keadilan
manusia memiliki banyak kelemahan, sementara keadilan Allah sangatlah sempurna.
Keadilan Allah adalah memberikan kepada seseorang kesempatan untuk mengetahui
makna dari kepasrahan kepada Allah. Dengan mengalami ditutupnya semua pintu
kecuali satu, manusia akan dituntun menuju pintu Allah.
"Akan tetapi, mereka hanya
mendengar ucapan salam." Kedamaian (salam) adalah tempat di mana
tidak ada tindakan, keadaan diam paripurna, inti badai di mana segala
sesuatunya tenang. Satu menit dalam badai serasa satu tahun, sementara intinya
tampak berada dalam kedamaian abadi. Batas luamya selalu bergolak. Manusia yang
berada dalam keadaan diterpa inti badai, para penghuni surga, tidak akan
mendengar lagi segala jenis ucapan sia-sia dan omong kosong. Tidak ada gerakan
atau sesuatu selain kedamaian yang bisa dikenali. Ini bukanlah kedamaian mati,
melainkan kesadaran murni, keadaan penuh kebahagiaan yang dapat dirasakan
manusia di sini, sekarang ini juga, bila ia tetap berada di jalan Allah, bila
ia berpegang teguh pada Alquran dan sunah Nabi tanpa kemunafikan. Inilah
keadaan surga lebih tinggi yang dapat dicapai oleh hamba-hamba Allah—yang telah
mengikuti risalah dan telah berbuat benar.
وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ
27. Dan (tentang) golongan kanan.
Alangkah mulianya golongan kanan.
فِي سِدْرٍ مَّخْضُودٍ
28. Berada di tengah-tengah pohon
bidara yang tidak berduri.
Bagi "golongan kanan,"
keadaan bahagia yang mereka alami di dunia ini tercermin di akhirat nanti. Sidr
adalah pohon bidara di akhirat. Pohon itu tidak memiliki duri, karena segala
sesuatu di akhirat akan berada dalam bentuknya yang paling murni. Wanita akan
tetap selamanya perawan, dan selamanya hidup. Segala sesuatu berada dalam
bentuknya yang sempurna, termurni, dan terbaik. Duri adalah sesuatu yang tidak
menyenangkan dan, karena itu, tidak ada dalam surga di akhirat. Tidak ada
sesuatu pun yang bisa melukai penghuni surga itu.
وَطَلْحٍ مَّنضُودٍ
29. Dan pohon-pohon pisang yang
bersusun-susun (buahnya).
Thalhin
mandhûd adalah gambaran pohon pisang dalam
tahap awal pertumbuhannya, di mana buah-buahnya masih bersusun rapat. Ini
merujuk pada buah-buahan yang bentuk dan gambarannya berbeda, buah-buahan yang
mungkin belum diketahui oleh orang-orang di masa itu. Sumber daya alam Arabia
sangat terbatas. Ini juga mengacu pada kenyataan bahwa masih ada banyak hal
atau aspek lain di akhirat yang belum diketahui seseorang.
وَظِلٍّ مَّمْدُودٍ
30. Dan naungan yang terbentang
luas.
Ayat
31-40
وَمَاءٍ مَّسْكُوبٍ
31. Dan air yang terus mengalir.
وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ
32. Dan buah-buahan yang melimpah
ruah.
لَّا مَقْطُوعَةٍ وَلَا مَمْنُوعَةٍ
33. Yang tidak berhenti
(berbuahnya) dan tidak terlarang mengambilnya.
وَفُرُشٍ مَّرْفُوعَةٍ
34. Dan kasur-kasur yang tebal
lagi empuk.
"Dan naungan yang terbentang
luas." Dalam kebudayaan gurun pasir Arabia, matahari—sekalipun memberikan
kehidupan—juga dipandang sebagai menghancurkan kehidupan. Karena itu, naungan
adalah suatu rahmat atau anugerah besar. Semakin besar naungan dari sesuatu,
semakin besar objek itu sendiri. Dan adakah yang lebih besar dari Allah Yang
Mahaagung (al-'Azhîm)? Jika Anda bersama Allah, maka Anda akan
memperoleh naungan yang seluas-luasnya. Ungkapan zhill mamdûd secara
harfiah berarti naungan yang panjang atau luas. Dalam kebudayaan Arab,
seseorang biasanya menunjukkan rasa hormat kepada seorang suci atau wali dengan
mengucapkan, "Semoga Allah meluaskan naunganmu."
Di alam akhirat, seseorang akan
menyaksikan naungan yang seluas-luasnya. Segala sesuatu berada di bawah naungan
sang Pencipta. Tidak ada seorang pun dapat menggelapkan atau memberi bayangan
kepada sesuatu. Zhill mamdûd adalah naungan yang melindungi seseorang
dan yang menyebabkan seseorang dapat mengenal Allah, karena menyaksikan Allah
secara langsung tidaklah mungkin alias mustahil. Seseorang tidak dapat melihat
Zat Yang Mahahakiki; yang bisa disaksikannya hanyalah berbagai akibat-Nya saja.
Pengetahuan tentang Allah adalah melalui penyimpulan. Manusia menyimpulkan
eksistensi-Nya. Jika seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat Allah, maka
ini berarti bahwa ia adalah seorang gila atau pembohong. Jika seseorang
mengatakan bahwa ia telah melihat Allah pada tempat dan waktu tertentu, maka di
manakah Dia pada waktu lainnya? Allah senantiasa Mahahadir, Maha Meliputi
segala sesuatu—melampaui waktu, melampaui pemahaman, dan juga melampaui
penglihatan. Kemampuan melihat dan memahami ada dalam kehidupan yang diberikan
Allah kepada manusia. Bagaimana mungkin segenap kemampuan ini bisa melihat apa
yang membuat mereka berfungsi? Ini sama sekali tidak mungkin dan mustahil.
Seseorang menyimpulkan keberadaan Allah dengan penalaran, dengan hati, dan
dengan fitrahnya. Dalam diri setiap orang terdapat benih yang mampu mengenal
sang Pencipta. Ketidaksempurnaan dalam ciptaan-Nya yang dilihat manusia
sebetulnya berasal dari penyucian hati tak sempurna seseorang.
إِنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاءً
35. Sesungguhnya Kami menciptakan
mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung.
Surga adalah ciptaan baru di mana
tidak ada lagi hasrat, keluhan, kesulitan, atau keterikatan. Kata nasya'a
berarti tumbuh, muncul, tercipta. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung." Penciptaan
itu adalah fondasi lain lagi yang tidak bersifat fisikal. Ia didasarkan pada
cahaya. Dunia cahaya hanya bisa dijangkau oleh manusia sewaktu sedang tenggelam
relung meditasi atau renungan dan refleksi yang dalam.
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
36. Dan Kami jadikan mereka
(bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan.
عُرُبًا أَتْرَابًا
37. Yang penuh cinta lagi sebaya
umurnya.
لِّأَصْحَابِ الْيَمِينِ
38. (Kami ciptakan mereka itu)
untuk golongan kanan.
ثُلَّةٌ مِّنَ الْأَوَّلِينَ
39. Segolongan besar dari
orang-orang terdahulu.
وَثُلَّةٌ مِّنَ الْآخِرِينَ
40. Dan
segolongan besar pula dari orang-orang terkemudian.
Dengan merangsang imajinasi manusia,
Allah menggambarkan kepuasan fisik dari hubungan pria-wanita. "Dan Kami
jadikan mereka (bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan." Wanita di
sana, di alam akhirat, selalu dalam keadaan perawan. Kita mengetahui bahwa yang
demikian itu mustahil dalam kehidupan di dunia ini. Salah seorang Imam ditanya
tentang bagaimana wanita bisa terus perawan. Ia menjawab bahwa hal itu jangan
dipahami dalam pengertian fisikal. Gambaran tentang wanita dan minuman tidaklah
seperti apa yang mungkin dialami dan dipahami. Semuanya itu adalah mitsâl.
Semuanya itu berasal dari insyâ' lainnya, sebuah konstruksi lainnya
dalam dunia cahaya dan kesadaran.
Ayat
41-50
وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ
41. Dan (tentang) golongan kiri.
Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ
42. Dalam (siksaan) angin yang amat
panas dan air panas yang mendidih.
وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ
43. Dan dalam naungan asap yang
hitam.
لَّا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ
44. Tidak sejuk dan tidak
menyenangkan.
Orang-orang yang merugi di dunia ini
akan dikumpulkan dan dijerumuskan lantaran berbagai dosa dan kejahatan mereka.
Makhluk-makhluk yang tidak berkembang dan tidak mengembangkan diri dalam
kehidupan ini akan didaurulang, dibakar, dan disiksa. Mereka akan merasakan
angin panas dan air mendidih, yang sangat bertolakbelakang dengan ketenangan,
kebahagiaan, kestabilan, dan kenyamanan.
Keputusan Allah adalah keputusan
sempurna. Dia Maha Pemaaf. Dia mengetahui bagaimana mencari dan memisahkan
orang-orang yang meragukan. Sebagian pencari sejati kebenaran, semisal Mulla
Shadra dan Ibn al-'Arabi, seringkali menggambarkan keadaan "alam
antara" (Barzakh). Sekalipun "alam antara" ini diawali
dalam kehidupan berikutnya, dalam zone nir-waktu, gambarannya dapat dibayangkan
sekarang ini, karena alam itu adalah alam lintas-ruang, alam transisi antara
kehidupan ini dan akhirat nanti, setelah pemisahan.
Beberapa pencari kebenaran ini
berbicara tentang penyucian manusia dengan api. Ibn al-'Arabi membagi api
menjadi tujuh jenis. Seseorang bisa dicampakkan ke dalam api neraka agar bisa
mengalami dan merasakannya dalam rangka memberinya kesempatan terakhir guna
memohon ampunan. Pengetahuan tentang jenis-jenis api mungkin saja bermanfaat,
tetapi mungkin juga melahirkan spekulasi yang tidak perlu. Dibesarkan dalam
dunia materialistis seperti itu, manusia segera ingin mengkategorikan lebih
jauh lagi segala sesuatu, sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan yang
berkeliling dunia mengumpulkan burung dan kupu-kupu indah untuk dimasukkan
dalam museum biologi. Ini bukanlah cara untuk mencapai pengetahuan batiniah.
Caranya bukanlah dengan sekadar mengumpulkan atau menghimpun.
Hadis-hadis meriwayatkan bahwa ada
orang-orang yang dinilai jahat oleh manusia, tetapi ia dinilai baik oleh Allah.
Kita tidak dapat mengabaikan kejahatan seseorang dalam jalan lahiriah atau
syariat; penilaian dalam wilayah kehidupan ini hanya bisa dilakukan sesuai
dengan syariat, bukan malah melampauinya. Allah akan menilai segi-segi
pelanggaran yang lebih lembut dan tersembunyi, tetapi itu bukanlah pokok
bahasan kami.
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ
45. Sesungguhnya mereka dahulu hidup
bermewah-mewahan.
وَكَانُوا يُصِرُّونَ عَلَى الْحِنثِ الْعَظِيمِ
46. Dan mereka terus-menerus
mengerjakan dosa besar.
"Sesungguhnya mereka dahulu
hidup bermewah-mewahan." Kata mutraf berarti hidup bermewah-mewahan
dan sembarangan di dunia ini. Kata ini menyiratkan arti melebihi kebutuhan
seseorang. Karena bersikap serampangan dengan kemurahan alam, seseorang menjadi
berperilaku menyimpang dan menyalahgunakan nikmat atau anugerah yang diberikan
kepadanya. Ibadah penyucian diri dengan memberikan sebagian harta kepada orang
lain atau zakat berfungsi sebagai suatu obat alami dalam menangkal keserakahan
yang sering merusak diri manusia. Nabi Muhammad saw. ditanya ihwal mengapa zakat
sejumlah dua setengah persen. Beliau menjawab bahwa, dalam mengikuti keadilan
Allah dan kehendak alam, seseorang menyadari bahwa bagi setiap seribu orang
terdapat dua puluh lima orang miskin yang tidak mampu mencukupi diri mereka
sendiri dan, karenanya, mereka harus dibantu oleh sebagian lainnya.
Jika Allah mencintai seseorang, maka
akan Dia memberinya cobaan untuk membangunkan kesadarannya. Karena cinta kepada
tanahnya, seseorang rela bersusah payah membajaknya dan menggarapnya
habis-habisan. Urusan hati (qalb') adalah dibolak-balik (maqlub)
agar bisa pasrah dan terbebaskan.
Seorang mutraf mencintai
dunia dan merasa puas dengannya. Sekalipun sang mutraf ini berinvestasi
dan menabung secara salah, ia pun terdorong untuk berbuat salah lagi karena
keberhasilan materialnya. Alquran menganjurkan golongan kanan untuk
membiarkannya sendiri dan tidak mengganggunya, karena waktunya akan segera
berlalu. Ia jauh dari Tuhan Yang Mahabenar dan tidak mampu melihat bahwa
kehidupan ini akan berakhir. Ia tidak menabung untuk kehidupan di alam akhirat.
Allah mengatakan bahwa jika Dia ingin menghancurkan suatu kebudayaan atau
golongan yang melampaui batas, maka Dia akan mengutus kaum mutrafin
(jamak dari mutraf). Mereka ini—kaum mutrafin—mengetahui betul
bagaimana cara memanipulasi sistem. Mereka adalah parasit kelas wahid. Dengan
pelanggaran mereka dalam sistem duniawi, keadilan pun ditegakkan. Ekologi
mempunyai suatu mekanisme sempurna untuk memperbarui dirinya. Pelanggaran kaum mutrafin
akan menimbulkan reaksi, dan mereka akan dihancurkan berikut berbagai elemen
dan hasil pelanggaran mereka. Inilah siklus ekologis dan sibemetis dari
penghancuran dan peremajaan-diri, dengan menghancurkan suatu tatanan yang tidak
kondusif untuk memperbarui tatanan alam. Manusia tidak dihancurkan oleh makhluk
bersayap yang turun dari langit dan menyemburkan api. Mereka akan dihancurkan
oleh makhluk yang berasal dari diri rnereka sendiri. Orang-orang yang mampu
mengambil langkah meretas keterikatan dan melakukan refleksi bisa melihat
kehancuran itu terjadi terus-menerus dalam sejarah manusia, karena tidak ada
sesuatu pun yang berubah. Sunnatullâh tidak pernah berubah. Hukum yang
mengatur kehidupan ini sangatlah kokoh dan menjadi fondasi pembangunan segala
sesuatu.
Sifat permanen hukum-hukum itu merefleksikan
sebuah aspek dari rahmat Allah, karena manusia diberi sesuatu untuk dijadikan
sebagai pijakan. Hukum-hukum manusia tidak memiliki kasih sayang atau sifat
permanen seperti itu. Jika orang-orang yang telah meninggal dunia seratus tahun
lalu di Amerika dihidupkan kembali, maka mereka akan dipenjara dalam waktu
sehari, lantaran mereka tidak bakal memahami bagaimana caranya mendekati dan
berurusan dengan hukum-hukum yang rumit dewasa ini. Hukum-hukum sejati sama
sekali tidaklah bembah. Hukum-hukum itu bersumber dari satu-satunya fondasi
sejati dan hakiki dari kehidupan di dunia ini dan akhirat nanti.
Kaum mutrafin sering kali
berkumpul untuk menentukan nasib jutaan orang di dunia yang hidupnya pas-pasan
ini. Orang-orang kaya dan berada mendiskusikan nestapa orang-orang miskin di
dunia ini secara akademis dan abstrak. Ketika kebudayaan-kebudayaan
berteknologi tinggi mempelajari berbagai cara dan sarana untuk membantu
orang-orang miskin, yang demikian itu dilakukan lebih karena kepentingan
pribadi, dan bukan karena rasa keadilan dan pemerataan. Mereka menaruh
kepedulian pada kemiskinan. Sebab, jika kemiskinan sudah merajalela, maka besar
kemungkinan akan teijadi revolusi dan hilangnya pasar potensial. Untuk
menstabilkan situasi, mereka memberi bantuan kepada orang-orang miskin di
Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Afrika. Alquran mengatakan, "Dan
mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar" (QS 56:46). Kaum mutrafin
terus-menerus melanggar hukum Allah.
وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا
وَعِظَامًا أَئِنَّالَمَبْعُوثُونَ
47. Dan mereka selalu mengatakan,
"Apakah bila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan
tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?"
أَوَ آبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ
48. Apakah juga bapak-bapak kami
terdahulu (akan dibangkit kembali)?
Orang-orang yang mengingkari akhirat
mengira bahwa kehidupan ini adalah segala-galanya. Oleh karena itu, mereka
ingin meraup segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenangan sensual dan
inderawi. Ada dua sikap pada akhirat. Sikap pertama meyakini bahwa dunia ini
bukanlah akhir, melainkan barulah sebuah awal menuju dunia abadi. Para
penghuninya menganut keyakinan ini hingga mereka mengetahuinya secara langsung
nanti. Mereka adalah orang-orang mukmin. Seorang manusia yang beriman memandang
kehidupan ini sebagai medan latihan untuk memasuki zona nir-waktu. Sikap kedua
pada alam akhirat dianut oleh seorang yang tidak beriman. Ia serakah karena
hanya kehidupan ini sajalah yang berarti bagi dirinya. Ia menjadi sangat tamak.
Ia tidak berusaha memperoleh berbagai kualifikasi atau sifat yang diperlukan
untuk masuk surga dengan mengasah kesadarannya, dan meningkatkan kebahagiaan,
kepasrahan dan kebebasannya. Ia diprogram untuk meraih kebebasan, tetapi ia
mencarinya dalam dunia fisik. Ini adalah sebuah penyimpangan. Menurut watak
alaminya, manusia adalah sang pencari. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa
kehidupan ini adalah titik akhir, maka motivasi tindakannya hanya mementingkan
sebuah dimensi yang menimbulkan kekacauan saja. Inilah perbedaan antara orang
beriman dan orang kafir.
Kekafiran manusia pada akhirat pun
mengejawantah dalam keserakahan dan sifat agresifnya. Dewasa ini, menjadi
agresif dan ambisius sangatlah dikehendaki dan diinginkan. Di masa lalu, jika
seseorang memiliki sifat agresif dan ambisius, maka ia akan dicemooh. Sekarang
ini, "ambisius" dan "agresif' berarti bahwa ia adalah calon
pertama yang akan dipekerjakan.
Dalam diri setiap manusia ada
kerinduan untuk hidup abadi selamanya. Akan tetapi, ia tidak merenungkan bahwa
kerinduan ini berasal dari Allah yang memancar dalam dirinya dan memberitahunya
agar kembali kepada sumbernya. Inilah isyarat terus-menerus dari hati yang
mengandung makna keabadian. Kebaikan apa pun yang dilakukan seseorang, ia akan
ingin terus mempertahankannya. Seruan dari Allah berasal dari dalam, untuk
mengetahui makna keabadian, karena Allah Mahaabadi. Yang ada hanyalah Dia, lâ
huwa illâ hû (secara harfiah: tidak ada dia selain Dia). Hanya saja,
sayangnya, makna ini terlewatkan, dan pancaran cahaya itu pun meredup.
Dunia memang menarik dan memikat.
Begitu Anda menceburkan seujung jari saja ke dalamnya, maka Anda akan terseret
ke dalam arusnya dan menjadi terbenam seluruhnya. Dewasa ini, manusia tertelan
oleh keadaan di mana mereka berada sekarang. Semuanya terperangkap dalam
pabrik-pabrik modern berteknologi tinggi yang tidak berbuat apa pun selain
mencampakkan mereka sesudah menghamba kerja seumur hidup, terbuang dan ditolak.
Orang terbaik di kalangan mereka, pemimpin mereka, mewujud dalam bentuk
nama-nama jalan, stadion, dan alun-alun. Budak-budak itu mengikuti berbagai
kebiasaan yang sudah lazim, tetapi sang pencari mendobrak berbagai kebiasaan
itu dan terbebas dari sistem perbudakan.
قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ
49. Katakanlah, "Sesungguhnya
orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian."
لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ
50. Benar-benar akan dikumpulkan di
waktu tertentu pada hari yang dikenal.
Ayat
51-60
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا الضَّالُّونَ الْمُكَذِّبُونَ
51. Kemudian sesungguhnya kamu,
wahai orang yang sesat lagi mendustakan.
Dalam Alquran, satu hari (yawm)
tidaklah berarti dua puluh empat jam. Dikatakan bahwa sehari di sisi Allah sama
dengan seribu tahun dalam kehidupan dunia. Di tempat lain digambarkan bahwa
sehari di sisi Allah sama dengan lima puluh ribu tahun lamanya. Bersama Allah,
tidak ada waktu. Waktu bersifat relatif, sebagaimana ditunjukkan dengan
fenomena menempuh perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
"Orang-orang terdahulu dan terkemudian benar-benar akan dihimpun pada hari
tertentu." Ada sebuah tujuan spesifik untuk dunia lahiriah dan dunia
batiniah.
Orang-orang kafir terus-menerus
berada dalam keadaan merugi. Mereka akan terlempar ke dalam wilayah di luar
jangkauan waktu, di mana dimensi waktu lenyap, dan keadaan tegang terus-menerus
berlangsung selamanya. Karena mengingkari bahwa kehidupan yang diberikan
kepadanya untuk mengagungkan nama Allah yang memberinya kehidupan, orang-orang
kafir itu akan merasakan keadaan tanpa istirahat abadi. Dalam keadaan merugi
abadi, di dalam api neraka, tidak ada yang tumbuh. Semakin seseorang berusaha
untuk menanggung panasnya api, semakin api itu membakarnya.
لَآكِلُونَ مِن شَجَرٍ مِّن زَقُّومٍ
52. Benar-benar akan memakan pohon
zaqqum.
فَمَالِؤُونَ مِنْهَا الْبُطُونَ
53. Dan akan memenuhi perut(mu)
dengannya.
Para penghuni wilayah ini diberi
makan dari sesuatu yang pahitnya luar biasa, pohon zaqqum yang tumbuh dari
lubang neraka Jahannam tanpa dasar. Ia mengalami tersesat dalam keabadaian
seolah-olah ia memenuhi perutnya dengan kepahitan luar biasa. Ia minum tanpa
terpuaskan haus dan dahaganya.
فَشَارِبُونَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيمِ
54. Sesudah itu kamu akan meminum
air yang sangat panas.
فَشَارِبُونَ شُرْبَ الْهِيمِ
55. Maka kamu minum seperti
minumnya unta yang sangat kehausan.
هَذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّينِ
56. Itulah hidangan untuk mereka
pada hari pembalasan.
Air digunakan untuk menghilangkan
dan mengurangi panas dan merupakan salah satu unsur yang berusaha menegakkan
keseimbangan. Unsur-unsur itu adalah: basah, kering, panas, dan dingin. Jika
seseorang terialu panas, maka ia akan pergi menuju tempat yang dingin. Bila
terlalu kering, ia akan bergerak menuju yang basah. Manusia selalu mencari
keseimbangan. Segala sesuatu dijaga keseimbangannya oleh Zat Yang Mahaesa. Akan
tetapi, pada hari yang ditentukan itu, berbagai karakteristik dari unsur-unsur
yang berfungsi sebagai penyetara dalam dunia fisik itu tidak lagi berlaku. Kata
hîm berarti unta yang kehausan. Kata ini berkaitan dengan hâ'im,
yang bermakna kebingungan. Dalam kehidupan ini, manusia menyibukkan diri dengan
apa yang dipandangnya penting dan yang tanpanya ia merasa tidak akan bahagia.
Ia melecehkan dirinya sendiri dan juga alam dengan konsumsi yang kelewat
berlebihan.
Gambaran tentang kesengsaraan
"golongan kiri" adalah berada dalam neraka Jahannam. Salah satu
turunan kata dari Jahannam adalah jahnîm, lubang tak berdasar, keadaan
tanpa gravitasi, di mana seseorang mendapatkan kabar buruk bahwa sesuatu yang
disayanginya tidak lagi bersamanya. Bayangkan seseorang yang tiba-tiba diberi
kabar tentang banyaknya bencana yang menimpanya, bahwa segala sesuatu yang
disimpan, dicintai, dan dianggapnya penting telah lenyap—itulah jahnîm.
Manusia menginginkan istiqrâr,
yakni keajegan, stabilitas, dan keamanan. Dalam bahasa Arab, orang mengetahui
Arab bahwa sebuah kata berkaitan dengan kata-kata lainnya melalui akar katanya.
Kata-kata ini melahirkan banyak variasi, menjelaskan, dan memberikan makna
lebih dalam pada kata semula. Istaqarra (bentuk verbal dari istiqrâr)
berarti mencari keamanan atau tempat tinggal permanen. Iqrâr adalah
fondasi atau ketetapan, dan qarrara bermakna memutuskan, melaporkan,
atau menuturkan. Seluruh kata ini berasal dari akar kata yang sama, qarra,
yang berarti menetap, menentukan atau menyelesaikan.
Jika seseorang menempuh jalan
kebenaran, maka ia mestilah mengakui bahwa ia Akhirnya akan selamat. Sebab,
bagaimana mungkin ia bisa mencari asal-usul sesuatu yang belum ada dalam
dirinya?
Fakta bahwa manusia mencari rasa
aman membuktikan bahwa asal-usul atau esensinya ada dalam rasa aman. Akan
tetapi, ia mencarinya di tempat lain dalam ghaflah (kelalaian,
kejahilan). Ia mengira bahwa rasa amannya terletak pada diri kawan ini atau
pada pekerjaan itu— itulah ghaflah. Fakta bahwa ia mencari keamanan
berarti bahwa keamanan tidak dapat dicapai begitu saja.
Ada sebuah cerita tentang seseorang
yang pada suatu malam kehilangan cincin dan mencarinya di bawah cahaya lampu
jalanan. Setelah beberapa lama, sewaktu ada banyak orang yang ikut membantu
mencarinya, tak ada tanda-tanda bahwa cincin itu akan ditemukan. Akhirnya,
salah seorang bertanya kepadanya ihwal di mana ia kehilangan cincin itu, yang
kemudian dijawabnya, "Aku kehilangan cincin itu di sana," jawabnya
sambil menunjuk rumahnya. "Lalu, mengapa kita tidak mencarinya di
sana?" tanya orang yang membantu mencarinya itu dengan kaget. Sang pemilik
cincin menjawab, "Karena di sana tidak ada cahaya lampu." Manusia
sering mencari di tempat yang nyaman baginya untuk mencari. la tidak berusaha
mencari di mana kebenaran berada. Inilah sifat manusia.
نَحْنُ خَلَقْنَاكُمْ فَلَوْلَا تُصَدِّقُونَ
57. Kami telah menciptakanmu.
Maka, mengapa kamu tidak membenarkan (hari kebangkitan)?
أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ
58. Maka, terangkanlah tentang
nutfah yang kamu pancarkan.
أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ
59. Kamukah yang menciptakannya,
atau Kamikah yang menciptakannya?
Keberadaan manusia di dunia ini bukanlah
sebuah kebetulan. Keberadaannya mempunyai tujuan. Kebetulan adalah suatu
gambaran yang digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan memahami suatu
situasi. Manusia telah diciptakan. Mengapa ia tidak bisa menegaskan hal itu?
Mengapa ia tidak bisa menerima hal ini sebagai benar adanya? Kata tushaddiqun
berasal dari kata sbaddaqa, yang berarti memandang sebagai benar.
نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ
بِمَسْبُوقِينَ
60. Kami telah menentukan
kematian di antaramu, dan Kami sama sekali tidak bisa dikalahkan.
Ayat
61-70
عَلَى أَن نُّبَدِّلَ أَمْثَالَكُمْ وَنُنشِئَكُمْ فِي مَا لَا
تَعْلَمُونَ
61. Untuk menggantikanmu dengan
orang-orang seperti kamu (di dunia) dan menciptakanmu kelak (di akhirat) dalam
keadaan yang tidak kamu ketahui.
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ النَّشْأَةَ الْأُولَى فَلَوْلَا
تَذكَّرُونَ
62. Dan sesungguhnya kamu telah
mengetahui penciptaan yang pertama. Maka, mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?
"Kami telah menentukan kematian
di antaramu, dan Kami sarna sekali tidak bisa dikalahkan." Kematian (mawt)
adalah peristiwa diskontinuitas yang nyata, sebuah perpisahan di jalan.
Akan tetapi, manusia tidak bisa mengalami perpisahan kecuali bila secara fitrah
ia memiliki pengalaman tentang kebersamaan. Entitas halus dalam dirinya
berpisah dengan entitas kasamya, dan perpisahan ini dialami sebagai peristiwa
kematian. Dalam perpisahan juga ada penyatuan. Tubuh menyatu dengan
asal-usulnya, unsurnya. Tubuh akan kembali ke tanah. Ruh atau jiwa akan kembali
ke tempat asalnya berdasarkan perintah sang Pencipta Yang Mahaesa dan Maha
Meliputi segala sesuatu. Kata qadr, yang berasal dari kata qadara,
bermakna apa yang telah ditentukan, ditetapkan, atau dikadarkan. Segala sesuatu
mempunyai kadar atau ukuran masing-masing.
Manakala suatu kebudayaan bersifat
terbuka, dengan secara spontan dan murni membiarkan diri dipengaruhi oleh
berbagai unsur lainnya, barulah ia pun bisa tumbuh, menyesuaikan diri, dan
sesuai secara keseluruhan. Maka, ia pantas mengemban amanat sebagai puncak
tertinggi ciptaan. Bila tidak demikian, kebudayaan itu akan tergusur dan
digantikan oleh yang lain. Kebudayaan datang dan pergi. Tidak bisa diragukan
lagi bahwa ada unsur "siapa kuat, ia mampu bertahan hidup" (the
survival of the fittest) dalam setiap aspek kehidupan. Manusia dibawa ke
sini dalam keadaan yang tampak temoda dan sangat mungkin tenggelam dalam
kehinaan karena adanya keseimbangan antara jiwa dan raga. Ia akan dibentuk lagi
di mana bahan konstruksinya tidak bersifat fisik. Siklus berikutnya dalam
kebangkitan kesadaran berdasarkan materi yang sulit dipahami oleh
manusia—karena diciptakan dari tanah liat—kecuali dengan imajinasi. Manusia bagaikan
tawanan yang pandangannya hanya seluas jeruji-jeruji jendela sel penjaranya.
Jika ia menggunakan kemampuan nalar dan hatinya, maka ia bisa membayangkan
bahwa apa yang ia lihat di hadapannya pastilah juga terjadi di tempat lain.
Dengan menggunakan persepsi ini, manusia dapat memahami alam akhirat.
Dengan memahami pertumbuhan pertama,
manusia mengetahui bahwa, secara biologis, ia berasal dari zat lendir atau
nutfah yang rendah. Ia mengetahui dalam relung hatinya—bila hatinya memang
berbolak-balik (qalb)— bahwa akar kehidupan tidaklah dipengaruhi oleh
pengalaman hidupnya, melainkan merupakan sumber yang permanen dan tak
terkontaminasi. Allah menyeru manusia untuk melihat dan memahami bahwa dalam
dirinya bersemayam pengetahuan tentang evolusinya, dan bahwa evolusi, sekalipun
sudah mengejawantah dalam waktu sekarang, pastilah berakar dalam wilayah
pra-penciptaan. Manusia sudah direncanakan sejak sebelum penciptaan. Ia adalah
manifestasi atau pengejawantahan dari potensi. Dalam Alquran, Allah
mengingatkan manusia tentang waktu ketika ia masih belum ada dan masih berupa
energi potensial.
أَفَرَأَيْتُم مَّا تَحْرُثُونَ
63. Maka, terangkanlah tentang apa
yang kamu tanam.
أَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ
64. Kamukah yang menumbuhkannya,
atau Kamikah yang menumbuhkannya?
لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ
65. Bila Kami kehendaki, Kami
benar-benar bisa menjadikannya kering dan hancur. Maka kamu pun menjadi heran
tercengang.
إِنَّا لَمُغْرَمُونَ
66. (Sambil berkata),
"Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian."
"Maka, terangkanlah tentang apa
yang kamu tanam." Manusia hanyalah sebuah instrumen untuk menyemaikan
benih, entah benih manusia atau benih tetumbuhan. Manusia hanyalah seorang
aktor. Ia tidaklah menulis skenario atau punya kemungkinan untuk mengubah
hukum-hukum yang mengaturnya. Satu-satunya kadar kebebasan yang dimilikinya
adalah kebebasan memainkan perannya dengan baik. Jika seseorang melihat seorang
aktor yang benar-benar baik dan sempurna, maka ia yakin bahwa sang aktor itu
pun betul-betul menjiwai perannya. Ia telah menyatukan kehendaknya dengan
takdir. Inilah sebuah aspek tauhid; ia betul-betul menyatu dengan perannya.
Dari sudut pandang Tuhan Yang Mahabenar, ia tidak terpisah, sekalipun ia
membayangkan dirinya terpisah. Jika tindakan Anda ikhlas dan baik, maka tidak
ada lagi hambatan antara kehendak Anda dengan apa yang hendak Anda lakukan.
Sebab, tindakan itu dilakukan untuk Allah, oleh Allah, dan dalam Allah. Inilah
berkah, efisiensi Ilahi. Inilah keselarasan, keseimbangan, dan kewarasan.
Manusia bukanlah penyebab berbagai
peristiwa. Ia hanya sekadar sebuah instrumen dalam sebuah orkestra. Manusia
dapat bergerak, karena ada kehidupan di dalam dirinya. Ia tidak mendatangkan
kehidupan kepada dirinya. Ia hanya sebuah saluran. Jika seseorang betul-betul
bergantung pada pengetahuan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penjaga, maka ia
akan betul-betul mengetahui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama
Allah (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh). Entitas yang sama sekali
tidak terpisah dari diri manusia.
Jika Allah menghendaki, maka berbagai
amal perbuatan yang mungkin dibangga-banggakan oleh manusia boleh jadi bakal
dihancurkan. Sudah menjadi sifat dan watak manusia bahwa, karena kesombongan
dan keangkuhannya, ia akan menganggap enteng dan remeh apa yang sesungguhnya
merupakan kehendak Allah.
بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
67. Bahkan kami menjadi
orang-orang yang tidak memperoleh hasil apa pun.
Alquran membawa orang yang
membacanya menuju masa kini, menuju kehidupan akhirat, dan menuju apa yang
sudah mendahului kehidupan. la adalah pemersatu yang bergerak hilir-mudik dan
bolak-balik dalam dimensi waktu.
"(Sambil berkata),
'Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian.'" Kata gharama
berarti membayar denda. Dalam kehidupan fisik, manusia mencukupi dirinya dengan
sumber makanan yang salah dan kini ia dihukum. Kata benda gharâm
bermakna kegila-gilaan atau kegandrungan. Ketika terjadi hari kiamat, sewaktu
tidak ada lagi keangkuhan dan kesombongan, manusia betul-betul dalam keadaan
terobsesi dan kegandrungan. Tidak ada kemungkinan untuk membenarkan seluruh
tindakannya sebelumnya. Jika seseorang mengira bahwa ia berada dalam penjara
sekarang, maka bagaimana dengan nanti? Tidak ada suatu tindakan pun yang bisa
diperbaiki pada waktu itu.
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ
68. Maka, terangkanlah tentang
air yang kamu minum.
أَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ
الْمُنزِلُونَ
69. Kamukah yang menurunkannya
dari awan, atau Kamikah yang m.enurunkannya?
لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
70. Kalau
Kami kehendaki, niscaya Kami menjadikannya asin. Maka, mengapakah kamu tidak
bersyukur?
Perhatikan air yang Anda minum. Jika
Allah menghendaki, maka seluruh air di dunia bisa saja habis. Tuhan Yang
Mahabenar menantang manusia dengan memberikan rahmat dan keseimbangan
penciptaan. Dengan mengubah satu faktor, seluruh susunan penciptaan akan
berbeda; susunan itu tidak akan sesuai dengan makhluk hidup di muka bumi.
Menerima begitu saja apa yang telah Allah berikan adalah kesombongan.
Ayat
71-80
أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ
71. Maka terangkanlah tentang api
yang kamu nyalakan.
أَأَنتُمْ أَنشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنشِؤُونَ
72. Kamukah yang menciptakan kayu
(bakar)nya, atau Kamikah yang menjadikannya?
Kata syajar berarti pohon.
Dalam kebudayaan Islam, pohon secara tradisional melambangkan pohon kehidupan;
segenap rantingnya melambangkan seluruh aspek penciptaan yang berkaitan dengan
sebuah batang yang akarnya—yang memberikan zat-zat makanan ke seluruh
pohon—menghunjam ke dalam tanah. Apakah manusia mengetahui akar kehidupan?
Apakah ia mengetahui maknanya? Apakah ia yang telah menciptakannya? Apakah ia
yang telah menciptakan api? Yang perlu dilakukannya adalah menggosok dua
ranting kayu berbarengan untuk memperoleh percikan bunga api; sebenarnya, ia
tidak melakukan apa pun. Ia hanya sekadar mengalami—Allah sajalah sang Pencipta
(munsyi'). Asal-usul kehidupan ada pada satu-satunya Tuhan Yang
Mahabenar, pemilik segala sesuatu.
نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِّلْمُقْوِينَ
73. Kami menjadikan api itu sebagai
peringatan dan harta yang berguna orang-orang yang bepergian di padang pasir.
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
74. Maka bertasbihlah kamu dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung.
Kata tadzkirah berasal dari dzikr,
yang bermakna mengingat, kesadaran, dan sebuah jalan lorong. Dalam bahasa Arab
modern, tadzkirah berarti tiket. Ini dimaksudkan untuk mengingatkan
siapa saja yang menghentikan Anda di pintu gerbang bahwa Anda sebenarnya sudah
diperbolehkan masuk ke dalam situasi berikutnya. Inilah persyaratan untuk masuk
dengan mengingatkan sang pemeriksa karcis atau tiket.
Kata sandi untuk memasuki pintu
kejayaan adalah Nama (ism). Di pintu, sewaktu sedang diterima, Nama itu
harus disebutkan. Seseorang yang shidq, orang yang benar, berkata,
"Allah, atau Tuhanku." Diriwayatkan dalam banyak hadis bahwa ketika
ayat, "Maka bertasbihlah kamu dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Mahaagung" turun kepada Nabi Muhammad saw., beliau menjadikannya sebagai jalan
ibadah. Beliau meminta kaum muslim untuk mengucapkan, "Subhana rabbi
al-'azhim wa bihamdih" sewaktu mereka mengerjakan rukuk, karena
seseorang melakukan rukuk sesudah berdiri dan menyaksikan kehidupan ini,
kehidupan akhirat, api neraka, surga, dan asal-usul. Siapa pun yang memuji
satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar pastilah akan didengar, karena Tuhan Yang
Mahabenar adalah Maha Mengetahui. Sesudah melakukan hal itu, seseorang akan
merasa hina dan tidak berarti. Ketika seseorang berada dalam perasaan rendah,
barulah ia bisa berbicara tentang Yang Mahatinggi (al-A'la)— subhana rabbi
al-a'lâ wa bihamdih. Dalam keadaan tidak berarti itu, mata lahiriah tidak
lagi berfungsi. Mata batiniah mampu melihat keagungan Zat Yang Mahatinggi,
Mahaagung.
فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ
75. Maka Aku bersumpah dengan
tempat jatuhnya bintang-bintang.
وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ
76. Sesungguhnya sumpah itu
adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
"Maka Aku bersumpah dengan
tempat jatuhnya bintang-bintang" berarti bahwa Aku bersumpah dengan
kebenarannya, tempat kebenaran itu. Kata mawaqi' (posisi, tempat
jatuhnya sesuatu) berasal dari kata waqa’a yang berarti jatuh. Nujum
adalah bintang, atau sesuatu yang bercahaya—Aku bersumpah dengan cahaya, cahaya
risalah ini yang bersinar, pijaran kebenaran yang menyala di hati kaum mukmin.
Buktinya adalah bahwa risalah itu menekan tombol yang tepat dan benar dalam
hati dan menyalakannya. Setiap orang adalah bintang—berbeda tetapi juga sama.
Inilah ikrar kebenaran tentang realitas fisik. Inilah ikrar yang membuktikan
kesempurnaan berbagai posisi dari segala sesuatu dalam ciptaan ini. Posisi
tetap dari bintang-bintang adalah manifestasi dari tatanan alam semesta.
Sesungguhnyalah, posisi-posisi tetap ini bersifat dinamis. Posisi-posisi ini
tidaklah kaku, melainkan berinteraksi dengan lingkungannya.
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
77.
Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia.
فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ
78. Dalam kitab yang terpelihara.
Alquran sangat layak dan pantas
dibaca. Kitab ini adalah sesuatu yang telah dihimpun dan dikumpulkan—pengungkapan
tentang Tuhan Yang Mahabenar. Kitab ini meliputi dan mencakup apa yang bisa
dialami dan dipahami tentang Tuhan Yang Mahabenar. Alquran sangat berguna dalam
mengajari manusia untuk menempuh hidup lurus, harmonis, dan bahagia.
Alquran tidak bisa dihampiri atau
dipahami bila didekati melalui batas-batas dualitas. Jika pembacanya dibebani
dengan dualitas, penuh dengan ketidakpasrahan, maka Alquran pun terhijab
baginya. Sebagai pengungkapan murni tentang zat Yang Mahahakiki, Alquran hanya
bisa mencerminkan tingkat kemurnian hati pembacanya.
لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
79. Tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan.
Alquran sangat halus dan lembut.
Kitab ini mengandung apa yang bisa dibayangkan oleh manusia dan bahkan lebih
dari itu. Karena itu, bagaimana seseorang bisa menyentuhnya? Seseorang hanya
bisa mengetahui kitab ini bila ia berhenti mengetahui sesuatu yang lainnya dan,
dengan kepasrahan menyeluruh, tenggelam dalam Alquran—yang ada hanyalah
Alquran. Inilah esensi dari makna Islam.
Dalam situasi eksistensial ada
dualitas. Pengetahuan dan informasi eksistensial berpijak pada sang pencari dan
sesuatu yang dicari. Sesuatu yang memiliki domain tertentu, seperti bahasa,
bisa dikuasai. Inilah pengetahuan eksistensial dan bersifat informatif.
Pengetahuan ini didasarkan pada waktu, kapasitas berpikir, dan kesabaran. Akan
tetapi, pengetahuan ihwal Kebenaran tidak bisa diperoleh dengan cara ini.
Pengetahuan itu hanya bisa diraih dengan membiarkannya muncul, karena
sebetulnya ia sudah ada dan bersemayam dalam hati. Pengetahuan tentang
kebenaran tidak akan tumbuh subur bila manusia lebih menghargai yang lainnya.
Energi manusia telah teralihkan kepada yang lain, kepada materi, sementara
pengetahuan tentang Kitab suci dalam diri tidak disimak dengan cermat.
Kebenaran adalah substrata dari eksistensi, dan kebenaran sangat memperhatikan
peristiwa di alam semesta yang dialami manusia dalam kehidupan singkatnya ini.
تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
80. Diturunkan dari Tuhan semesta
alam.
Allah adalah Tuhan dua alam, alam
fisik dan alam non-fisik—dunia yang dialami manusia ini, dan akhirat di mana ia
tunduk pada akibat-akibat dari segenap niatnya di alam sebelumnya. Manusia akan
mengalami dan menjadi apa yang diniatkannya, tidak lebih dari itu. Di dunia ini,
yang kasar mengalahkan yang lembut, sementara di akhirat yang lembut menjadi
jelas, dan segala sesuatu yaftg tadinya tersembunyi di dalam hati seseorang
menjadi sebuah buku yang terbuka lebar (shuhuf munasysyarah).
Ayat
81-90
أَفَبِهَذَا الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ
81. Maka, apakah kamu menganggap
remeh tuturan Alquran ini?
وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
82. Dan kamu menggantikan rezeki
(yang diberikan kepadamu) dengan mendustakan (Allah).
Kisah dunia material ini dan akhirat
dalam kehidupan ini dan berikutnya adalah tentang penyucian. Manusia bisa
diibaratkan air yang sifatnya bening. Sewaktu mengalir, air membawa
butiran-butiran pasir. Ketika air disaring dalam sebuah saringan, pasir itu pun
mengendap dan air itu kembali menjadi bening. Jika air terus-menerus
diobok-obok sehingga menjadi keruh dan kotor, maka seluruh ekologi kehidupan
dalam air bakal hancur. Seperti air, manusia mesti menyaring diri agar mereka
bisa menyadari tindakan mereka yang salah dan kemudian menghindarinya. Bila
tidak demikian, lingkungan individual dan kemasyarakatan mereka bakal terganggu
dan hancur. Saringannya adalah intelek atau akal.
Sewaktu kesunyian mutlak yang abadi
dipecahkan oleh munculnya ciptaan, terdengar sebuah nada. Nyanyian keimanan
adalah Alquran dan terus-menerus diperdengarkan sebagaimana halnya pertumbuhan
pun bergerak terus secara biologis. Jika kita tidak mendengarkan nyanyian
keimanan, maka kita akan mendengarkan yang lain. Jika manusia mendengarkan
selain Alquran, maka ia akan meninggalkan Alquran, karena manusia menginginkan
keselarasan, bukan kekacauan. Sebuah alat penerima gelombang tidak dapat
menangkap dua sinyal sekaligus. Demikian pula, sifat manusia adalah mendengarkan
satu gelombang, bukan dua.
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ
83. Maka, mengapa ketika nyawa
sampai di kerongkongan?
وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ
84. Padahal kamu waktu itu melihat.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لَّا تُبْصِرُونَ
85. Dan Kami lebih dekat dengannya daripada
kamu, tetapi kamu tidak melihat.
Begitu manusia bersikukuh pada
kekafiran, ia akan tetap berada di dalamnya. Ia berpegang teguh pada apa yang
dihargai dan diinvestasikannya. Ketika hidupnya berakhir, nyawanya pun sampai
di kerongkongan, dan ia pun temganga. Allah lalu berfirman, "Dan Kami
lebih dekat dengannya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat." Anda
belum memfokuskan visi Anda semasa hidup pada sesuatu yang pantas dilihat.
Kebenaran yang meliputi seluruh manifestasi atau pengejawantahan lebih dekat
daripada kedekatan itu sendiri. Inilah makna dari pemyataan Allah. Kekuatan
luhur yang mendasari seluruh kekuatan yang tampak itu lebih dekat dengan sang
sumber, lebih dekat dengan Allah.
فَلَوْلَا إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ
86. Maka, mengapa jika kamu tidak
berutang (kepada Allah)?
تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
87. Kamu tidak mengembalikannya bila
kamu memang termasuk dalam golongan orang-orang yang benar?
Kata dayn, yang bermakna
utang, adalah satu sisi dari keseimbangan. Jika seseorang menganggap dirinya
berutang, maka ia tentu akan berusaha melunasinya dengan benar. Jika Anda
menganggap diri Anda berutang kepada Tuhan Yang Mahabenar, maka Anda akan
melunasi utang itu. Seluruh kehidupan didasarkan pada utang yang pernah
ditanyakan oleh Imam Ja'far ash-Shadiq a.s. tentang bagaimana cara melunasinya.
Mustahil dan tidaklah mungkin melunasinya. Umpamanya saja, andaikan Anda
merasakan kebahagiaan disebabkan oleh suatu momen bahagia dan ingin bersyukur
atas kebahagiaan Anda itu. Ketika Anda menyadari rasa syukur Anda, maka Anda
pun mengetahui bahwa Anda harus bersyukur karena mampu bersyukur, dan
terus-menerus bersyukur, seperti pantulan tak terhingga dua cermin yang
berhadapan satu sama lain. Inilah makna sebenarnya, bahwa selalu saja muncul kesa-daran
tentang kemustahilan dan ketidakmungkinan melunasi utang itu. Inilah anugerah
tak terbatas, dan manusia pun menyia-nyiakannya.
"Jika kamu tidak berutang
(kepada Allah)" adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
Perhatikan kehidupan Anda dan bagaunana kehidupan itu lenyap. Di manakah
kontrol yang menurut manusia dimilikinya? Imam 'Ali Zainal Abidin a.s. berkata,
"Seorang mukmin sejati meninggal dunia seolah-olah ia telah menanggalkan
pakaian kotornya." Akan tetapi, seorang yang tidak beriman dan hanya
memikirkan dunia telah merobek-robek pakaian kehidupan dan tercerabut dari
hakikat keberadaannya ketika ia berusaha tetap bersikeras dalam keingkarannya.
"Lalu mengapa jika kamu tidak
bemtang (kepada Allah)? Kamu tidak mengembalikannya bila kamu memang termasuk
dalam golongan orang-orang yang benar." Jika Anda tidak bemtang, jika Anda
tidak merasa berada di bawah kendali mutlak Tuhan Anda, lantas mengapa Anda
tidak mengembalikan kematian ketika ia datang? Ketika mendengar bahwa seseorang
telah meninggal dunia, seorang mukmin mengatakan, "Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali bersama Allah." Manusia hanya memiliki kekuatan relatif
selama masa kehidupannya yang singkat.
Sang pencari sejati kebenaran akan
tersentuh bila mendengar ada seseorang yang meninggal dunia, karena ia
mengetahui bahwa kematian adalah pintu menuju pengalaman berikutnya. Seorang
yang beriman akan bahagia, karena orang mati terbebas dari kebmgungan dualitas
kehidupan. Kini ia memiliki pengetahuan yang pasti. Sang pencari sejati bergembira
bukan karena orang yang meninggal dunia itu sudah hancur—sebab yang hancur
hanyalah tulang dan daging saja, sementara ruh terus hidup. Sang pencari sejati
tertarik pada ilmu pengetahuan. Ketika seorang bayi lahir, sang pencari sejati
akan menangis, karena ia mengetahui apa yang akan dialami oleh makhluk yang
baru lahir ini.
فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ
88. Adapun jika ia termasuk dalam
golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ
89. Maka ia memperoleh
ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.
"Adapun bila ia terrnasuk dalam
golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)." Manusia tidak
mengetahui Tuhan Yang Mahabenar. Ia tidak mengetahui jalan menuju Tuhan Yang
Mahabenar, karena ia mungkin tidak menemukan jalan menuju Tuhan Yang Mahabenar.
Akan tetapi, ia mungkin mengetahui apa saja yang bukan Tuhan Yang Mahabenar. Ia
mengetahui jalan-jalan yang menjauhkannya dari Tuhan Yang Mahabenar. Dengan
menempuh jalan-jalan itu, seseorang akan bisa tiba di satu-satunya jalan
sejati, satu-satunya jalan menuju tauhid. Kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
dari seseorang yang dekat dengan Allah adalah kehidupan penuh kenyamanan dan
kenikmatan (na'im), yakni surga (jannah). Di dalamnya, ia melihat
segala sesuatu dengan tauhid dan tidak tunduk pada berbagai perubahan
pengalaman.
Nabi 'Isa a.s. bersabda, "Aku
tengah mencari-cari umatku ketika tiba-tiba aku menjumpai orang-orang yang
takut pada api neraka. Aku memberitahu mereka, 'Kalian akan beroleh keuntungan
dengan perdagangan kalian, tetapi bukan itu yang aku cari.' Kemudia, aku
berjumpa dengan orang-orang yang berdoa memohon surga. Kukatakan kepada mereka,
'Kalian akan mendapatkannya, tetapi bukan itu yang aku cari.' Lalu, aku
berjumpa dengan orang-orang yang ikhlas dan tulus dalam beribadah, dengan
kesadaran penuh, dan kekhidmatan sempurna, dan kukatakan kepada mereka,
'Kalianlah umatku.'"
Jika Anda menginginkan Allah, maka
api neraka dan surga hanyalah langkah-langkah menuju kepada-Nya. Dalam Alquran,
dijumpai ada gambaran tentang berbagai tingkatan surga dan neraka. Tingkatan
terakhir surga adalah di mana tidak ada suara sama sekali dan tak ada sesuatu
pun terdengar. "Mereka tidak akan mendengar di dalamnya perkataan yang
sia-sia atau ataupun ucapan-ucapan yang menimbulkan dosa, kecuali ucapan salam
atau kedamaian." Jika kata-kata yang terdengar di dalam surga, maka
kata-kata itu adalah ucapan salam. Kedamaian (salâm) adalah suatu
keadaan kesadaran murni. Apa yang terjadi dalam tingkatan surga yang lebih
rendah adalah negasi, atau netralisasi, atas berbagai hasrat karena semua-nya
itu itu telah dipenuhi agar seseorang bisa melampauinya menuju keheningan
hakiki, menuju esensi atau hakikat.
وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
90. Dan adapun jika ia termasuk
dalam golongan kanan.
Ayat
91-96
فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
91. Maka keselamatan bagimu karena
kamu dari golongan kanan.
Surah ini adalah tentang berbagai
keadaan berbeda yang mungkin dialami manusia sesuai dengan tingkatan tauhidnya.
Orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-muqarrabun) akan jauh dari
selain diri-Nya dan, karena itu, dekat dengan-Nya.
Golongan kanan adalah orang-orang
saleh, mereka yang bertindak secara cermat. Sebagian penafsir Alquran (mufassir)
menggambarkan golongan kanan (ashhâb al-yamin) sebagai ashhâb
al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang
terus-menerus berjuang dan bersabar dalam menanggung penderitaan mereka. Akan
ada kedamaian bagi mereka, meskipun mereka berada dalam cobaan dan kegelisahan.
Kehidupan ini adalah gudang cobaan dan penderitaan. Akan tetapi, jika cobaan
itu dijalani di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw., maka ia akan
terasa ringan dan bisa ditanggung. Bila tidak demikian, seorang yang waras hanya
bisa melompat dari jendela dan terang-terangan menyatakan bahwa eksistensi
dirinya sama sekali tidak bisa dipahami. Kehidupan ini adalah tempat cobaan dan
kesulitan di mana pembangkangan atas rahmat Allah dihapuskan. Manusia tidak
punya pilihan kecuali harus berjihad.
وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ
92. Dan adapun jika ia termasuk
dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat.
فَنُزُلٌ مِّنْ حَمِيمٍ
93. Maka ia mendapat hidangan air
yang mendidih.
وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ
94. Dan dibakar di dalam neraka.
"Dan adapun jika ia termasuk
dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat" berarti: jika ia
telah mengingkari satu-satunya Kebenaran, jika ia mendustakan tauhid. Orang
seperti itu dihitung termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan dan
sesat (mukadzdzibîn adh-dhâllin). Pertama, ia berdusta, dengan
mengingkari apa yang sebetulnya dipandang benar oleh hatinya. Jika manusia
mengingkari rasa utang budinya kepada AUah, maka ia akan berada dalam kerugian.
"Maka ia mendapat hidangan air
yang mendidih." Manusia bisa minum air panas mendidih di dunia ini dan di
akhirat nanti. Ketika seseorang merasa sangat marah dan gelisah, maka segala
upaya dan usaha untuk melenyapkan amarah itu akan ditolak dan hanya akan semakin
menyulut emosinya saja. Hujan rahmat yang sejuk tidak disadarinya dan,
karenanya itu, terasa panas bagaikan air mendidih. Api lahiriah dapat dicegah
agar tidak semakin meluas dan diketahui batas-batasnya. Sementara itu, api
batiniah seperti hasrat, nafsu, rasa takut, dan amarah tidaklah berbatas.
Manusia sendiri adalah pohon yang memberi kayu bagi api. Keadaan puncak kaum mukadzdzibîn
pun menjadi nuzulun min hamim. Rumah mereka adalah air yang mendidih,
api neraka. Mereka tinggal dalam jahim, neraka yang memanggang.
إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ
95. Sesungguhnya (yang dituturkan)
ini adalah suatu keyakinan yang benar.
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
96. Maka bertasbihlah dengan
(menyebut) nama Tubanmu Yang Mahaagung.
"Sesungguhnya (yang dituturkan)
ini adalah suatu keyakinan yang benar." Seseorang akan memasuki kehidupan
akhirat dengan membawa segenap amalnya dalam kehidupan di dunia ini—dan
amal-amal itu didasarkan pada niat. Manusia telah membuat kunci neraka atau
kunci surga, dan mulai mengalami keadaan-keadaan itu di dunia ini berdasarkan
niatnya. Tidak ada diskontinuitas atau keterputusan. Mereka yang telah membuat
kunci neraka sebenarnya sudah mengalaminya sekarang. Kehidupan dunia ini
berkesinambungan dengan kehidupan akhirat nanti.
Orang yang membuat kunci
kebahagiaan, kunci menuju surga, sudah memasuki keadaan itu. Arsip yang sudah
digenggamnya berupa ilmu dan amal digunakan untuk melembutkan sisi-sisi kasar
dari dirinya, kepribadiannya, berikut segala macam keinginan atau hasratnya.
Pada akhirnya, jika ia memang ingin menyirnakan semuanya itu, menjadi sebuah
non-entitas, maka ia akan mengenal satu-satunya Wujud hakiki. Semakin ia
menegaskan identitasnya, semakin ia kurang mampu melihat Wujud hakiki itu.
Nabi Muhammad saw. bersabda,
"Tidak ada dua hati di dalam dada manusia." Jika niat dan maksud
seseorang adalah mengenal, maka ia akan mengenal Allah. Dan begitu Anda sudah
mengenal Allah, tidak ada masalah lagi dengan yang lainnya. Jika niat Anda
hanyalah menjadi kaya, maka Anda akan mendapatkannya dengan segala kesulitan
yang ada di dalamnya. Jika Anda menginginkan rumah dan anak-anak, maka Anda
juga akan mendapatkannya dengan segala kekecewaan yang ada. Anda tidak dapat
memperoleh sesuatu tanpa juga mendapatkan keba-likannya. Inilah keseimbangan.
Alquran menyebutnya al-mîzân (keseimbangan), dan hukum-hukum yang
mengatur kehidupan ini pun berada dalam keadaan seimbang. Kehidupan ini
bukanlah kekacauan (chaos), melainkan keteraturan (cosmos)—dalam
keseimbangan sempurna.
Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib
a.s., pernah mengatakan bahwa hal pertama yang dilihat oleh manusia yang
beriman dan pasrah adalah pandangan sekilas tentang Tuhan Yang Mahabenar, yang
selama ini ia ingin beroleh keyakinan tentangnya. Keyakinan itu muncul dengan
cara mempertanyakan, mempelajari, memahami, dan bergerak di sepanjang jalan,
dengan menghayati Alquran. Tahap pertama keyakinan itu adalah seperti
diberitahu bahwa ada kebakaran di hutan dan Anda mempercayai kebenaran
informasi sang pembawa berita. Ini disebut 'ilm al-yaqîn, pengetahuan
yang yakin. Tahap kedua adalah benar-benar melihatnya, menyaksikan kebenaran
berita itu. Inilah 'ayn al-yaqîn, inti atau sumber keyakinan. Tahap
ketiga adalah haqq al-yaqin, kebenaran keyakinan, yakni benar-benar
merasakan panasnya api yang membakar itu. Orang bisa merasakan panasnya api
dengan berada di dekatnya atau karena terbakar oleh api itu. Sama sekali tidak
ada keraguan tentang hal itu. Tahap keempat adalah baqq al-haqq,
kebenaran yang sebenar-benarnya, yakni ketika seseorang terbakar oleh api itu
dan tidak ada sedikit pun yang tersisa.
Lâ huwa
illâ hû: Tidak ada sesuatu pun selain Dia.
Inilah segel terakhir Kebenaran. Orang terbakar di dalamnya. Setelah segel itu
telah terukir, tidak ada seorang pun bisa mengambilnya dari Anda, karena Anda
telah membayar utang anda.
Setelah menerima risalah, yang bisa
dilakukan seorang mukmin adalah mengagungkan—dengan izin-Nya, dengan masuk melalui
pintu itu, dengan nama Allah—kesadaran tertinggi yang meliputi segala sesuatu,
kesadaran tentang kehadiran Allah, Tuhan Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan
Mahaperkasa. Menyebut nama-Nya berarti bahwa seseorang mengabaikan nama-nama
lain, label-label lainnya. Seorang mukmin percaya bahwa ia akan memasuki
keadaan itu, menuju rumah Allah, menyeru Allah, mengarungi padang kebingungan,
menyeru dan menyeru, hingga ia terbangun dan sadar. Lalu, ia menyadari bahwa ia
sudah berada di dalam rumah Allah, tetapi ia tidak mengetahui lantaran tertutup
oleh imajinasinya sendiri.[]